Sejatinya: RUU Kemerdekaan (Bukan Kerukunan) Umat Beragama!
Apa itu agama? Agama adalah agama dan kepercayaan yang dianut oleh penduduk Indonesia. Silahkan tertawa! Namun seperti itulah bunyi dari Pasal 1: ayat 1, yang terdapat dalam draft Rancangan Undang Undang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB). Ironis bukan. Sepertinya, anak yang masih ”makan bangku sekolahan dasar” saja bisa menerangkan definisi agama yang lebih memuaskan lagi. ”Dalam definisinya saja langsung ada pengulangan, agama adalah agama. Ini saja sudah tidak konsisten. Trus selanjutnya ditambahkan ada kata kepercayaan,” ujar Mohammad Monib. Mohammad Monib adalah wakil dari ICRP yang akan mengawal RUU KUB. Beliau mengatakan hal tersebut dalam diskusi publik mengenai RUU KUB. Forum yang sengaja untuk merespon RUU KUB tersebut, telah berlangsung tanggal 19 Januari 2012, di bilangan jalan Menteng, Jakarta Pusat.
Copy paste
Selain tidak ada penjelasan yang lebih memuaskan mengenai definisi agama, Monib juga menambahkan, ”Bagi saya dalam naskah akademisnya hampir semua instrumen penegakan HAM, baik yang nasional maupun internasional, TAP MPR, UUD 45, semua sudah ada. Tapi apa yang hadir dalam rancangan undang-undang, pada redaksional, pasal per pasal, program dan pada esensi undang-undang, jauh dari pertimbangan yang ada pada naskah akademik. Karena itulah kami dan kita semua untuk sementara mengatakan menolak, sebagian atau seluruhnya. Kalau RUU-nya masih seperti ini!”
Beliau juga mengatakan kalau di naskah akademis masih berbicara mengenai agama dan kepercayaan, tapi di dalam draft, kepercayaan sudah tidak dihadirkan, menghilang begitu saja. Hal yang sama juga disampaikan oleh Isnur, dari LBH Jakarta yang menyatakan kalau naskah akademik hanya ”lumayan” bagus pada Bab 1 tepatnya di bagian latar belakang saja, sedangkan bab yang selanjutnya pada bagian perumusan semua mulai kacau. Menurutnya,”Secara keseluruhan naskah akademik ini jadinya kacau dan ini semakin diperparah setelah membaca draft RUU-nya. Di dalam pasal draft RUU ada definisi agama yang rancu, seperti agama langit dan agama bumi. Naskah akademis juga cenderung mendefinisikan agama dalam perspektif agama samawi. Jadi kajian agamanya terlalu sempit. Bahkan pasal penodaan agama tak lebih merupakan copy paste dari UU PNPS 65. Sehingga langkah pertama yang akan dilakukan adalah: menolak!”
Bukan ‘mainan baru’
RUU KUB ini sebenarnya bukan “mainan” baru. Tahun 2002 pernah diusulkan dan berhasil ditolak, karena banyak civil society yang melihat kalau RUU ini sangat diskriminatif dan cenderung rasis. Dalam pengantar diskusi, Johannes Hariyanto, mengisahkan kondisinya pada waktu itu, “Tahun 2002 ketika itu namanya masih Departemen Agama, yang mengeluarkan RUU ini, kemudian kita mempublikasikan itu dan membuat banyak seminar yang pada akhirnya RUU itu disangkal sendiri oleh Departemen Agama. Seolah-olah RUU KUB itu tidak pernah ada.” Menurut Romo Hari, begitu beliau di sapa, mengatakan, saat itu banyak seminar-seminar yang dilakukan tidak hanya di Jakarta, namun juga di luar Jakarta, untuk menolak RUU KUB tersebut. Seperti di Medan, Manado, Makasar, Denpasar, dsb. Jadi mengajak komunitas-komunitas di berbagai daerah di Indonesia untuk merespon RUU KUB. Kata Romo Hari,”Dalam menjaring respon di berbagai daerah ini, maka dalam setiap pertemuan itu, kami mengundang wakil dari Departemen Agama. Dan proses itu berjalan 1-2 tahun, sampai akhirnya Departemen Agama menyatakan, baik naskah akademis, maupun draft itu tidak pernah ada, dan kalau ada itu bukan dari kami!”
Sedangkan RUU KUB yang ada sekarang, dari segi konten RUU nya tidak ada berubah, yang berubah hanya dari bagian pertama naskah akademis, dengan mengutip nama dan referensi dari buku Musdah Mulia, tetapi kutipan-kutipan yang diambil tidak ada hubungannya dengan apa yang akan diatur selanjutnya. Romo Hari, juga mengatakan sebenarnya motif utama dari RUU KUB ini,”Banyak hal yang ingin diatur yang pada prinsipnya menjadi masalah bagi kita. Pertama bahwa negara yang akan mengatur apa itu kerukunan, dan kedua kerukunan itu menjadi tafsir dari satu kelompok tertentu yang kebetulan diwakili oleh negara. Akan ada pengaturan pembangunan rumah ibadah, mengenai tata kelola sampai soal bagaimana orang harus dimakamkan sesuai dengan agamanya. Maka kita harus perhatikan kontennya, termasuk apakah kita punya punya alternatif terhadap kontennya. Kedua bagaimana kita harus menghentikan ini karena ini sudah masuk sampai Program Legislasi Nasional (Prolegnas), untuk disahkan 3 tahun ke depan.”
Culas
Isnur, dari LBH juga mengatakan banyak hal yang menggelikan dari draft RUU KUB ini,seperti,” RUU dan naskah akademik yang dibuat ini kacau isinya dan justru tidak akan menjawab banyak permasalahan. Seperti soal pemakaman, soal dilarang berdakwah kepada orang yang sudah beragama. Padahal setiap hari orang ceramah dan berdakwah di TV. Jadi banyak hal-hal yang lucu dan di dalamnya saling kontra indikasi dan saling bertentangan. Jadi kami mendorong agar RUU KUB ini dibatalkan atau ditolak oleh semua pihak. RUU yang ada ini kan pola pikirnya konflik, jadi kita ini berangkat dari isu agama untuk menyelesaikan konflik agama. Sehingga bagaimana konflik itu bisa diatur. Bukankah lebih penting memprioritaskan bahwa hak kita dijamin dan dilindungi.”
Tantowi Anwari, dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), mengatakan, ”Yang membahayakan juga dari RUU KUB ini adalah memberikan ruang kepada masyarakat, dalam hal ini juga termasuk tokoh-tokoh agama untuk ikut mengawasi dan ikut mengontrol. Nantinya akan ada otoritas kepada masyarakat, otoritas kepada tokoh agama yang bisa menentukan yang ini sesat dan ini tidak sesat. Ini kan bahaya sekali.”
Sementara itu, Musdah Mulia, selaku Ketua Umum ICRP, kembali menyayangkan hadirnya RUU KUB ini, termasuk juga menyayangkan karena namanya juga dikutip tidak pada tempatnya,”Jadi sebenarnya draft ini, yang dibuat oleh FKUB dan menteri agama, sebenarnya 2 tahun lalu kita tolak. Tapi karena birokrasi ini pintar, jadi ini dimasukkan ke DPR, seolah-olah ini jadi barang baru. Setelah kita baca kembali gak ada bedanya dengan apa yang kita tolak dua tahun yang lalu. Berubah hanya di pengantar. Mereka itu bukan pintar tapi benar-benar culas ya, 4 halaman pertama itu, rujukannya bagus sekali sumber, bahkan nama saya itu berulang-ulang kali muncul sebagai sumber rujukan. Begitu baca halaman terakhir malah gak ada kaitannya dengan halaman pertama.” Profesor riset dari LIPI ini juga mengatakan kalau secara semantik, bahasanya tidak konsisten, tidak nyambung dan bahkan sulit dipahami, terlebih-lebih untuk bisa menangkap esensi dari RUU ini. Selain itu kondisinya, di DPR pun masih simpang siur dan belum satu kata, mengenai RUU KUB ini, sementara pemerintah minta ini jadi prioritas tahun 2012 ini.
Beliau kembali menambahkan, ”Namun biar bagaimanapun juga partai-partai di DPR pun memang tidak punya perspektif tentang kebebasan beragama dan kalau ketok palu atau voting ini bisa lolos begitu saja.” Musdah Mulia mengingatkan bahwa kita sedang menghadapi tantangan bersama dan memerlukan konsolidasi dari setiap civil society yang ada bersama
Kemerdekaan
Kekhawatiran hadirnya RUU KUB ini seyogyanya menjadi kekhawatiran bersama. Tidak ada hubungannya dengan mayoritas-minoritas, agama langit-agama bumi, apalagi mengenai 6 agama yang diakui pemerintah atau tidak. Tidak penting! Karena ini menyangkut Indonesia ke depan. Seharusnya kalau RUU KUB ini masih mengacu kepada Undang-Undang Dasar 1945, maka sepatutnya mengeluarkan kata kebebasan atau kemerdekaan, bukan kerukunan. Kata kerukunan di UUD 45, nyaris tidak terdengar! Logika UUD 1945 adalah logika kebebasan dan kemerdekaan. Pasal 28, memiliki logika kebebasan. Sedangkan pasal 29 memiliki logika kemerdekaan. Pasal 29 UUD 45 menyatakan dengan jelas, ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu“Sehingga sepatutnya RUU KUB menjadi Rancangan Undang Undang Kemerdekaan Umat Beragama. Itu pun kalau kita masih merasa memerlukan undang undang lagi, karena sudah ada UUD 45! RUU KUB ini bisa menjadi bumerang bagi kebhinekaan Indonesia. Arkian, mari kita bekerja sama! (Chris Poerba/icrp-online.org)
Tinggalkan Balasan