Diskusi Bulanan Jaringan Islam Liberal
Bedah Buku “Metodologi Studi al-Qur’an”
karya bersama Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie, dan Ulil Abshar-Abdalla
Narasumber: Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA (Rektor PTIQ Jakarta) dan Ulil Abshar Abdalla (JIL). Moderator: Novriantoni Kahar. Senin, 30 November 2009, Jam 19.00-21.30 WIB
di Teater Utan Kayu Jakarta
Seperti banyak orang tahu, Nabi Muhammad menerima wahyu al-Qur’an dari Jibril tak berupa bundelan mushaf yang bisa dibaca, melainkan (salah satunya) melalui suara yang didengar atau diperdengarkan. Dan dalam proses pengumpulan naskah dan pembukuan al-Qur’an pun melibatkan banyak peran manusia, sahabat-sahabat Nabi Muhammad. Al-Qur’an tak hadir sekonyong-konyong menjadi teks dengan lekukan huruf yang rapi dan tertib. Ada bentangan sejarah yang panjang sehingga al-Qur’an sampai pada kondisinya sekarang. Jika pada zaman awal Islam, al-Qur’an misalnya dilafalkan berdasarkan ingatan (`ala zhahri qalb), maka pada fase berikutnya al-Qur’an dibaca melalui huruf dan aksara (tilawah al-Qur’ani). Jika pada periode awal seseorang menghafalkan al-Qur’an berdasarkan pendengaran atas wahyu yang disampaikan Nabi Muhammad, maka pada periode selanjutnya seseorang menghafalkan al-Qur’an melalui mushaf tertulis.
Begitu juga menyangkut penyikapan atas kitab suci al-Qur’an ini. Sebagian kelompok memandang bahwa al-Qur’an ini adalah qadim (dahulu). Sementara kelompok lain seperti Mu’tazilah berpendirian bahwa al-Qur’an adalah benda hawadits (baharu). Satu kelompok berpendirian bahwa karena al-Qur’an merupakan firman Allah, maka ia adalah qadim sebagaimana ke-qadim-an Allah. Sedangkan yang lain berpendapat bahwa karena huruf, aksara, dan bahasa yang dipakai al-Qur’an itu merupakan reka cipta manusia (masyarakat Arab), maka al-Qur’an pun dinilai makhluq yang hadits (baharu) sebagaimana ke-baru-an manusia. Bagi kelompok Muktazilah, Allah berfirman dengan tanpa suara dan huruf (bi la shawt wa la harf). Dengan demikian, segala sesuatu yang bersuara dan berhuruf bisa dipastikan bukan firman Allah. Sebab, jika Allah berfirman dengan menggunakan huruf dan aksara, maka Allah sama saja dengan manusia yang memiliki perlengkapan tubuh yang bisa mengatur diafragma suara misalnya. Sementara Allah SWT. jelas berbeda dengan manusia (mukhalafah li al-hawadits).
Perbedaan penyikapan ini kemudian berlanjut pada perbedaan penafsiran al-Qur’an. Yang satu hendak menghampirinya secara harafiah-tekstual, sementara yang lain mendekatinya secara siyaqiyah-kontekstual. Dalam kaitan itu, lalu disusun sejumlah metodologi pembacaan dan penafsiran teks al-Qur’an. Kelompok tekstual berpendapat bahwa semakin harafiah seseorang di dalam menafsirkan, maka makin dekat ia pada kebenaran. Ini menurut kelompok tekstualis, sekali lagi, karena al-Qur’an sebagai firman Allah berupa huruf dan aksara. Sedangkan menurut kelompok kontekstualis, karena al-Qur’an turun dalam konteks yang spesifik maka peran sabab al-nuzul adalah mutlak. Semakin seseorang faham pada konteks yang menyertai kehadiran al-Qur’an, maka ia makin dekat pada kebenaran. Yang dilupakan dari dua kelompok ini adalah dimana posisi maqashid al-syari`ah (nilai-nilai etis al-Qur’an) yang mendasari seluruh ayat-ayat al-Qur’an, jika al-Qur’an diposisikan hanya sebagai deretan huruf atau gugusan konteks partikularnya. Dalam kaitan itu, dibutuhkan sebuah kerangka metodologi yang bisa merawat maqashid al-syari`ah tersebut.
Buku ini bermaksud memberikan pemaknaan terhadap al-Qur’an dari sudut normatif dan terutama historisnya. Bahwa di samping memiliki nilai partikular yang historis-tarikhi, tak bisa disembunyikan bahwa dalam al-Qur’an juga terkandung nilai universal yang meta-historis-alla tarikhi. Jika perintah penegakan keadilan misalnya bersifat abadi-universal-qath’iyyat-ushuliyyat, maka teknik dan mekanisme penegakan keadilan adalah bersifat ad hoc-partikular-zhanniyat-furu’iyyat. Posisi al-Qur’an yang selalu berada di antara dua ketegangan itu–kesementaraan dan keabadiaan, partikularitas dan universalitas, ushuliyyat dan furu’iyat–menyebabkan al-Qur’an sebagai kitab suci selalu menarik untuk dikaji dan ditelaah.
Di tulis tiga Muslim dengan latar belakang pendidikan keislaman yang menunjang, buku ini berguna menjadi pegangan para mahasiswa UIN-IAIN-STAIN, penggiat studi al-Qur’an, dan para teolog lintas agama khususnya serta umat beragama pada umumnya. Tak seperti umumnya buku-buku tentang al-Qur’an yang suka menenggelamkan historisitas al-Qur’an ke bawah karpet, buku ini sengaja menyingkap tirai (kasyf al-mahjub) kesejarahan al-Qur’an itu secara dingin dan obyektif. Mungkin ada yang tak setuju dan keberatan, tapi itu lumrah dalam setiap studi-kajian apalagi studi terhadap kitab al-Qur’an al-Karim. []
Komentar Tokoh tentang Buku ini
“Metodologi Studi Al-Qur’an” yang ditulis oleh tiga intelektual Muslim generasi baru yang faham khazanah klasik dan khazanah modern ini pasti akan mendorong diskusi sehat dan dewasa di kalangan umat Indonesia yang makin cerdaas. Yang disorot adalah proses penulisan wahyu, sedangkan wahyu itu sendiri adalah domain iman yang berada di seberang ranah ilmu pengetahuan.
(Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah)
“Al-Qur’an adalah sumber rujukan umat Islam. Setiap usaha menangkap spirit dan nilai-nilai dasar al-Qur’an harus dihargai. Buku ini adalah bagian dari upaya itu. Di dalamnya terkandung banyak informasi yang mungkin perlu diketahui para Muslim scholar, khususnya para peminat studi al-Qur’an. Bagaimana misalnya kompleksitas penulisan dan kodifikasi al-Qur’an berlangsung hingga bagaimana cara memaknai dan menafsirkan al-Qur’an dalam konteks sekarang. Mungkin ada bagian-bagian dalam buku ini yang tidak disetujui oleh sebagian pembaca tetapi saya kira itu sesuatu yang wajar dalam dunia intelektual. Saya mengenal para penulis buku ini sebagai para intelektual Muslim yang memiliki ghirah keislaman yang kuat. Buku ini adalah cerminan dari komitmen keislamannya yang tiada henti untuk terus merawat nilai-nilai dasar al-Qur’an. Tak banyak orang yang mau menceburkan diri dalam kajian-kajian yang mendalam dan menantang seperti ini. Semoga kita semua mendapatkan petunjuk dari Allah SWT”.
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA (Guru Besar Tafsir al-Qur’an,
Dirjen Bimas Islam Depag RI, dan Katib Am PBNU)
Tinggalkan Balasan