Oleh: ahmadnurcholish | April 30, 2012

Demokrasi dan Dinamika Islam di Indonesia

Demokrasi dan Dinamika Islam di Indonesia

Polarisasi dua kubu dalam gerakan dan politik Islam Indonesia hampir-hampir menjadi suatu yang klasik. Islam modernis-tradisional dan kemudian inklusif-eksklusif menjadi term akademik yang lumrah. Namun fenomena mutakhir menunjukkan kompleksitas dan beyond atas polarisasi dua kubu tersebut. Kecenderungan ketaatan simbolik pada agama kelas menengah di satu pihak dan menurunnya dukungan terhadap partai politik Islam tampaknya menunjukkan bahwa rakyat tidak bisa lagi disuguhi simbol-simbol dan bahkan ideologi agama dalam politik.

Demikian petikan Direktur The Wahid Institute Ahmad Suaedy pada launching buku “Islam in Contention: Rethinking Islam and State in Indonesia” dan diskusi publik “Membaca Ulang Relasi Islam dan Negara Pasca Reformasi” yang diselenggarakan PP Lakpesdam NU dan The Wahid Institue Rabu (25 April 2012) kemarin. Turut hadir pula KH Said Aqil Siradj sebagai keynote speaker dan Gumilar R Soemantri (Rektor UI), Velix Wanggai (Wakil Ketua PP Lakpesdam NU), Yunianti Chuzaifah (Ketua Komnas Perempuan) sebagai pembicara.

Menurut Gumilar R Soemantri Islam dari masa ke masa selalu memberikan corak sendiri terhadap negara dan pemerintahan. Menurutnya setelah merdeka indonesia telah melewati 3 corak periode. Periode tersebut adalah periode colonial yang ditandai dengan demokrasi tidak jalan, civil society terabaikan, dan ekonomi terabaikan. Kemudian periode peralihan yang terjadi pada pemerintahan presiden Soeharto yang masih membungkam kekuatan civil society. Sementara yang terakhir adalah periode the end postcolonial era dimana ekonomi pasar telah masif, civil society kuat, namun ekonomi konstitusi masih terabaikan. “Islam selalu menemukan caranya sendiri untuk memberikan pengaruh terhadap masing-masing periode ini” ungkap Rektor Universitas Indonesia tersebut.

Sementara itu Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah menyambut baik atas launching buku tersebut. Pihaknya menilai selama ini banyak anggapan ide-ide terkait pluralisme dan HAM merupakan produk barat yang sekuler. Paling tidak buku ini mampu menjawab anggapan tersebut. Namun Yuni juga mengkritisi akan kurangnya keterlibatan perempuan dalam penelitian dan kepenulisan buku ini.

Lebih lanjut Yuni mengemukakan bahwa belakangan ini relasi antara agama dan negara dalam hal tertentu justru mendiskreditkan perempuan. Yuni mencontohkan dengan kebijakan regulasi moralistik berbasis agama diberbagai daerah. Dalam hal tersebut perempuan lebih diposisikan sebagai penanda identitas, simbol kesucian bangsa dengan kontrol tubuh perempuan, pembatasan hak ekonomi, penghakiman berbasis praduga, kontrol kebebasan bergerak. Hal tersebut menurutnya akan menghilangkan rasa aman bagi perempuan serta mereduksi privasi perempuan. [Mukhlisin/icrp-online.org]


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Kategori

%d blogger menyukai ini: