Oleh: ahmadnurcholish | Januari 11, 2009

Pengakuan atas Kerja Banyak Orang

Musdah Mulia:

Penghargaan Ini Pengakuan atas Kerja Banyak Orang

Yap Thiam Hien Award bukan satu-satunya penghargaan yang ia terima. Ia pun tak pernah berharap untuk memerolehnya. Ia bekerja sebagaimana keyakinan agamanya. Mengedepankan nilai-nilai universal, kemanusiaan dan HAM adalah diantaranya.

Matahari belum lama menenggelamkan pancarannya. Jalanan Jakarta sedang macet-macetnya. Maklum, sore jelang malam pada hari Rabu (10/12) itu para pekerja Jakarta tengah berpacu pulang menuju peraduan masing-masing. Sementara di sebuah hotel mewah berbintang lima juga nampak kesibukan yang tak seperti biasanya. Tepat di Hari Peringatan Hak Azasi Manusia Internasional itu panitia penganugerahan Yap Thiam Hien Award 2008 tengah bersiap-siap menggelar acara tahunan bergengsi itu.


Ya, malam itu seorang perempuan muslimah yang saat itu masih khusyu’ melaksanakan ritual haji di Makkah mendapatkan anugerah istimewa, penghargaan Yap Thiam Hien Award 2008. Ratusan undangan memadati satu ballroom di hotel yang berdiri megah di bilangan Lapangan Banteng Jakarta Pusat itu. Sayangnya, perempuan muslimah bernama Siti Musdah Mulia, sosok yang terpilih sebagai penerima penghargaan itu tak dapat hadir. Komentar singkatnya, rekaman dari sebuah stasion televise swasta sempat ditayangkan melalui layar lebar.

“Menurut saya penghargaan ini penghargaan untuk semuanya. Penghargaan ini merupakan pengakuan atas kerja banyak orang. Artinya bahwa pekerjaan itu nggak mudah. Bahwa ada yang memberikan penghargaan menurut saya penting juga. Sebab selama ini kan mereka yang bekerja di ranah ini sering terlupakan,” katanya pada MaJEMUK.


Beberapa hari sepulangnya dari menunaikan ibadah haji, tepatnya Senin (22/12) siang, awak MaJEMUK Ahmad Nurcholish menemuinya di kantor ICRP. Doctor dan pengajar pasca sarjana UIN Syarif Hidayatulah Jakarta ini menyampaikan komentarnya mengenai penghargaan itu dan opininya mengenai perkembangan isu-isu pelaksanaan HAM, demokrasi, dan toleransi agama serta bagaimana seharusnya peran pemerintah, NGO dan agamawan. Sembari sesekali menyeruput teh hangat, ketua umum ICRP yang giat membela hak-hak minoritas ini sangat antusias menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan. Petikannya:


Bagaimana perasaan Anda menerima penghargaan itu?

Kaget aja, wong saya lagi pergi haji, tiba-tiba ditelpon. Bingung juga saya, apa kritrerianya koq saya yang mendapatkan. Dijelaskan pada saya bahwa banyak katanya orang yang bicara soal HAM, tapi sekedar pada tataran akademisi, karena memang mereka dosen yang berkaitan dengan ilmu-ilmu hukum. Atau orang yang bekerja di lembaga HAM. Tapi, kata mereka saya tak sekedar itu.


Saya sendiri, apa yang saya lakukan selama ini tidak pernah berharap suatu saat akan memperoleh penghargaan, itu nggak sama sekali. Buak saya sih apa yang saya lakukan karena menyakini bahwa itu tugas sebagai manusia dan bagian dari kewajiban keagamaan kita. Itu yang paling utama buat saya. Intinya saya melakukan itu karena tugas keagamaan dan karena kemanusiaan. Jadi penghargaan ini untuk semuanya. Penghargaan ini merupakan pengakuan atas kerja banyak orang. Artinya bahwa pekerjaan semacam itu nggak mudah. Bahwa ada yang memberikan penghargaan menurut saya penting juga. Sebab selama ini kan mereka yang bekerja di ranah ini sering terlupakan.


Menurut Anda aspek yang mana saja yang Anda lakukan sehingga penghargaan itu diberikan kepada Anda?

Mestinya nanyanya ke juri ya (sambil tertawa). Saya sendiri kurang tahu pastinya. Tapi menurut saya, hal yang paling sulit adalah bagaimana mengemukakan pandangan-pandangan keagamaan yang bertentangan dengan pandangan mayoritas. Dan itu menurut saya sulit karena kita ini hidup di Negara yang mayoritas Islam. Pemahaman mayoritas konservatif. Dengan pemahaman seperti itu hemat saya banyak yang bertentangan dengan nilai-nilai HAM. Nah, bagaimana misalnya saya menyodorkan pemahaman perempuan itu tidak boleh diperlakukan semena-mena. Sementara masyarakat muslim Indonesia mengatakan bahwa memang perempuan itu makhluk domestic. Itu (pemahaman yang saya tawarkan) kan betul-betul melawan arus. Juga, bagaimana mayoritas muslim Indonesia memandang kelompok seperti Lia Eden, Ahmadiyah merupakan kelompok-kelompok kafir dan harus dimusnahkan. Sebab kalau dibiarkan, kita yang salah juga. Sementara kita datang dengan mengatakan bahwa mereka juga manusia, harus dihargai dan tidak boleh diperlakukan seperti itu (dengan kekerasan, dsb). Menurut saya yang paling sulit adalah mengusung pandangan keagamaan yang pro kemanusiaan, pro HAM di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas berpandangan keagamaan yang konservatif, yang tidak menjalankan prinsip-prinsip universal Islam. Bagi saya sih itu yang penting.


Bukankan itu sudah Anda dan kawan-kawan seperjuangan Anda lakukan sejak sepuluhan tahun yang lalu. Nah, menurut Anda bagaimana capaiannya sekarang?

Menurut saya kesadaran tentang nilai-nilai universal itu sudah dipahami dan tersosialisasi dengan baik. Dan juga terbangun, di mana hal itu sebagian sudah diimplementasikan kedalam kebijakan public. Ini memang tidak mudah, karena membutuhkan faktor political will. Sayangnya adalah pemerintah kita nampaknya juga sulit untuk itu. Pemerintah kan dalam kondisi di mana setiap partai, meski ada juga partai yang berpikiran progress dan berpandangan kritis terhadap HAM, tapi mereka juga terkendala oleh pandangan konstituennya masing-masing. Jadi kepentingan politik dimana mereka agar tidak ditinggalkan oleh konstituennya masih menjadi hambatan tersendiri. Inilah kemudian yang tidak bisa kita harapkan dari partai politik. Jadi saya kira kesulitan kita untuk menerapkan pikiran-pikiran kita ya bahwa pluralism itu (menjadi semangat kehidupan) di Indonesia ini lebih banyak bukan hanya factor masyarakat yang umumnya berpandangan konservatif, tapi juga kita terbentur pada partai politik yang tidak nasionalis.


Jika seperti itu ke depan apa saja langkah-langkah yang bisa kita lakukan, baik oleh NGO dan agamawan?

Menurut saya kita jalan aja terus. Bersuara lagi, bersuara lagi. Buat saya nggak ada kata untuk berhenti, untuk frustasi. Semua cara menurut saya ada keunggulan dan ada kelemahan. Yang paling penting adalah bagaimana kita tidak pernah berhenti menyuarakan kebenaran agama (Islam) tentang kemanusiaan, dsbg. Buat saya ya tetep saja semua aktivis, akademisi harus bersuara.


Nah, sejumlah aktivis NGO kan sudah melangkah ke ranah yang lebih praktis dengan masuk parpol dan berencana menjadi anggota legeslatif. Konon, alasan mereka salah satunya agar gagasan-gagasan mereka ketika di NGO dapat dijalankan secara efektif. Menurut Anda?

Menurut saya sih itu alasan-alasan klise aja. Karena orang seperti Akbar Tanjung dulu alasannya juga seperti itu. Tapi ketika sudah mendapatkan segala-galanya, jadi ketua partai, ketua DPR, toh nggak berbuat apa-apa. Amin Rais ngomongnya juga seperti itu. Tapi setelah menjadi ketua MPR juga nggak melakukan apa-apa. Boleh-boleh saja orang berpandangan seperti itu, tetapi kita nggak bisa berharap bahwa hanya dengan duduk di DPR baru kita bisa merubah. Nggak mejadi apapun buat saya tetap harus selalu optimis bahwa dengan modal apa adanya kita dapat menyuarakan apa yang kita yakini. Artinya kita bisa lakukan tanpa harus menunggu jadi anggota DPR atau pejabat pemerintah, bahkan menjadi presiden.


Saya sih nggak terlalu percaya dengan prinsip-prinsip seperti itu. Lakukanlah dalam kapasitas kita masing-masing. Kalau kita mau sungguh-sungguh mau menerapkan prinsip-prinsip kemanusiaan nggak mesti harus menunggu kita harus jadi apa dulu. Nggak mesti jadi aktivis. Guru misalnya, di kelas dapat melakukan sesuatu yang lebih berharga. Ibu rumah tangga pun bisa mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan pada anak-anaknya.

Artinya sebetulnya kerja-kerja dan perjuangan seperti itu bisa dilakukan oleh siapa saja?

Betul. Jadi nggak harus menunggu memeroleh posisi tertentu.


Lia Eden kembali ditangkap. Komentar Anda?

Saya melihat kasus Lia Eden ini, dia ditangkap karena pernyataan-peryataan Eden terhadap kebijakan SBY, menurut saya pemerintah koq semakin kerdil ya. Karena Soeharto dulu juga marah dengan kritik yang dilakukan seperti itu ya wajar, sebab Soeharto berada pada pemerintah yang tidak terbuka dan jauh dari semangat reformasi dan demokrasi. Tapi saya sayangkan saja kalau SBY lalu melakukan cara-cara yang menurut saya lebih setback dengan apa yang dilakukan oleh Soeharto. Sedih aja sih. Buat saya orang-orang seperti Lia Eden sepanjang hanya membuat peryataan-peryataan seperti itu ya sah-sah saja. Sepanjang ia tidak menghasut warga, tidak menghasut masyarakat untuk memusuhi presiden atau menjatuhkannya, nggak ada masalah.


Bukankah Lia Eden mengirim surat tentang wahyu yang dia terima ke sejumlah pejabat dan lembaga keagamaan?

Ya hanya mengirim. Kan bukan menghasut. Saya baca isinya juga. Pertanyaannya adalah kenapa kita percaya begitu saja. Sepanjang tidak ada upaya-upaya sistemik yang dilakukan oleh Lia Eden sebagai mana disebutkan oleh wahyu Tuhan yang katanya ia terima itu nggak ada masalah. Cuma sekedar informasi aja nggak apa-apa.


Sebagian pemuka umat Islam yakin bahwa edaran Lia Eden itu akan memengaruhi umat Islam. Lalu?

Lha koq kita jadi umat Islam nggak percaya diri gitu. Misalnya, Lia meminta presiden menghapuskan agama-agama yang ada. Silahkan kalau presiden percaya dan mampu melakukan itu.


Pemilu 2009 tak lama lagi. Sejumlah nama dimunculkan untuk memimpin negeri ini. Adakah nama-nama yang menurut Anda menjanjikan sebagai orang yang dapat melaksanakan amanah UUD, menerapkan demokrasi, HAM, dsb.nya?

Kita tidak tahu apakah seseorang itu akan konsisten atau tidak. Sejauh ini tokoh-tokoh yang betul memberikan prospek untuk penegakan HAM itu nggak banyak. SBY terjebak pada persoalan kepentingan politik jangka pendek. Gagasannya untuk mengimplementasikan proses reformasi dan penegakan HAM juga masih sebatas wacana saja. Karena itu orang-orang sepetrti Sultan, yang selama ini kita melihat pada tingkat local cukup menjanjikan. Hanya kita tidak tahu juga kan bagaimana jika ia betul-betul menjadi presiden. Yang pasti orang-orang seperi Wiranto yang punya masa lalu hitam, mestinya kita sadar bahwa hal itu nggak mungkin lah dipilih. Dia harus menunjukkan dulu komitmennya ke public bahwa dia terbuka terhadap masalah-masalah masa lalu. Juga seperti Prabowo.


Problemnya adalah masyarakat kita pemaaf, mudah melupakan masa lalu….

Dan juga naïf. Menurut saja tetep saja harus disuarakan bahwa orang-orang seperti itu punya problem dengan upaya penegakan HAM di Indonesia. Kalau kita masih berharap pada orang-orang semacam itu koq saya jadi pesimis juga. Yang jelas masyarakat kita perlu diinformasikan ini lho problemnya. Karena sering kali sosialisasi ke masyarakat kita tentang isu-isu masalah masa lalu itu nggak sampai. Nggak banyak orang yang tahu.


Lalu apa kira-kira langkah yang paling efektif yang mesti kita lakukan untuk mendukung pelaksanaan HAM, toleransi dan hubungan antar agama?

Pemerintah melahirkan kebijakan-kebijakan. Buat saya pemerintah selalu melahirkan kebijakan yang tidak diskriminatif, tidak eksploitatif pada warga. Ini yang pertama. Yang kedua, untuk kita masyarakat harus percaya bahwa pendidikan mampu mengubah karakter dan kultur. Kalau kita mampu melaksanakan pendidikan itu, baik yang formal maupun non formal, saya tetap optimis. Untuk kalangan agama lakukanlah upaya-upaya reenterpretasi terhadap ajaran-ajaran agama yang selama ini, yang terbangun adalah ajaran yang tidak ondusif terhadap penegakan HAM. Jadi secara simultan saja kita bersama-sama. Pemerintah melakukan apa, nah, masyarakat melakukan upaya-upaya dalam bidang pendidikan, kemudian kelompok-kelompok agama melakukan upaya reenterpretasi terhadap ajaran agamanya. Saya berharap itu dapat kita lakukan.


Masalahnya, pengalaman menunjukkan bahwa upaya reenterpretasi itu sudah ada yang melakukannya. Tetapi sangat resisten di masyarakat. Strateginya?

Karena yang melakukan tidak seberapa dibanding agamawan yang diam saja. Kecil sekali prosentasinya. Mungkin kalau banyak agamawan yang melakukan itu resistensinya juga akan berkurang. Tapi kalau cuma satu-satu ya orang akan bilang lho ini koq nteleneh. Jadi harus banyak dan mau bersuara secara onsisten. Menurut saya sih masyarakat akan memperhitungkannya kalau banyak yang menyuarakan. Apalagi masyarakat kita kan masih memegang budaya patronisasi, belum punya prinsip yang teguh. Kita sebetulnya punya banyak agamawan yang progresif. Tetapi untuk dirinya sendiri, belum berani menyuarakan ke public. Nah, kita perlu agamawan yang scholar, yang mau mengambil resiko. Karena nggak mudah sih, pasti pertamanya kita ditolak, dituduh, dsb. Kita juga dikucilkan. Tetapi itu tahapan awal saja. Lama kelamaan, kalau kita bisa bertahan, kita akan kembali dicari dan diterima masyarakat.


Untuk aktivis NGO sendiri apa yang mesti dilakukan?

Saya melihat kita masih lemah secara manajerial. Belum sistematik dan kerja secara keroyokan. Mestinya ke depan kita harus jelas, siapa melakukan apa. Harus dibagi-bagi peran masing-masing lembaga. Jadi kita nggak lelah mengurusi dari A sampai Z sendirian. Bkan berarti kkta bekerja sendiri. Pada saatnya kita juga mesti bekerjasama dengan peran yang berbeda-beda. Ini jauh akan lebih efektif. Jadi setiap lembaga harus ada semacam lokus dan focus pada satu isu tertentu. Nah, nangti tinggal berjaringan saja. Dengan begitu kita nggak akan kelelahan. Hasilnyapun akan lebih maksimal. [ ] Ahmad Nurcholish


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Kategori

%d blogger menyukai ini: