Al-Qur’an Jamin Kebebasan Beragama
Tak hanya memberikan pengakuan dan jaminan, Qur’an juga mewajibkan umat Islam untuk memberikan hak beragama bagi umat non-Muslim sesuai ajaran mereka.
Judul: Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an
Penulis: Abd. Moqsith Ghazali; Penerbit: Kata Kita, Jakarta
Tebal: xxx + 424 halaman, Cetakan I Februari 2009
Perbedaan agama acap kali masih menjadi penghalang bagi terwujudkan kehidupan yang toleran, harmoni, jauh dari prasangka dan tindakan kekerasan. Realita ini semakin menguatkan pandangan bahwa agama merupakan sumber kebencian, perpecahan dan inspirasi bagi pelaku kekerasan, yang antara lain untuk melenyapkan mereka yang berbeda atau dianggap berbreda.
Di sisi lain sejumlah agamawan, tokoh LSM, dan sebagian masyarakat kita memercayai bahwa agama seyogyanya membuat penganutnya terhindar dari hal-hal negative seperti tersebut di atas. Kelompok ini yakin betul bahwa setiap agama, termasuk Islam membawa misi perdamaian, toleransi dan perlindungan bagi umat agama lain yang berbeda. Lantas bagaimana sebetulnya teks agama (Islam) dalam hal ini al-Qur’an bicara soal itu? Melalui buku inilah Moqsith nampaknya hendak menjawab semua pertanyaan tersebut.
Toleransi (al-tasamuh) merupakan salah satu ajaran inti yang sejajar dengan ajaran lain, seperti kasih (rahmat), kebijaksanaan (hikmat), kemaslahatan universal (maslahat ‘ammat), keadilan (‘adl). Beberapa ajaran inti Islam tersebut menurut Moqsith, merupakan sesuatu yang – meminjam istilah ushul fikih – qath’iyyat, yakni tak bias dibatalkan dengan nalar apa pun, dan kulliyyat, yaitu bersifat universal, melintasi ruang dan waktu (shalih li kulli zaman wa makan). Singkatnya, prinsip-prinsip ajaran inti Islam itu bersifat trans-historis, trans-ideologis, bahkan trans-keyakinan-agama.
Oleh karenanya, setiap umat Islam wajib menyampaikan ajaran toleransi ke tengah umat sebagaimana dianjurkan oleh nabi Muhammad saw, “sampaikanlah walau hanya satu ayat.” (Hadits Shahih Bukhari). Sebagai ajaran fundamental, toleransi ditegaskan al-Qur’an. Menurut al-Qur’an perbedaan agama bukan penghalang untuk merajud tali persaudaraan antar-manusia yang berlainan agama. Nabi Muhammad lahir ke dunia bukan untuk membela satu golongan, etnis, dan agama tertentu saja, melainkan sebagai rahmat li al-alamin.
Dengan demikian, tak ada alasan bagi seorang Muslim membenci orang lain karena is bukan penganut agama Islam. Membiarkan orang lain (al-akhar) tetap memeluk agama non-Islam adalah bagian dari perintah Islam itu sendiri. Bahkan toleransi yang ditun jukkan Islam demikian kuat sehingga umat Islam dilarang memaki tuhan-tuhan yang disembah orang-orang Musyrik. [QS. Al-An ‘am/6:108]. Hal. 216.
Dalam soal pengakuan dan keselamatan umat non-Muslim Islam juga menegaskan dalam al-Qur’an hingga berkali-kali. Islam, tulis Moqsith, mengakui eksistensi agama-agama yang ada dan menerima beberapa prinsip dasar ajarannya. Namun, ini tidak berarti bahwa semua agama adalah sama. Sebab, setiap agama memiliki kekhasan, keunikan, dan karakteristik yang membedakan satu dengan yang lain.
Melalui buku yang semula merupakan disertasi doktoral dari sang penulis di Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, Moqsith membeberkan beberapa ayat yang bisa ditunjuk sebagai bukti pengakuan al-Qur’an terhadap agama-agama lain.
Pertama, pengakuan terhadap eksistensi dan kebenaran kitab-kitab sebelum Islam. Taurat dan Injil, misalnya, disebut al-Qur’an sebagai petunjuk (hudan) dan penerang (nar). [QS. Al-Maidah/5:44, 46-47]. Melalui ayat-ayat dalam al-Qur’an ini jga ditegaskan bahwa Islam memberikan pengakuan terhadap umat Yahudi dan Nashrani; mereka cukup menjadikan kitab suci masing-masing sebagai sandaran moral mereka. Ditegaskan pula, sekiranya mereka berpaling dari kitab sucinya, mereka adalah kafir dan fasik. Hal. 241-242.
Kedua, pengakuan terhadap para pembawa agama sebelumnya seperti Musa dan Isa al-Masih. Sebagaimana perintah mengimani kitab-kitab wahyu, umat Islam diharuskan mengimani para nabi dan rasul, minimal 25 rasul, karena jumlah nabi dan rasul diperkirakan mencapai 124.000 orang nabi dan 315 orang rasul.
Ketiga, secara eksplisit al-Qur’an menegaskan bahwa siapa saja – Yahudi, Nashrani, Shabi’in, dll – yang menyatakan hanya beriman kepada Allah, percaya pada Hari Akhir, dan melakukan amal saleh, tak akan pernah disia-siakan oleh Allah. Mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal atas keimanan dan jerih payahnya. [QS. Al-Maidah/5: 69 dan al-Baqarah/2: 62].
Keempat, al-Qur’an membolehkan umat Islam berteman dengan umat agama lain, selama umat agama lain itu tak memusuhi dan tak mengusir dari tempat tinggalnya. Sekiranya mereka melakukan permusuhan, maka wajar kalau umat islam diperintahkan melakukan pertahanan diri [QS. Al-Mumtahanah/60:7-9]. Hal. 244-250.
Dalam hal umat Islam meminta bantuan dan perlindungan, sejarah juga mengukir tetang hal ini. Pertama, ketika umat Islam dikejar-kejar orang-orang kafir Quraisy Mekah, Nabi mencari petlindungan kepada Najasyi, Raja Abisinia yang Kristen. Ratusan sahabat Nabi termasuk Utsman dan istrinya Ruqayah (putrid Nabi), hijrah ke Abisinia untuk menghindari ancaman pembunuhan kafir Quraisy.
Dan pada saatkafir Quraisy memaksa sang raja mengembalikan umat Islam ke Mekah, ia tetap pada pendiriannya: pengikut Muhammad harus dilindungi dan diberikan haknya untuk memeluk agama Islam. Menariknya, ketika Sang Raja ini meninggal dunia, Muhammad pun melaksanakan salat jenazah dan memohonkan ampun atasnya.
Kedua, Abu ‘Ubaidillah al-Mahdi, khalifah pertama dari Dinasti Fathimiyah pernah meminta nasihat kepada salah seorang Kristen tentang lokasi yang tepat bagi ibu kota Negara.
Berangkat dari fakta-fakta normative tersebut, semakin jelaslah bahwa pengakuan Islam atas ajaran agama dan umat agama lain. Tidak sekadar itu, menurut al-Qur’an, umat non-Muslim pun akan diselamatkan Allah sejauh mereka menjalankan ajaran agamanya secara sungguh-sungguh dan melakukan amal saleh, sebagaimana ditetapkan kitab suci masing-masing. Hal. 251.
Selain beberapa pokok pikiran di atas buku ini juga membahas masalah keagamaan yang hingga kini masih menjadi perdebatan, yakni soal nikah beda agama. Pada masalah ini dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan Universitas Paramadina Jakarta ini membahasnya panjang lebar pada halaman 326-356.
Berbeda dengan ulama-ulama lain, termasuk pandangan MUI, Moqsith melihat nikah beda agama sebagai sesuatu yang alami dan tak terhindarkan. Ia juga beberkan fakta sejarah tentang hal itu berikut argument keagamaan (Islam) yang sangat mendalam, sehingga bermuara pada kesimpulan bahwa perbedaan agama tak menghalangi seseorang untuk dapat menikan. Termasuk diantaranya perempuan Muslimah dengan laki-laki ahl al-kitab.
Tak ada gading yang tak retak. Meski memiliki sejumlah kelebihan, buku ini tak luput dari kesalahan dan kelemahan. Pertama, dan ini yang paling menonjol adalah tiadanya indeks yang biasanya ditulis di halaman akhir buku ini. Dengan tidak adanya indeks, pembaca yang akan menjadikan buku ini sebagai bahan referensi akan kesulitan untuk menelusuri secara cepat teks atau kata-kata penting di dalamnya.
Kedua, kesalahan mencolok juga terjadi antara nomor halaman pada daftar isi dengan halaman sebenarnya. Misalnya saja sub judul Beragam Syari’at, Satu Tujuan yang di daftar isi tertulis halaman 147, faktanya ia baru muncul di halaman 164. Begitu pula pada sub judul Toleransi dan Kebebasan Beragama tertulis halaman 205, kenyataannya tertera di halaman 215. Ada lagi sub judul Tiga Agama, Satu Tuhan tercatat di halaman 174, namun setelah ditelusuri baru ada di halaman 200.
Meski terlihat sederhana namun kedua kesalahan tersebut sangat mengganggu bagi pembaca serius yang hendak menggali lebih jauh dari isi buku ini. Untungnya, beberapa saat sebelum buku ini didiskusikan di Teater Utan Kayu akhir Februari lalu, Moqsith sudah mengakui kesalahan dan kelemahan tersebut pada penulis dan berjanji akan merevisinya di edisi berikutnya.
Terlepas dari kelemahan dan kesalahan di atas buku ini semakin memerkaya khasanah inteletual Islam, khususnya yang berbicara tentang toleransi dan perdamaian. Buku ini juga melengkapi buku-buku serupa yang terbit sebelumnya seperti Islam Inklusif: Menuju Sikap Terrbuka dalam Beragama (Alwi Shihab, 1999), Islam Pluralis (Budhy Munawar-Rahman, 2001), dan Al-Qur’an Kitab Toleransi (Zuhairi Misrawi, 2007). Bahkan, dari sisi kajian teks (al-Qur’an dan hadits serta kitab-kitab klasik/turats/kitab kuning) buku ini terasa amat kaya karena diperkuat dengan landasan ushul fikih yang menjadi kekhasan dunia pesantren. [ ] Ahmad Nurcholish
Bukunya Bagus Baget… ada lanjutanya ngak??. tlng kabari ya..
By: adi on Juli 9, 2009
at 4:02 am
Buku yang bagus skali. saat ini bangsa kita mngalami krisis persatuan pdhl perbedaan itu bukan untuk mnambah msalah tapi bisa sbgai pemersatu antar golongan.
By: yunda on Juli 20, 2009
at 7:09 am
Feb 2010 : Di beberapa toko buku besar sdh tdk ada, juga di toko buku online, buku ini di cetak ulang tidak?
By: Rizki on Februari 23, 2010
at 8:48 am