Pendidikan Agama Yang Membebaskan
Suatu ketika Gus Dur pernah mempunyai cita-cita untuk mendirikan sebuah pesantren yang terdiri dari santri yang berlatang belakang berbeda identitasnya baik agama, ekonomi, suku, ras, dll. Hal tersebut diakui sebagai upaya pembelajaran riil atas perbedaan dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Hal tersebut dikemukakan gus dur untuk menghapus diskriminasi yang sering terjadi dengan latarbelakang perbedaan identitas melalui jalur pendidikan. Karena pendidikan merupakan jalur kultural yang paling ampuh untuk membangun kesadaran atas kesamaan hak sesama manusia.
Namun disayangkan, saat ini pendidikan tak lebih dari proses “kastanisasi” yang mengkotak-kotakkan siswanya kedalam status-status perekonomian. Demikian ungkap praktisi dan pengamat pendidikan Darmaningtyas dalam diskusi Gusdurian yang diselenggarakan di Wahid Institute Jakarta, Jum’at, (4/05) lalu. Dalam diskusi yang dihadiri sekitar 35 jemaah Gusdurian tersebut, hadir pula sebagai pembicara Lody Paat dari Koalisi Pendidikan Sekolah Tanpa Batas. Keduanya membincang persoalan pendidikan yang membebaskan.
“Pendidikan yang berjalan saat ini, seperti SBI/RSBI dapat menciptakan kastanisasi siswa. Dan hal ini akan menimbulkan efek yang bahaya sekali kedepan” tegas Darmaningtyas. Menurutnya didunia ini tidak ada SBI. “SBI itu kualitas. Sedangkan di Indonesia SBI itu status sekolah yang akan menentukan suport dana dan kemudian bahayanya adalah dikelola dengan manajemen perusahaan” ungkap Darmaningtyas.
Standarisasi sekolah menggunakan standarisasi ISO menurut Darmaningtyas juga tidak tepat. Karena standarisasi manajemen ISO merupakan standarisasi terhadap perusahaan dan produk-produk industri. “Tidak tepat jika sekolah-sekolah saat ini mengejar satandarisasi ISO” ungkapnya. Sedangkan menurut Lody Paat standar pendidikan dan standarisasi pendidikan adalah berbeda. Standarisasi yang dilakukan pemerintah saat ini adalah melakukan penyeragaman kepada semua siswa di Indonesia. “Hal tersebut merupakan perampokan otonomi” kata Lody Paat.
Ketika ditanya perihal meningkatnya kasus fundamentalisme dan kekerasan pelajar. Darmaningtyas menjelaskan, saat ini proses pendidikan di Indonesia telah mengalami pergeseran yang mendasar dan substansial. Pada era 80-an para orang tua memilih sekolah tidak dipengaruhi faktor agama, tetapi lebih mempertimbangkan faktor kualitas sekolah. Semenjak pertengahan tahun 80-an orang-orang lebih memilih sekolah dengan identitas agama dibanding mempertimbangkan faktor kualitas. Ekses dari itu menurutnya menimbulkan fanatisme agama, seperti yang saat ini terjadi banyak siswa yang melakukan tindakan kekerasan dan menganut faham-faham ekstrim. [Mukhlisin/icrp-online.org]
Tinggalkan Balasan