Pluralisme Bukan Relativisme
Karenanya yang diperlukan adalah sikap toleran, keterbukaan, dan kesetaraan dalam beragama.
Paling tidak ada tiga pengertian pluralisme kontemporer yang telah dikembangkan para teolog, dan dijadikan dasar analisis bahwa dalam teologi maupun sejarah Islam pluralism itu memang ada.
Hal ini disampaikan Budhy Munawar-Rahman dalam bedah buku Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an karya Abd. Moqsith Ghazali pada akhir (25/2) Februari lalu di Teater Utan Kayu Jakarta.
Ketiga pengertian tersebut, termasuk yag dikembangkan Moqsith dalam bukunya itu adalah pertama, pluralisme adalah keterlibatan aktif dalam keragaman dan perbedaannya, untuk membangun peradaban bersama.
Dalam pengertian ini, menurut Budhy, seperti tampak dalam sejarah Islam, pluralism lebih dari sekedar mengakui pluralitas keragaman dan perbedaan, tetapi aktif merangkai keragaman dan perbedaan itu untuk tujuan sosial yang lebih tinggi, yaitu kebersamaan dalam membangun peradaban.
“Dalam bahasa Nurcholish Madjid, ‘pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban’,” terang Budhy mengutip pandangan almarhum gurunya.
Kedua, pluralisme dengan pengertian yang pertama, kata Budhy, berarti mengandaikan penerimaan toleransi aktif terhadap yang lain. “Tetapi pluralisme melebihi toleransi,” tandas Budhy.
Pluralisme, imbuh Program Officer Islam and Development The Asia Foundation ini mengandaikan secara mendalam atas yang lain itu, sehingga ada mutual understanding yang membuat satu sama lain secara aktif mengisi toleransi itu dengan hal yang lebih konstruktif, untuk tujuan yang pertama, yaitu aktif bersama membangun peradaban.
“Ini sebagaimana terjadi dalam sejarah Islam, termasuk di Spanyol (Andalusia) yang merupakan contoh paling ekspresif,” ujar Budhy member contoh.
Ketiga, berdasarkan pengertian kedua, lanjut Budhy, maka pluralism bukan relativisme. Bagi Budhy, pengenalan yang mendalam atas yang lain akan membawa konsekuensi mengakui sepenuhnya nilai-nilai dari kelompok yang lain.
“Toleransi aktif ini menolak paham relativisme, misalnya pernyataan simplistic, ‘bahwa semua agama itu sama saja’. Justru yang ditekankan keberbedaan itu merupakan potensi besar, untuk komitmen bersama membangun toleransi aktif, untuk membangun peradaban,” tutur Budhy mengutip pandangan filsuf India Raimundo Panikkar.
Ketiga pengertian pluralisme ini, imbuh Budhy, secara teologis seperti telah ditunjukkan oleh Moqsith Ghazali dalam bukunya berarti bahwa manusia harus menangani perbedaan-perbedaan mereka dengan cara terbaik (fastabiq-u ‘lkhairat) secara maksimal, sambil menaruh penilaian akhir mengenai kebenaran kepada Tuhan.
Karena tidak ada satu carapun yang bisa dipergunakan secara objektif untuk mencapai kesepakatan mengenai kebenaran mutlak ini,” tegas Budhy.
Sementara itu, menanggapi buku Moqsith, Gonawan Mohamad menilai doktor dari UIN Syarif Hidayatullah itu sama dengan MUI. “Keduanya sama-sama memiliki keterbatasan dalam memahami Islam,” katanya.
Karenanya, lanjut wartawan senior ini, kita tidak tahu tafsir mana yang paling benar. “Apakah Islam sebagaimana yang ditafsirkan Moqsith atau Islam yang dipahami MUI yang mengharamkan pluralism dan liberalism,” tuturnya menyinggung fatwa MUI tiga tahun silam.
Meskipun begitu, melihat pengalaman sejarah, menurut Gonawan, yang benar pada akhirnya ditentukan oleh mereka yang menang politik atau yang memegang kekuasaan. “Kebenaran masih didominasi oleh mereka yang berkuasa,” tandasnya sembari mengingatkan bahwa argumentasi itu merupakan entrepretasi semata.
Diskusi yang dihadiri seratusan orang malam itu berlangsung menghangat. Luthfi Assyaukani misalnya, mengkritik judul buku yang ditulis koleganya itu. Karena menurutnya, Islam, termasuk agama semith lainnya tidak ada yang masuk kategori pluralis. “Paling-paling baru pada tataran inklusif,” paparnya.
Namun demikian, Luthfi, seperti juga dikatakan Budhy, agama bisa saja baru pada tataran inklusif, tetapi penganutnya sangat mungkin mencapai tingkatan pluralis. “Orang-orang seperti Ibnu al-Arabi, Syekh Siti Jenar merupakan tokoh-tokoh pluralis dalam perilakunya sehari-hari,” tuturnya.
Oleh sebab itu, Budhy menambahkan, dalam kehidupan yang serba pluralis ini penting diperkenalkan cara pandang agama yang bersifat komprehensif sehingga bisa mengapresiasi perbedaan.
“Kita – seperti sudah dicoba oleh Moqsith dalam bukunya – perlu memikirkan cara mengatasi fanatisme dalam beragama. Di samping itu, pengajaran agama tidak saja mengenai doktrin keagamaan, tetapi perlu juga pengembangan filsafat dan ilmu-ilmu humaniora serta situdi multikulturalisme agar lebih menyadari bahwa pluralitas itu adalah suatu keniscayaan sejarah,” paparnya.
Persis pada poin inilah, kata Budhy, untuk membuat pluralitas menjadi hal yang produktif, diperlukan pluralism. Sebab, kata dia, tidak bias dipungkiri – sebagaimana terlihat dalam fenomena keagamaan di Indonesia – pluralitas mengandung bibit perpecahan. Karenanya diperlukan sikap toleran, keterbukaan, dan kesetaraan. [ ] Ahmad Nurcholish
Assalamu ‘alaikum.
Ilmu saya masih sedikit. Setahu saya Al Qur’an dan Muhammad SAW tidak mengenal pluralisme. Mohon diperiksa kembali bahwa yang ditunjukkan Al Qur’an dan Rasulullah adalah pengakuan adanya pluralitas. Manusia bebas memilih jalan kanan atau kiri. Menjadi muslim atau menjadi kafir. Namun “Inna ad-Dina ‘inda Alloh al-Islam”.
By: amir on Juli 25, 2009
at 6:12 pm