Berharap Pada Yang Muda
Oleh Ahmad Nurcholish
Rentang Oktober – November lalu paling tidak telah digelar tiga even dialog antaragama. Pertama, program Bilateral Interfaith Dialogue yang dihelat pada 12-14 Oktober 2008 di Beirut, Lebanon. Kali ini mengangkat tema “Promoting Interfaith Dialogue among Plural Society”. Kedua, dialog Islam-Kristen yang dilaksanakan di Vatikan, 4-6 November 2008. Ketiga, sepekan kemudian, atas inisiatif Raja Abdullah dari Arab Saudi, menggelar dialog antaragama tingkat dunia pada 12-13 November 2008 di Markas Besar PBB di New York.
Dari ketiga even tersebut dapat kita tarik benang merah bahwa sesungguhnya dunia sangat berharap dialog antaragama menjadi tradisi mulia dari setiap pemeluk agama apapun namanya. Diharapkan, dari dialog itu akan terbangun saling keterbukaan, toleransi, yang pada ujungnya mampu mewujudkan perdamaian.
Dalam ranah sejarah, tradisi dialog antaragama sebetulnya sudah menjadi kebiasaan sejak peradaban agama manusia itu berlangsung. Bentuk dan momennya saja yang berbeda-beda. Intinya, tujuannya sama saja: toleransi dan perdamaian. Hanya saja, meski sudah berlangsung sejak itu, pertiakian, konflik, pertumpahan darah yang disebabkan oleh ‘perang agama’ masih saja kerap terjadi di beberapa belahan bumi ini.
Tak terkecuali Indonesia. Negeri yang bersemboyan Bhineka Tunggal Ika ini sudah mentradisikan dialog antaragama sejak paruh 70-an silam. Nyatanya, impian untuk mewujudkan kehidupan yang toleran, damai nirkekerasan masih jauh dari kenyataan. Meski di beberapa daerah yang sebelumnya kita kenal sebagai zona konflik seperti Ambon, Maluku, Sambas, Aceh, dll tak lagi diwarnai konflik dan cenderung meredup, tetapi, ada sejumlah zona baru yang selama ini kita kenal adem-ayem justru memiliki potensi konflik yang laten. Bentuknya pun bisa mengambil pola yang sama sekali berbeda.
Jika di zona-zona yang selama ini kita kenal sebagai daerah konflik karena factor agama (?), pada zona-zona baru ini justru bukan bersumber deari itu. Ia bisa bermuara dari masalah politik dan kekuasaan yang bemula dari Pilkada dan semacamnya. Tentu ini tak dapat disepelekan begitu saja. Sejumlah contoh seperti konflik berkepanjangan sebagai terjadi di beberapa daerah telah memakan banyak korban baik material maupun (ini yang terpenting) spiritual. Spirit kebersamaan, persatuan dan demokrasi nampaknya telah lenyap dari hamparan negeri ini.
Bukankah hal itu yang tidak kita harapkan? Padahal sesungguhnya, dari sanalah (kebersamaan, persatuan dan demokrasi) merupakan tonggak penting dari perwujudan toleransi dan perdamaian. Jika demikian lalu apa yang dapat kita lakukan? Pada siapakah kita berharap agar negeri ini khususnya dan dunia pada umunya mampu mewujudkan toleransi dan perdamaian sebagaimana harapan setiap insan?
Generasi Muda
Nampaknya sangat beralasan jika kita betharap pada yang muda. Mengapa? Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu kelemahan dari dialog antaragama selama ini adalah pertama, modelnya yang elitis, di mana tema dan person serta kalangan yang dilibatkan masih sangat elitis. Kedua, masih langkanya anak muda dilibatkan dalam hajatan luhur itu. Kalau toh terlibat, sebatas pada pelengkap dan cenderung karitatif sebagaimana disorot dalam Forum Group Discussion (FGD) CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beberapa waktu lalu (MaJEMUK, ed. 33).
Lantas mengapa harus anak muda? Pertama, sejarah membuktikan bahwa anak mudalah yang selama ini memberikan kontribusi penting terhadap agenda-agenda kebangsaan dan peradaban manusia. Dalam konteks Indonesia, momen Sumpah Pemuda pada 1928 silam merupakan bukti bahwa anak muda telah menjadi inisiasi terdepan sekaligus simpul perwujudan dari persatuan dan kesatuan bangsa ini. Karenanya bukan tidak mungkin dalam upaya mewujudkan toleransi dan perdamaian kita berharap pada mereka.
Apa yang sudah dilakukan ICRP dan Gemari (Forum Generasi Muda Antariman), baik ketika bekerjasama dengan World Asosiasion of Non-Government Organization (WANGO) USA tahun 2005 dan dengan CWS Indonesia pada medium 2008 lalu merupakan bukti bahwa anak muda masih dapat dilibatkan sekaligus digerakkan untuk menjadi inisiasi dan actor intelektual untuk memberikan perubahan. (MaJEMUK ed. 33 & 34). Meski masih dalam sekala local dan baru pada tahap karitatif, namun, dampaknya mampu dirasakan oleh peserta itu sendiri dan juga masyarakat sekitar pada lingkup yang lebih luas.
Kedua, dari pengalaman sederhana namun mampu memberikan dampak yang luar biasa itu sebetulnya tinggal beberapa langkah lagi kita dapat melanjutkan dengan kegiatan-kegiatan yang langsung menyentuh pada kebutuhan dan persoalan riil di lingkungan masing-masing. Dari sanalah kemudian akan terdeteksi dari mana sebetulnya generasi muda ini akan melangkah. Misalnya saja, jika pada tahap awal kemarin mereka melakukan kegiatan untuk saling mengenal melalui kunjungan ke rumah-rumah ibadah dan bertanding Futsal, pada tahap berikutnya dapat ditingkatkan ke tahap yang lebih serius tetapi tetap dengan gaya santai. Outbond, Youth Camp/ Live In yang disertai dengan bakti social pada masyarakat sekitar adalah salah satu contohnya.
Ketiga, dari kegiatan-kegiatan yang dicontohkan pada poin 2 di atas diharapkan karena intensitas komunikasi dan pergaulan diantara kaum muda semakin tinggi dapat membuka wawasan, rasa keterbukaan, tak ada lagi saling curiga, sehingga bermuara pada rasa kebersamaan untuk mencari solusi pada masalah-masalah yang ada. Tahap berikutnya adalah mereka mampu merumuskan kerja-kerja riil yang berkelanjutan yang menyentuh berbagai persoalan yang ada di masyarakat plural.
Keempat, tentu inisiasi dari yang muda ini juga perlu perhatian yang mendalam dari kalangan seniornya. Katakanlah dengan memsupport, membimbing mereka dengan menunjukkan sumber-sumber pendanaan untuk pembiayaan program-program dan kegiatan yang anak muda gagas. Peran serta ‘orang tua’ atau kalangan senior ini penting karena merekalah yang memiliki jaringan yang luas sebagai stakeholder maupun sumber pembiayaan. Ini harus dilakukan. Sebab, jika tidak, khawatirnya, seperti pengalaman yang lalu-lalu, anak muda akan mudah patah semangat, berhenti di tengah jalan karena kekayaan ide mereka kerap tak jalan jika tidak disupport dengan pendanaan yang cukup. Sepakat tidak sepakat demikianlah kenyataannya. Bahkan, beberapa aktivis muda harus merubah haluan menjadi pekerja professional lantaran tuntutan hidup yang tak dapat ditunda.
Kelima, jika support dan sumber pendanaan tak lagi jadi masalah, yang penting pada tahap berikutnya adalah bagaimana agar program atau kegiatan yang telah dilakukan itu dapat berlangsung secara berkelanjutan. Memulai adalah penting. Meneruskan dan mengembangkannya untuk menjadi baik dan mencakup area yang lebih luas lagi itu jauh lebih penting lagi. Hal ini agar agenda-agenda dialog interfaith betul-betul menjadi pekerjaan permanen seiring dengan latennya berbagai persoalan yang menghimpit bangsa ini. Salah satunya hanya dengan cara demikianlah problem toleransi dan perdamaian dapat kita eliminir dan kemudian kita wujudkan. [ ]
Tinggalkan Balasan