Ketika Hati Seorang Mukmin Mencair
(Pentingnya Membasmi Kemungkaran)
Dari Ibn Abbas secara marfu’, Rasulullah saw bersabda:
“Akan datang suatu masa di mana pada saat itu hati orang mukmin mencair bagaikan mencairnya garam di dalam air. Ada seorang yang bertanya, ‘Mengapa hal itu terjadi, wahai Rasulullah.’ Beliau menjawab, ‘Akibat ia melihat kemungkaran tetapi ia sendiri tidak mampu mengubahnya’.” (HR. Ibn Abi Dunya)
Hadits yang dapat kita jumpai dalam Ad Da’wad Dawa’, Al Jawabul Kafi Liman Sa’ala’anid Dawa’I Syafi’ karya Ibnu Qayyim al-Jauziah (h. 128) ini sengaja saya hadirkan disini, karena merupakan lanjutan dari Koleksi Hadits sebelumnya yang membahas tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Hadits di atas menggambarkan bagaimana mencairnya hati seorang mukmin oleh karena ia melihat kemungkaran, tetapi tak mampu berbuat apa-apa. Mencair bisa diartikan sebagai sebuah sikap yang tak mau ambil peduli, tak mau berbuat apa-apa, atau hendak melakukan sesuatu, tapi tak mampu melakukannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan, betapa seringnya kita disuguhi oleh berbagai tindak kemungkaran: dari kenakalan remaja (anak sekolah), kekerasan mahasiswa (sebagaimana terjadi di IPDN), maraknya narkoba yang tak terbendung alirannya, hingga makin hingar bingarnya club-club malam yang tanpa ada kendala sedikitpun begitu lancar mengurus perizinannya. (konon lebih sulit untuk mengurus perizinan pendirian tempat ibadah, terutama gereja).
Bagaimana kita melihat hal ini? Dalam kajian Hadits terdahulu ada tuntutan untuk mengubahnya dengan tangan (perbuatan), jika tak mampu, lakukan dengan perkataan, jika tak mampu pula cukup dengan (mengingkarinya dalam) hati. Tetapi yang terakhir inilah ditengarai sebagai bentuk keimanan yang paling rendah.
Nah, dalam hadits di atas, sebenarnya hendak memperkuat hadits sebelumnya. Di mana jika kita membiarkan begitu saja setiap kemungkaran yang terjadi di sekitar kita, itu pertanda bahwa hati kita telah mencair. Demikian kata Rasulullah saw.
Di lapangan kita juga menyaksikan, betapa ada sejumlah (satu atau dua) kelompok organisasi keagamaan (Islam) yang dengat semangat jihad, turun ke jalan, menyusuri tempat-tempat maksiat, menyisir pelaku-pelaku biadab, dan menghukumnya dengan cara mereka sendiri. Tak jarang, bahkan sering, cara-cara yang mereka pergunakan justru mencoreng nama baik Islam itu sendiri.
Mereka merusak tempat-tempat hiburan, melakukan kekerasan terhadap pelaku (yang menurut mereka) kemaksiatan, dan dampak lainnya adalah menimbulkan rasa ketakutan, ketidaknyamanan bagi masyarakat sekitar.
Secara teologis, sebenarnya kita bisa maklum, bahwa merewka tengah mengamalkan perintah dalam hadits-hadits sebagaimana kita bahas sebelumnya dan kali ini.
Tetapi di negeri ini juga punya aturan. Ada aparat yang berwenang untuk melakukan itu. Memang aparat pemerintah nampak kurang cekatan. Malah terkadang terlihat membiarkan berbagai bentuk kemaksiatan itu. Sehingga sebagian masyarakat menaruh curiga, bahwa aparat menjadi backing dari usaha maksiat itu. Benarkah? Wallahu a’lam.
Yang bijak hemat saya, mari kita dorong akan berjalannya supremasi hukum di negeri ini, sehingga tak perlu lagi ada ‘polisi-polisi’ swasta yang dengan seenaknya melakukan pembrantasan kemaksiatan di sekitar kita.
Jika hukum benar-benar dijalankan, insya Allah masyarakat akan tenang, kehidupan menjadi tenram, damai dan sentausa. Wallahu a’lam [ ] Ahmad Nurcholish
Tinggalkan Balasan