Islam Radikal Gunakan Masjid sebagai Kendaraan
Dalam derajat yang beragam, kelompok Islam radikal telah menggunakan masjid sebagai kendaraan untuk penyebaran ideologinya. Demikian temuan riset yang dilakukan Center for the Study of Religion and Cultural UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian yang dilakukan pada September-Desember 2009 lalu itu menyasar 10 masjid di Solo, Jawa Tengah, yang ditengarai menjadi salah satu pusat radikalisme Islam.
Kesepuluh masjid tersebut adalah: Masjid Kottabarat di kecamatan Banjarsari, al-Islam di Mangkunegaran, al-Firdaus di Gendingan kecamatan Jebres, al-Kahfi di Mojosongo, masjid Kampus UNS Nurul Huda di Kentingan, Masid Komplek al-Hikmah, di Serengan, Masjid Agung Solo di Pasar Kliwon, Masjid Pesantren Jamsaren di Serengan, Masjid Besar Laweyan, dan Masjid al-Muttaqien Kartopuran yang berada di Gedung Umat Islam Laweyan.
Penelitian yang merupakan lanjutan dari riset sebelumnya bertajuk “Pemetaan Ideologi masjid-masjid di DKI Jakarta itu bertujuan untuk memetakan dan membuktikan sejauh mana infiltrasi ideology Islam eadikal di masjid-masjid yang berada di kota Solo.
“Kemunculan kelompok-kelompok Islam garis keras seperti laskar-laskar Islam, Pesantren al-Mukmin Ngruki, HTI, dsb menjadi pertimbangan kami mengapa memilih Solo,” jelas Irfan Abubakar salah seorang peneliti CSRC yang mempresentasikan hasil penelitiannya dalam seminar hasil penelitian tersebut pada awal (7/1) Januari lalu di Jakarta.
Selain temuan di atas, riset ini juga menjelaskan bahwa pengaruh radikalisme yang tinggi tidak hanya di masjid-masjid yang terkenal eksklusif dan berafiliasi dengan ormas Islam garis keras seperti Masjid Gumuk yang dikelola LPIS dan Masjid al-Kahfi yang dikelola Hidayatullah, tapi juga masjid-masjid yang berada di wilayah terbuka seperti Masjid al-Muttaqien di Kartoporan.
“Masjid-masjid yang diasumsikan terbuka dan moderat sekalipun, seperti masjid kampus umum, masjid pesantren tradisional, masjid komunitas heterogen, tidak luput dari pengaruh radikalisme, meskipun dengan level yang lebih rendah,” papar Irfan.
Menurut dosen Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, masjid-masjid yang dikelola NU seperti masjid al-Firdaus di Gendingan, Masjid Kottabarat milik Muhammadiyah, dan masjid-masjid di bawah kontrol pemerintah seperti Masjig Agung Solo dinilai paling sedikit terpengaruh radikalisme, meski upaya infiltrasi oleh kelompok radikal gencar dilakukan.
Riset ini secara khusus juga mendalami aspek kebijakan dakwah di masjid yang diteliti, terkait jama’ah masiid dan kontrol pengurus terhadap dakwah masjid. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari aspek keterbukaan jama’ah, pada umumnya terbuka kepada semua kalangan. “Kecuali Masjid Gumuk dan al-Kahfi Hidayatullah yang memiliki jama’ah eksklusif,” imbuh Irfan.
Kedua masjid tersebut, yakni Gumuk dan al-Kahfi jama’ahnya mendapatkan model pengajian yang terstruktur dan cenderung tertutup. Jama’ah Masjid Gumuk misalnya berasal dari pengurus dan imam-imam masjid di lingkungannya sehingga diperkirakan memiliki pengaruh terhadap corak dakwah di masjidnya masing-masing.
Ssementara, yang mengikuti pengajian rutin di masjid al-Kahfi merupakan calon da’I atau khatib yang telah dibekali dengan ajaran dan ideology Hidayatullah yang menekankan pentingnya totalitas dalam ber-Islam (kaffah).
Dari aspek kontrol pun masjid-masjid yang memiliki afiliasi dengan Hidayatullah dan juga FPIS, control pengurus sangat kuat. “Keputusan tentang khatib atau penceramah serta materi khutbah dan pengajian ditentukan secara otoritatif oleh ustadz yang sekaligus pimpinan pesantren yang memanyungi masing-masing masjid ini,” tandas Irfan.
Hal ini agak berbeda dengan masjid-masijid yang dikelola oleh aktivis NU dan Muhammadiyah yang menjalankan funsi control tidak seketat kedua masjid di atas. Begitu juga dengan masjid-masjid yang dikelola pemerintah (Depag), control dilakukan dari jauh pada khatib dan isi khutbah Jumat. Sedang untuk ceramah dan kegiatan pengajian di luar itu lebih longgar sehingga berbagai anasir bisa menggunakan masjid untuk ajang dakwah. Hal inilah yang dikhawatirkan tim peneliti, sebab tanpa adanya peningkatan control, dikhawatirkan tercipta keadaan yang berisiko terhadap infiltrasi ideology radikal.
Meski memberikan apresiasi tinggi terhadap hasil riset ini, Sidney Jones menyayangkan bahwa penelitian ini tidak menguak sebera tinggi pengaruh infiltrasi kelompok Islam radikal dalam kurun tertentu. “Ini penting agar kita mengetahui dalam kurun dua-tiga tahun misalnya, pengaruhnya seberapa jauh. Di masjid A tahun 2007 seperti ini, dua tahun kemudian, setelah kelompok radikal masuk menjadi begini,” kritik penasehat senior International Crisi Group ini sdemabri membefri menyontohkan.
Karenanya, peneliti Islam dan politik yang mukim di Jakarta ini mengajukan pertanyaan, meski banyak data menarik dalam riset ini, tetapi pertanyaan penting masih belum terjawab, yakni: “apakah betul ada proses radikalisasi di Solo, dan kalau ada, apakah makin kuat?” tanya perempuan kelahiran New York ini.
Pembahas lain, Dr. Abdul Mu’ti mengungkapkan bahwa riset ini menunjukkan bahwa masjid-masjid di Indonesia tidak lagi monolitik, melainkan bergerak dinamis mengikuti pergerakan di sekelilingnya. “Ada kontestasi, polarisasi dan konfigurasi yang kemudian membuat masjid memiliki karakternya sendiri-sendiri,” ujar dosen IAIN Wali Songo Semarang ini.
Penulis buku “Kristen Muhammadiyah: Konvergensi Muslim dan Kristen dalam Pendidikan” ini juga menengarai bahwa masjid telah mengalami pergeseran dari pusat peradaban ke arah birokratisasi. Gejala “gerejanisasi masjid” menurutnya mulai melanda masjid, sehingga masjid tak lagi terbuka, melainkan dikapling-kapling menjadi masjis-masjid eksklusif yang hanya memiliki jama’ah dengan karakter keagamaan yang sama.
Sementara itu, Komaruddin Hidayat yang memberikan sambutan penutup mengatakan bahwa jika di Indonesia ada semacam “gerejanisasi” yang menjadi stimulus radikalisasi agama, di Barat muncul masjidisasi atau islamisasi. Di Belanda, Jerman, dan Swiss misalnya, menurutnya tumbuh sangat pesat. Jika di sini orang Kristen membuat gereja dipersulit, umat Islam di Negara-negara tersebut juga dipersulit. “Jadi ada semacam jalinan. Oleh karena itu jika kita tidak fair terhadap komunitas non-muslim, maka kita juga harus siap menghadapi ketidakfairan dari umat non-muslim di Negara-negara lain,” tandas Rektor UIN Jakarta mengingatkan. [ ] Ahmad Nurcholish
informatif….
By: yudi on Januari 16, 2010
at 4:08 am