Oleh: ahmadnurcholish | Agustus 31, 2009

Perdebatan Konstruktif Ada, Anarkisme Juga Nyata!

ulilUlil Abshar-Abdalla:

Perdebatan Konstruktif Ada, Anarkisme Juga Nyata!

Dunia Islam, terutama tradisi Sunni, mengenal Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i (1058 -1111) sebagai hujjat al-Islam. Gelar tersebut menggambarkan kedudukan agung al-Ghazali dalam sejarah Islam. Banyak kalangan yang meganggap bahwa di dunia Islam, al-Ghazali adalah orang kedua yang memiliki pengaruh terbesar setelah Nabi Muhammad. Al-Ghazali menghasilkan begitu banyak karya. Sedemikian banyak, sehingga tidak ditemukan jumlah yang pasti mengenai karya-karya al-Ghazali tersebut. Tidak hanya banyak, tetapi juga sangat berpengaruh. Begitu berpengaruhnya nama al-Ghazali, banyak orang yang kemudian menulis dan membubuhkan nama al-Ghazali pada tulisannya.

Selasa malam, 25 Agustus 2008, di Gedung Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, Ulil Abshar-Abdalla mengurai pemikiran al-Ghazali dalam salah satu buku terkenalnya, Faishal al-Tafrîqah bayna al-Islam wa al-Zandaqah. Pengajian yang dilaksanakan setelah salat taraweh berjamaah itu dihadiri oleh sekitar 50 peserta.

Gus Ulil (sapaan akrab Ulil di kalangan warga Nahdliyyin) menyatakan bahwa buku yang sedang dikaji berasal dari kerisauan al-Ghazali melihat ummat Islam yang berada di ambang disintegrasi. Pada masa itu terjadi banyak sekali polemik pemikiran di kalangan ummat Islam. Pada satu sisi, perdebatan konstruktif terjadi di kalangan ummat Islam, tetapi ancaman anarkisme juga sangat nyata. Ancaman itu muncul dalam bentuk saling mengkafirkan.

Al-Ghazali menulis buku tersebut dengan sebuah pertanyaan besar, dalam kondisi bagaimana seseorang bisa dianggap kafir? Pertanyaan lain yang senada adalah siapa yang bisa disebut beriman dan siapa pula yang bisa disebut kafir? Ulil mengutip definisi al-Ghazali. Menurut al-Ghazali, orang yang beriman adalah mereka yang percaya kepada Rasul dan semua yang diajarkannya. Sementara orang yang kafir adalah mereka yang tidak percaya kepada Rasul dan semua yang diajarkannya.

Al-Ghazali mengakui bahwa sepintas lalu definisi ini tampak sederhana, tetapi sebenarnya tidak. Bagi kalangan Asy’ari, mereka menganggap praktik agama yang mereka lakukan dan percayai adalah sesuai dengan ajaran Nabi, sementara kalangan lain di luarnya tidak menjalankan ajaran Nabi secara penuh. Implikasi dari definisi al-Ghazali adalah bahwa bagi kalangan Asy’ari, semua orang yang tidak sepaham dengannya adalah kafir karena mereka tidak percaya kepada semua ajaran Nabi. Demikian pula kelompok-kelompok lain akan mengkafirkan semua kelompok di luar mereka.

Menurut Ulil, kekisruhan yang mungkin muncul dari definisi al-Ghazali ini coba diatasi oleh al-Ghazali sendiri dengan membuat qãnūn al-ta’wîl (aturan-aturan penafsiran). Tidak bisa seseorang dengan semena-mena mengkafirkan orang lain hanya karena perbedaan pendapat atau mazhab. Dalam rangka menciptakan aturan main penafsiran, al-Ghazali menguraikan lima macam wujūd atau keberadaan. 1) wujūd al-zãti, ada esensial yang ada pada setiap benda-benda, yakni benda-benda sebagaimana adanya. 2) wujūd al-khishshi, ada yang mungkin dialami tetapi sesungguhnya tidak aktual. Ulil mencontohkan cerita mengenai Jibril yang sering muncul di hadapan Nabi dalam beragam rupa. Rupa-rupa Jibril itu muncul tetapi sebenarnya tidak ada. 3) wujud al-khayali, ada yang ada pada angan-angan tentang sesuatu yang pernah dialami. 4) wujūd al-aqli, ada berdasarkan kalkulasi rasional. 5) wujūd al-syibhi, ada metaforis.

Menurut al-Ghazali, kriteria kebenaran tidak bisa dipatok hanya pada satu perspektif. Perbedaan pandangan mengenai sebuah doktrin akan sangat bergantung pada cara pandang dia terhadap doktrin tersebut, apakah dia memahaminya secara denotatif atau metaforis. Kendati begitu, al-Ghazali tetap menekankan bahwa tidak bisa juga pengambilan posisi ada (wujūd) dilakukan secara semena-mena. Orang tidak bisa mengambil posisi pemikiran wujūd al-khishshi sejauh masih ada argumen untuk mendukung wujūd al-zãti. Di titik ini, posisi argumen sangat penting.

Dalam hal ini, menurut Ulil, al-Ghazali sesungguhnya ingin menampung keragaman secara bertanggung-jawab. Bahkan secara eksplisit, al-Ghazali mengatakan bahwa kita harus menghindar dari mengkafirkan orang yang masih menggunakan ka’bah sebagai kiblat. Kalaupun ada perbedaan, maka sedapat mungkin dicari penyelesaian. Paling jauh yang bisa dilakukan jika perbedaan pandangan benar-benar tidak bisa didamaikan adalah menyatakannya sesat atau bid’ah. Itupun, menurut Ulil, sesat dalam pengertian itu hanya ungkapan untuk menyatakan pemikiran yang lain itu tidak sesuai dengan pemikiran yang dianutnya. [Saidiman]


Tanggapan

  1. anarkisme nya dimana ?hehee
    mohon pencerahan nya


Tinggalkan komentar

Kategori