Elit Agama Tak Dewasakan Umat
Salah satu kecenderungan yang menyedihkan dewasa ini adalah para elit agama kita tidak berusaha mendewasakan umat dengan mendorong agar mereka bisa menghormati perbedaan penafsiran dan paham yang berkembang dalam masyarakat, tetapi justru membuat mereka resah dengan cara menakut-nakuti bahwa paham-paham baru itu akan menimbulkan rasa was-was dan instabilitas dalam masyarakat.
Demikian salah satu poin penting dari pidato kebudayaan Ulil Abshar-Abdalla pada Selasa awal (2/3) lalu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Menurutnya, elit-elit agama seharusnya membawa masyarakat kepada tingkat kedewasaan yang cukup, sehingga mereka bisa menerima perbedaan secara lapang dada.
Di hadapan ratusan orang yang hadir pada malam itu, intelektual muda NU ini juga menyoroti sikap permusuhan sekelompok umat Islam terhadap kelompok Ahmadiyah yang dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Kelompok ini dipaksa keluar dari Islam dan mendirikan agama terpisah di luar ajaran Muhammad. Tak hanya itu, anggota Ahmadiyah juga diganggu, diserang, dan tempat ibadah mereka dibakar atau dirusak.
“Kejadian-kejadian ini jelas mencederai akal sehat kita, selain berlawanan dengan ajaran Islam yang paling mendasar. Prinsip dalam Islam yang jelas sangat masuk akal adalah tiadanya paksaan dalam agama,” papar Ulil seraya mengutip ayat Quran dalam surat al-Baqarah/2:256.
Baginya, kepercayaan dan kepemelukan agama tidak bisa dipaksakan oleh siapapun, sebab fondasi agama adalah ketundukan yang sukarela yang diwakili oleh konsep “ikhlas” dalam Islam. Jiwa ajaran Islam, terang Ulil, pernah dikumandangkan dengan sangat baik oleh teolog Kristen dari Amerika Serikat asal Inggris Roger William.
“Ia melontarkan kata-katanya yang terkenal, “the forced worship stinks in the God’s nostril” – ibadah yang dipaksakan akan menjadi sangat busuk di hidung Tuhan,” kutip Ulil disambut gemuruh tepok tangan peserta yang memadati Graha Bakti Budaya TIM.
Konsep tiadanya pemaksaan, lanjut penggagas Jaringan Islam Liberal ini, mestinya berlaku secara penuh, baik secara eksternal dan internal, sehingga prinsip itu menjadi konsisten dan masuk akal.
“Secara eksternal dalam pengertian, tak ada paksaan untuk masuk dari luar Islam ke dalam islam, tak boleh ada “konversi” yang dipaksakan. Secara internal, berarti tak ada paksaan untuk masuk ke dalam golongan, madzhab, atau sekte tertentu dalam islam, setelah yang bersangkutan masuk Islam,” terangnya ketika membacakan makalahnya berjudul Sejumlah Refleksi Tentang Kehidupan Sosial-Keagamaan Kita Saat Ini.
Memaksa golongan Ahmadiyah untuk kembali kepada ajaran yang dianggap “benar”, atau memaksa mereka keluar dari Islam dan mendirikan agama sendiri, menurut menantu Musthafa Bisri ini, jelas berlawanan dengan prinsip tiadanya paksaan dalam beragama itu.
Ulil juga menyorot salah satu argument yang kerap dikemukakan oleh kaum salafis (tradisional Islam, pen.) adalah bahwa kemunculan kelompok-kelompok yang membawa paham yang berbeda itu bias menimbulkan keresahan dalam masyarakat, dan memprovokasi mereka untuk berbuat kekerasan.
“Argumen semacam ini jelas tak masuk akal sama sekali. Semua pandangan baru dalam sejarah manusia, selalu membawa keresahan dalam masyarakat. Jika seseorang dilarang membawa atau menyebarkan ajaran baru karena alas an menimbulkan provokasi, maka jelas peradaban manusia tak akan berkembang,” tuturnya.
Ia mengutip gagasan Galileo tentang heliosentrisme yang telah menimbulkan keresahan gereja dan memprovokasi kalangan Kristen untuk mempersekusi ilmuwan itu. Jika sebuah gagasan, madzhab, atau paham baru tidak diperbolehkan, imbuh Ulil, maka kita mungkin masih hidup dalam alam Ptolemaisme dan ilmu modern sama sekali tak berkembang.
“Saya ingat kalimat terkenal dari Syekh Amin al-Khuli asal Mesir, “suatu pemikiran pada suatu masa dianggap kafir, dilarang, dan dimusuhi; pelan-pelan, dengan berlalunya waktu, pemikiran itu berubah menjadi madzhab, bahkan dogma dominan, menjadi gagasan perbaikan dan pembaharuan yang membuat kehidupan lebih maju lagi ke depan,”paparnya.
Yang juga menyedihkan Ulil, adalah bahwa argument tentang kemungkinan resahnya masyarakat karena gagasan baru itu, dijadikan argument oleh kalangan yang pro-status quo ajaran untuk menakut-nakuti masyarakat. Mereka biasa berujar, jika sekte atau paham tertentu dibiarkan maka masyarakat akan resah, marah dan melakukan kekacauan.
“Argumen ini ingin saya sebut sebagai “the politics of blackmailing”, politik pemerasan. Lebih tidak pantas lagi jika argument semacam ini dikemukakan oleh pihak pemerintah yang mestinya menjadi wasit yang adil di tengah-tengah keragaman dalam masyarakat,” tandas Ulil.
Menurut Ulil, jika kita ikuti ajaran dasar dalam Islam sendiri, prinsip tiadanya paksaan dalam agama dan kepercayaan adalah prinsip premium yang tak bisa dianulir oleh prinsip-prinsip yang lain, apalagi oleh alasan keresahan masyarakat atau ketertiban politik.
Tak hanya kaum muslim yang hadir dalam acara ini, sejumlah tokoh dari agama lain juga tampak. Romo Benny Susetyo (Katolik) dan Albertus Patty (Protestan) diantaranya. Bahkan paduan suara mahasiswa STT Jakarta juga menyuguhkan beberapa lagu di awal dan akhir acara. Hadir pula puluhan intelektual muda Islam seperti Abdul Moqsith Ghazali, Zuhairi Misrawi, Imdadun Rahmat, dan Hamid Basyaib. [ ] Ahmad Nurcholish
Tinggalkan Balasan