Siang itu tubuhnya masih tergolek lemas. Selang infus masih menancap di punggung telapak tangan kirinya. Hidungnya yang koyak masih dibalut perban. Nyeri dan pusing kepala masih kerap menyergap. Begitulah Mohammad Guntur Romli salah seorang yang menjadi korban kebringasan Laskar Pembela Islam pada 1 Juni 2008 di lapangan Monas.
Menempati sebuah kamar di Pavilium Kartika RS. Gatot Subroto Jakarta, aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) ini tak habis pikir mengapa para ‘pembela’ Islam itu memburu dan menganiayanya dengan bogem dan pentungan. “Saya digebugi karena melindungi perempuan-perempuan yang dikroyok oleh mereka (anggota Laskar Pembela Islam),” tutur Host Kongkow Bareng Gus Dur Radio 68H ini.
Di sebelah kamar Guntur juga tergolek anggota Aliansi yang lain, Syafii Anwar. Direktur ICIP ini juga menjadi korban keganasan para ‘pembela’ Islam itu. “Kamu Ahmadiyah, kamu pendukung Ahmadiyah, hajar!!, bunuh!” tirunya mengenang teriakan para laskar itu memburu mangsanya. Tak pelak, ia yang hendak menolong Kiyai Maman, pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan, Cirebon yang sudah dihajar oleh puluhan anggota laskar, malah kena getahnya. Pukulan dan pentungan tak dapat dihindarinya.
Begitulah potret keganasan anggota laskar dari sayap Front Pembela Islam yang menyerbu aksi damai AKKBB untuk memeringati hari Pancasila dan seabad Kebangkitan Bangsa itu. Tidak kurang 90 orang dari AKKBB menjadi korban. 14 di antaranya harus dirawat di rumah sakit. Bahkan perempuan dan anak-anak pun masih trauma atas insiden itu. Kini mereka menjalani trauma hieling di Padepokan Anand Ashram pimpinan Anand Krisna.
Pertanyaan pun mengemuka. Begitukah cara pembela Islam itu mengejawantahkan pembelaannya atas Islam? Tiadakah cara yang lebih ramah seramah ajaran Islam yang seharusnya memberi rahmah bagi setiap orang, tanpa terkecuali, orang Islam maupun non-Islam?
Agama memang selalu menampilkan dua wajah yang berbeda, dan saling berlawanan. Yang pertama berwajah santun, ramah, penuh kasih, menerima ‘yang lain’, dan membela yang lemah. Wajah yang kedua tampak garang, kasar, anti ‘yang lain’, dan a sosial.
Dua wajah yang demikian ini muncul akibat adanya interaksi agama dengan realitas sosial yang ada. Hal ini diperkeruh dengan perkembangan zaman yang menempatkan globalisasi sebagai garda terdepan, di mana peran dan fungsi agama mulai mendapatkan tantangan signifikan. Tantangan tersebut antara lain adalah agama selalu dikaitkan dengan berbagai konflik sosial dan kekerasan yang selalu mengatasnamakan kepentingan agama.
Islam Agama Damai
Dalam Al-Qur’an, Islam mendeklarasikan dirinya sebagai agama damai. “Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat (belas kasih) bagi semesta alam.” Pernyataan inilah yang biasa kita kampanyekan Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Konsep rahmatan lil ‘alamin dalam Islam secara garis besar melihat perdamaian dalam tiga dimensi, pertama, dimensi tauhidiah (ketuhanan), yaitu konteks bahwa Allah adalah inspirasi dan sumber perdamaian. Kedua, dimensi insaniah (kemanusiaan), artinya manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan suci dan memiliki nilai asasi yang perlu dijaga dan dijunjung tinggi untuk bisa hidup damai, tenang, rukun dan toleran. Ketiga, dimensi kauniyyah (alam), dalam pengertian bahwa alam diciptakan oleh Allah agar dikelola manusia dengan baik dan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kehilangan salah satu dari ketiga dimensi tersebut menjadikan keseimbangan dan keharmo-nisan tidak tercipta.
Pada dimensi insaniah memiliki tiga landasan utama. Pertama, damai dalam diri sendiri. Kedua, damai dalam keluarga yang mengarahkan terjadi-nya hubungan yang harmonis di lingkungan keluarga sehingga tercipta ketenangan dan cinta kasih. Ketiga, damai dalam lingkungan masyarakat, sehingga terjadi hubungan sosial yang harmonis, bebas dari berbagai macam diskriminasi.
Konsep tentang perdamaian dalam Islam tersebut menurut Mibtadin Ahmad (4/06) dapat dipahami dari dua pendekatan yaitu; pertama, normatif, yakni bentuk pemahaman yang lebih menekankan pada kecenderungan analisis tekstual tentang ketentuan-ketentuan teks yang bersumber dari ajaran ‘langit’.
Analisis tekstual-normatif ini untuk mendorong terciptanya upaya perdamian dan kerukunan yang di dalam Islam termanifestasikan pada prinsip-prinsip antara lain; 1) Saling mengenal dan memahami. 2) Prinsip menjaga kehormatan orang lain. 3) Melakukan dialog yang baik, komunikatif dan argumentatif yang dimaksudkan untuk mencari titik temu dan menerima perbedaan ideologis. Maka perbedaan yang substansial dari aspek teologis agar selalu didialogkan dengan cara yang baik, agar tidak muncul konflik. 4) Menjalin interaksi sosial. 5) Menghindari permusuhan. Prinsip ini dipahami sebagai asas dasar, sebab konflik sosial dan pertikaian apapun dapat meng-akibatkan kerusakan (fasad) yang pasti merugikan. 6) Tidak memaksakan kehendak. Pengertiannya bahwa keyakinan tumbuh dari kedalaman spiritualitas dan kelapangan hati, apabila pemaksaan tehadap ajaran agama terjadi maka menimbulkan kontradiski dan konflik batin. 7) Melestarikan lingkungan, bermakna bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem yang tidak dapat dipisahkan. 8) Prinsip menahan amarah dan keikhlasan memberi maaf. 9) Merukunkan pihak yang bertikai, yaitu dengan berbagai media rekonsiliasi, mediasi maupun bentuk yang lain.
Keberadaan Islam sebagai agama damai hadir dengan membawa konsep rahmatan lil ‘alamin menempatkan Al-Qur’an sebagai dasar pijakan dalam konteks kemajemukan umat. Hal ini didasarkan pada keinsyafan bahwa kehidupan damai yang didambakan oleh setiap orang adalah suatu yang substansial dari ajaran Islam. Damai berarti, hidup berdampingan secara rukun yang dikembangkan dari rasa kebersamaan dan saling pengertian untuk mendapat-kan titik temu. Kerukunan hidup antarumat beragama lebih dari sekedar sikap dan pandangan toleran dalam menghadapi berbagai keyakinan dan ajaran yang berbeda-beda, tapi juga tindakan aktif di tengah-tengah masyarakat.
Andai saja wajah agama ramah dan rahmah yang selalu kita kedepankan, tragedi Monas itu tak akan pernah terjadi. Wajah garang nan marah dari agama hanya akan memberikan citra buruk bagi agama dan juga penganutnya selain berpotensi menghantarkan kita pada konflik horizontal yang tak berkesudahan. [ ] Ahmad Nurcholish
betul..betul…
By: heruyaheru on Agustus 15, 2008
at 4:30 pm