Tak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumtif jangka pendek, zakat sudah saatnya dikembangkan menjadi instrumen pemberdayaan ekonomi umat.
Ketika subsidi bahan bakar minyak (BBM) dikurangi oleh pemerintah otomatis harga penjualan ke konsumen (masyarakat) menjadi kian melambung. Demonstrasi menentang kenaikan harga BBM pun terus bergulir hingga kini. Mereka datang dari rakyat jelata, mahasiswa, dan juga pengusaha. Meski korban telah berjatuhan, pemerintah tetap keukeuh pada kebijakannya.
Lantas adakah Islam dapat memberikan solusi terhadap problem ini? Adakah instrumen di dalam Islam yang memungkinkan setiap orang bangkit dari problematika kehidupan, khususnya terhadap himpitan ekonomi? Dan bisakah itu dijadikan cara yang tak sekedar memenuhi kebutuhan konsumtif, tetapi juga produktif?
Jawabannya ada. Ya, salah satunya melalui zakat. Dalam ajaran Islam ayat-ayat tentang zakat sudah diturunkan kepada Muhammad saw ketika beliau masih berada di Makkah untuk melakukan pembinaan aqidah dan keyakinan ummat. Ayat-ayat itu antara lain Q.S. 30:39 dan QS. 51:19.
Tetapi ayat-ayat tersebut baru berisikan penyadaran kepada umat bahwa setiap harta yang kita miliki ada hak orang lain yang membutuhkan, seperti fakir miskin atau kaum dhu’afa (lemah). Juga berisikan penyadaran dan dorongan kuat untuk berzakat. Sebab, zakat itu meskipun kelihatannya mengurangi harta kita, pada hakikatnya justru akan menambah, mengembangkan, dan memberi berkah harta yang kita miliki.
Pada periode Madaniyyah, ayat-ayat tetang zakat sudah terperinci meliputi rincian tentang golongan yang berhak menerima (mustahiq) zakat (QS.9:60), zakat itu disamping diserahkan langsung oleh orang yang berzakat (muzakki) atas dasar keikhlasan dan kesadarannya, zakat juga harus diambil oleh para petugas yang dikhususkan untuk melakukan kegiatan tersebut (QS. 9:130). Diuraikan pula beberapa komoditas yang termasuk harta yang wajib dikeluarkan zakatnya dengan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi (nishab, persentase zakat, waktu pengeluarannya). Zakat pertanian, tumbuhan, dan hasil tanaman (QS. 6:141), zakat emas dan perak (QS. 9:34-35), zakat peternakan (hadits), zakat perdagangan (hadits), dan zakat hasil usaha (QS. 2:267).
Implementasi zakat di zaman Nabi Muhammad saw dan kemudian diteruskan para sahabatnya, dengan menunjuk petugas khusus untuk mengambil zakat dari para muzakki, atau muzakki sendiri yang menyerahkan langsung pada bait al-maal (badan pengelola zakat), lalu oleh para petugasnya (amil zakat) diidstribusikan kepada mustahiq.
Lantas bagaimana dengan zakat zaman sekarang? Sesungguhnya, inti dan subtansi zakat tidak ada yang berubah. Hanya saja diperlukan penafsiran kembali tentang beberapa hal yang berkaitan zakat sesuai dengan perkembangan zaman dan kemaslahatan umat. Tentu saja upaya penafsiran tersebut tetap harus mengacu pada kaidah-kaidah yang dapat dipertanggungjawabkan, misalnya melalui qiyas (analogi).
Di antara yang perlu mendapatkan penafsiran kembali antara lain: pertama, kriteria mustahiq zakat, misalnya pada asnaf sabilillah. Jika zaman Rasulullah saw dan para sahabat yang termasuk pada asnaf ini adalah sukarelawan perang yang tidak memiliki gaji tetap.
Pada era sekarang, boleh saja atas nama asnaf ini, seperti diuraikan Didin Hafidhuddin (2002:7), dimasukkan pula pembangunan sarana ibadah, sarana pendidikan, training para da’i, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pembangunan kekuatan umat. Inilah kemudian yang kita sebut dengan pemberdayaan umat.
Kedua, harta obyek zakat. Jika pada masa Nabi saw, peternakan hanya meliputi tiga macam: onta, sapi, dan kambing/domba. Pada era sekarang bisa kita kembangkan meliputi peternakan ayam, itik, lele, dan sebagainya. Begitu juga dengan profesi-profesi yang pada masa Nabi saw tidak ada, tetapi kini bermunculan dan sangat beragaman seperti pengacara, akuntan publik, motivator, dll.
Nah, ternyata bila dilihat dalam nash-nash yang bersifat umum, seperti dalam QS. 9:103 dan QS. 2:267, maka semua harta yang belum ada contohnya di zaman Nabi Muhammad menjadi “harta yang bernilai”, maka jika memenuhi syarat wajib zakat, harus dikeluarkan zakatnya.
Ketiga, pada masa itu, bahkan kecenderungan hingga saat ini, penyaluran zakat masih ditekankan pada pembagian yang bersifat konsumtif. Nampaknya, susdah saatnya kini perlu ditekankan pada pembagian yang bersifat produktif, meskipun tentunya tetap memerhatikan aspek konsumtif.
Mengapa hal ini perlu kita lakukan? Pada pembagian konsumtif, para penerima zakat biasanya hanya tertolong dalam jangka waktu pendek: sehari, seminggu, paluing lama sebulan. Tetapi, jika kita mau mengembangkan bagaimana agar zakat memiliki daya manfaat yang lebih panjang untuk mustahiq-nya, maka harus diberikan dalam kerangka pemberdayaan (ekonomi) umat.
Hal itu dapat direalisasikan dengan cara memberikan zakat pada para mustahiq melalui tahapan-tahapan yang dapat menguatkan daya juang dan kemampuan untuk surfive menjalani hidup. Tahapan-tahapan itu antara lain seperti melalui training pemberdayaan (community development), pemberian zakat sebagai modal usaha, juga pendampingan pada mustahiq ketika menjalankan bidang usahanya.
Tiga tahapan tersebut seyogyanya diberikan secara simultan (berkelanjutan) agar fungsi zakat untuk pemberdayaan umat lebih mudah direalisasikan. Dengan demikian visi yang harus kita tanamkan adalah bagaimana zakat ini bukan sekedar untuk kebutuhan konsumtif yang bersifat jangka pendek, tetapi lebih produktif dalam kerangka jangka panjang. Sekaligus pula memiliki visi hari ini dan tahun ini para mustahiq menjadi penerima zakat, tahun depan mereka berubah menjadi pemberi zakat. [ ] Ahmad Nurcholish
Saya suka sekali tulisan2 Anda di blog ini.. keep posting..
By: ®@mÐäÑ on Januari 13, 2011
at 4:20 am
bagus sekali tulisan nya
By: paimuma01 on Maret 24, 2012
at 5:06 am
Tulisannya bagus buat pencerahan umat
By: Nurdin Jaya on Februari 12, 2015
at 10:03 pm