KH. Husein Muhammad:
UU Pornografi Cermin Agamawan dan Lembaga Agama Tak Berdaya
Meski masih menjadi kontroversi akhirnya RUU Pornografi disahkan juga pada 30 Oktober 2008 lalu dalam Sidang Paripurna DPR RI. Usai pengesahan kontroversi dan penolakan pun tak henti sampai di sini.
Bahkan masyarakat Bali berniat akan membawa UU ini ke Mahkamah Konstitusi. Gubernur Bali Made Mangku Pastika bersama Ketua DPRD Bali Ida Bagus Wesnawa dengan tegas menyatakan menolak Undang-Undang ini. Ketua DPRD Papua Barat Jimmya Demianus Ijie mendesak Pemerintah untuk membatalkan Undang-Undang itu dan mengancam Papua Barat akan memisahkan diri dari Indonesia. Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya menolak pengesahan dan pemberlakuan UU tersebut.
Para pemerhati dan praktisi hukum menilai bahwa UU Pornografi ini dalam penyusunannya menggunakan paradigm dan logika yang keliru, yakni adanya campur tangan sektor publik ke dalam sektor privat. Juga dianggap melanggar UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta dinilai merupakan kriminalisasi dan penghinaan terhadap perempuan, seakan-akan perempuan itu perayu. Perempuan dijadikan sebagai obyek bukan subyek.
UU Pornografi ini juga dikhawatirkan memberikan amunisi untuk masyarakat bersifat anarki karena dalam pasal 20 disebutkan ‘Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Untuk membincang lebih jauh soal UU Pornografi ini, awak MaJEMUK Ahmad Nurcholish dan Alamsyah M. Dja’far menemui anggota Komnas Perempuan KH. Husein Muhammad di sela-sela Workshop Pembuatan Modul Pengembangan Pluralisme dalam Demokrasi Lokal yang dihelat PP. Lakpesdam NU akhir (27/11) November lalu di Jakarta. Di ruang rehat Hotel Mega Matra sore itu Pengasuh Ponpes Dar at-Tauhid Arjawinangun, Cirebon memaparkan berbagai hal seputar UU Pornografi. Petikannya:
Komentar Anda terbitnya UU Pornografi?
Saya menganggap ini UU yang paling buruk. UU ini diciptakan dalam situasi yang kontroversial. Bahkan di level masyarakat tingkat kontroversialnya sangat tinggi. Ini akan menjadi masalah besar bagi nasionalisme dan kebhinekaan kita dalam konteks NKRI. Saya belum (pernah) melihat UU yang sangat resisten seperti sekarang ini. Jadi UU ini sangat buruk.
Adakah prosedur-prosedur yang dilanggar ketika UU tersebut disahkan?
Orang boleh saja mengatakan bahwa UU itu sudah prosedural. Tetapi mungkin ada juga yang menilai belum. Misalnya pilihan-pilihan terhadap orang atau kelompok yang ditanya atau diminta pendapatnya. Apakah pertanyaannya subtantif atau tidak itu kan masih debatable. Bagi saya di level itu masih ada pilihan-pilihan yang memihak untuk dijadikan dasar untuk mengesahkannya. Jadi nuansa politisnya lebih kentara ketimbang aspek hukum yang mestinya harus terhindar dari kepentingan-kepentingan politik.
Saya menganggap bahwa pornografi kita tolak. Tetapi merumuskannya dalam perundang-undangan masih harus dipilah. Dalam kaitannya dengan hak personal menurut saya tidak boleh diatur melalui (kebijakan) Negara. Negara hanya bisa mengatur di dalam relasi antarmanusia yang memungkinkan terjadinya konflik.
Jika begitu apakah agama yang harus mengatur?
Bagi saya agamapun memiliki dua fungsi yang bisa diterapkan untuk mengatur itu. Jadi hal-hal yang bersifat moral-personal itu haruslah diatur oleh agama. Artinya, agama memberikan petunjuk-petunjuk secara persuasive. Sehingga orang menyadari bahwa hal itu (pornografi) kurang baik. Dan, agama mungkin saja memberi ancaman. Tetapi ancaman itu tidak di dunia, melainkan di akhirat.
Menurut saya orang telah kehilangan pemahaman atas teks yang mengatur aurat itu. Di sana sebetulnya tidak bisa berlaku jeneral. Karena ada pengecualian-pengecualian yang banyak sekali. Bahkan ternyata kita bisa lebih terbuka atas apa yang selama ini kita batasi, ternyata pada orang-orang tertentu boleh kita tampakkan.
Apakah di UU itu tidak ada pembatasan dengan apa yang dimaksud pornografi?
Ambigu. Misalnya, mengenai gerak tubuh, kecabulan. Bagaimana memaknai kecabulan sebagai sesuatu yang porno. Bagaimana memaknai gerak tubuh yang porno? Jadi sangat multyentrepretable.
Bukankah pasal-pasal tentang melanggar susila uga sudah ada di KUHP?
Saya kira dalam KUHP itu pada fakta materialnya, bukan pada fakta gerakan atau sebagainya. Intinya menurut saya adalah eksploitasi. Nah, dalam UU ini kan judulnya pronografi, tetapi juga membincang soal pornoaksi. Ini kekeliruan. Kalau pronografi menurut saya antisipasinya adalah produk, media dan bukan orang.
Jadi dalam UU itu banyak yang mengulas tentang pornoaksi?
Betul. Inilah yang jadi masalah sebetulnya.
Dalam UU tersebut, misalnya kita yang sudah berkeluarga, kemudian membeli blue film lalu diputar di rumah untuk pendidikan sex, apakah UU itu juga bisa menjeratnya?
Iya. Sangat bisa. Pernah misalnya seorang suami istri mendapat kado yang berisi blue film. Mereka tanya ke saya bagaimana hukumnya jika kita menontonnya? Yang lain lagi mengatakan hanya bisa bergairah kalau lebih dulu menonton film semacam itu. Menurut saya itu tidak apa-apa. Sebab hal seperti itu haramnya li ghairihi, bukan lidzatihi. Lidzatihi-nya adalah perzinahan. Tapi mengantisipasinya li ghairihi.
Dalam konteks UU Pornografi apakah hal semacam itu bisa dijerat?
Iya. Bunyinya seperti itu. Hanya kita nggak tahu sejauh mana efektivitasnya.
Salah satu mengapa UU tersebut ditolak adalah karena dianggap tidak menghargai keragaman yang ada di Indonesia. Misalnya dalam soal berbusana, di Papua ada yang masih enggan untuk mengenakan busana. Menurut Anda?
Itulah aspek lain dari kelemahan UU tersebut. Menurut saya tidak harus berbicara mengenai kelompok , suku atau etnis tertentu. Lantas bagaimana dengan kelompok di luar itu yang juga memiliki ‘tradisi’ berbeda dengan orang atau kelompok masyarakat lain? Menurut saya kalau itu (tidak mengenakan busana) sudah mejadi adat apakah tetap akan dikriminalisasi?
UU itu seolah-olah juga memosisikan perempuan sebagai sumber ‘masalah’ pornografi. Menurut Anda?
Jelas sekali. Jadi apa yang difikirkan ketika membuat UU itu adalah pikiran laki-laki. Jadi apa yang disebut porno adalah perempuan. Lalu bagaimana dengan laki-laki yang suka mengumbar aurat, seperti salah seorang penyanyi di televisi, apakah itu bukan termasuk porno? Tetapi ketika itu yang melakukan perempuan langsung disebut porno. Jadi otak yang membuat UU itu adalah otak laki-laki. Ini yang dapat memunculkan masalah.
Jadi Anda ingin mengatakan bahwa perempuan juga dapat terangsang ketika melihat laki-laki seksi atau membuka busananya?
Iya. Bagi perempuan itu seksi dan dapat merangsang mereka. Hanya saja peremupan tidak seekspresif laki-laki. Herannya, kenapa perempuan-perempuan kebanyakan juga mendukung UU tersebut.
Dalam soal busana ada aturan agama yang mengatur ini dan itu. Tetapi seiring derasnya arus informasi bisa saja kita terbiasa dengan mengenakan pakaian-pakaian yang terbuka. Bagaimana Anda melihat hal itu?
Ini juga (menunjukkan) bahwa kita sudah terperangkap oleh satu wacana tentang batasan-batasan (aurat) itu. Padahal itu adalah tradisi. Jadi pada awalnya pembatasan-pembatasan itu merupakan tradisi, tapi kemudian teks agama juga mengatakan seperti itu. (lantas) apakah orang mengetahui bahwa batasan aurat tidak seperti itu. Oleh karena itu jika tradisi kita berbeda dengan apa yang dikatakan teks agama ya boleh-boleh saja. Misalnya kalau tradisi kita memakai rok maka tak perlu dipersoalkan. Saya kira kita harus memilah-milah antara teks agama yang merupakan produk budaya Arabiyah pada saat itu dengan visi agama itu sendiri. Menurut saya jika teks agama menyebut sebagaimana dalam teks agama itu dalam rangka melindungi konteks budaya Arab pada saat itu. Jadi visinya adalah agama sebagai perlindungan. Nah, (seharusnya, kini) operasional perlindungannya disesuaikan dengan konteks kekinian. Contoh perempuan Bali yang hanya memakai kemben. Kalau dia merasa terlindungi ya nggak ada masalah.
Bukankah di dalam UU itu ada klausul bahwa untuk pariwisata dan kebudayaan juga dibolehkan?
Itu juga dapat menjadi masalah. Nanti akan menimbulkan kebingungan yang luar biasa terhadap realitas yang beragam dengan berbagai aspeknya. Bagaimana ini, UU koq ada pengecualian-pengecualian begitu. Misalnya, kalau (memakai pakaian terbuka) di kolam renang nggak apa-apa. Apa sih sebetulnya yang ada di pikiran para pembuat UU itu.
Bukankah itu merupakan adanya pembatasan antara ruang privat dan ruang public?
Ruang privat itu gimana pembagiannya? Makna ruang privat itu seperti apa? Bagi saya ruang privat itu misalnya di rumah dengan mahramnya. Tetapi kalau dengan orang lain yang bukan mahramnya, meskipun di kolam renang atau ruang seni, bagi saya bukan privat namanya.
Jadi boleh dikatakan bahwa pembedaan itu kabur?
Betul. Kabur. Banyak sekali sisi yang lain juga bernasalah, termasuk tentang peran masyarakat. Meski hanya sebatas melaporkan, kita tak bisa menafikan fakta orang akan menafsirkan sendiri ketika tidak setuju dengan itu. Bahkan aksi-aksi semacam itu (kekerasan) melangar UU.
Termasuk tirani mayoritas? Misalnya ketika hakim memutskan masalah berdasarkan pendapat mayoritas, entah agama, politik atau budaya?
Jika seperti itu, itu merupakan asumsi yang salah. Jadi kalau tidak ada tekanan dari mayoritas, tidak da aksi-aksi dari berbagai kelompok lalu hakim memutuskan berbeda.
Faktanya kan begitu?
Iya. Memang begitu. Namun, saya hanya menyalahkan asumsinya saja dengan mengikuti suara mayoritas saja.
Artinya dalam kasus yang sama juga dapat digunakan dalam kasus-kasus Pornografi?
Iya, bisa terjadi nantinya. Bahkan saya khawatir lagi ketika para ahli hukum itu (hakim) akan merespon alur selanjutnya yang akan dituntut oleh penyokong UU tersebut. Misalnya Yoga. Penyanyi pakai bikini juga akan kena. Goyang-goyang juga tidak boleh.
Seperti kasus pasal karet dalam ‘penodaan agama’?
Betul. Itulah kalau para hakim itu tidak bisa membedaakan mana hak privat, mana hak public. Dalam bahasa agama ada dua: diyanatan dan qadha’an. Diyanatan itu moral agama, sedang qadha’an adalah keputusan pengadilan. Efeknya, melanggar diyanatan dihukum di akhirat. Sedang qadha’an dihukum di dunia. Kalau kemudian masyarakat ingin memasukkan unsur-unsur diyanatan kepada qadha’an atau kewenangan Negara, ini merupakan kegagalan para agamawan. Seharusnya para ahli agama itu dapat memberikan persepektif agama terhadap masyarakat, sehingga tidak melakukan itu. Ini menunjukkan agamawan dan lembaga agama sudah tak berdaya. Termasuk pendidikan agama juga gagal.
Dalam batas-batas tertentu apa yang Anda sepakati dalam UU itu?
Sebetulnya saya sudah mempunyai usulan. Dasarnya pornografi kita tolak, tetapi merumuskan UU Pornografi dalam bentuknya seperti sekarang ini, saya juga tidak setuju. Mungkin membingungkan orang. Menolak pornografi tetapi menolak juga UU, kata orang. Maka, menurut saya UU yang sudah ada sebelumnya sudah cukup memberi efek, mengantisipasi terjadinya pelanggaran pornografi. Misalnya UU Pidana, UU Penyiaran, UU Pers. Yang harus dibatasi itu produknya agar tidak beredar luas di masyarakat. Jadi tinggal bagaimana konsistensi penegak hukum dalam menegakkan hal itu. Yang kita dengar tentang aksi-aksi FPI itu kan akibat tidak adanya kepercayaan masyarakat.
Adakah langkah-langkah hukum yang akan ditempuh?
O iya. Kita akan melakukan judicial review. Tetapi itu tidak satu-satunya. Karena konteksnya menurut saya juga tidak perlu buru-buru. Timingnya tidak tepat karena UU ini muncul dari nuansa politik. Nanti kalau sudah reda, dan kita ada bukti-bukti ketidakefektifan kita baru melakukan judicial review. Sebetulnya UU ini juga sudah melanggar konstitusi.
Strategi apa yang bisa kita lakukan untuk para perempuan bahwa sebetulnya mereka korban, tetapi tidak sadar?
Sudah lama sekali masyarakat tidak memiliki pengetahuan tentang sejarah yang melahirkan teks agama. Tidak faham itu. Tetapi menyampaikan hal itu agak masalah, masih sulit sekali karena masyarakat kita masih masyarakat yang menginginkan yang mudah, cepat dan instan. Sehingga lebih melihat pada hasil. Yang penting hukumnya apa, halal apa haram. Tetapi tidak pernah bertanya mengapa hal ini terjadi. Bagaimana sebetulnya? Jadi sudah kehilangan pengetahuan mengenai hal itu. Mereka tidak sadar bahwa hal itu (hanya bertumpu pada produk) akan merugikan bagi dirinya sendiri. Menurut saya itu akan mereduksi produktivitas.
Adakah langkah-langkah praktis bagi korban ketika terkena sangsi UU tersebut?
Dari pemantauan nanti apakah akan menimbulkan dampak buruk atau bagaimana. Kita menyerukan seluruh NGO-NGO yang melakukan advokasi terhadap perempuan untuk menampung (permasalahan) mereka kemudian fakta-fakta itu diadukan ke pihak-pihak yang berwenang seperti polisi, pengadilan bahkan kiyai. Nggak apa-apa. Pengalaman saya, bicara soal wacana itu resistance. Tetapi bicara tentang korban, menunjukkan bahwa itu korban, maka akan mendapat simpati dan empati pada mereka.
Apakah Komnas Perempuan punya jaringan di daerah untuk memantau pemberlakuan UU tersebut?
Iya. Kita selalu meminta laporan dari stakeholder tentang kekerasan secara umum maupun kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sampai sekarang sudah ada 254 lembaga yang menjadi mitra Komnas Perempuan yang tiap tahun memberikan laporannya tentang kasus-kasus kekerasan itu. Inilah yang akan di-publish dan disodorkan ke Negara. Dan (laporan) itu akurat karena kita memiliki mekanisme untuk itu.
Lebih teknis. Kalau orang dianggap melanggar UU Pornografi kira-kira pasal pembelaan apa yang dapat digunakan untuk mengcounternya. Apakah itu pelanggaran HAM atau?
Selama ini kita selalu mengcounter pasal-pasal yang ada di dalam UU itu dengan pasal-pasal lain di dalam UU lain, terutama UUD ’45 yang menghargai perbedaan dst. Sebetulnya kita dapat menyampaiakan tentang HAM. Tetapi, HAM masih menjadi masalah karena resistensinya. Jadi kita akan bicara tentang konstitusi untuk mengcounter itu.
Bukankah dari UU kemudian diturunkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP)?
Ini lebih bahaya lagi. Karena tafsirannya akan semakin meluas. Mungkin saja akan terjadi aturan orang harus pakai baju tertutup, karena kalau terbuka bisa menurut budaya di daerah tertentu dibilang porno. Bisa juga nanti nggak boleh pakai rok (mini). [ ]
Tinggalkan Balasan