Oleh: ahmadnurcholish | September 26, 2008

Idul Fitri Sebagai Hari Kemanusiaan Universal

Idul Fitri Sebagai Hari Kemanusiaan Universal

 

Meski pada dasarnya manusia itu suci, tetapi sesungguhnya ia adalah makhluk yang lemah. Ia gemar membuat kesalahan atau erare humanum (kesalahan adalah manusiawi), sehingga ia mudah tergelincir ke dalam dosa yang menjadikan dirinya tidak suci lagi.

 

Salah satu kelemahan manusia yang paling pokok, menurut Cak Nur (Nurcholish Madjid) ialah pandangannya yang pendek dan tidak mampu melihat jauh ke depan, sehingga mudah tertarik kepada hal-hal yang secara sepintas menawarkan kesenangan. Padahal, dalam jangka panjang, kesenangan itu mermbawa malapetaka.

 

Itu sebabnya dalam agama ada ritus penyucian melalui ibadah puasa yang akan terus mengembalikan kesucian manusia. Orang yang menjalankan ibadah puasa sesuai dengan tuntunan dengan sendirinya akan dapat mengembalikan jiwanya kepada kesucian atau paradiso: yakni suatu kebahagiaan karena tanpa dosa.

 

Idul Fitri akan memancarkan kebahagiaan ruhani manusia yang berhasi kembali kepada Tuhan, memenuhi perjanjian primordialnya. ”Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan dari anak-anak Adam keturunan mereka dari sulbinya dan menjadikan saksi atas diri mereka sendiri (dengan pertanyaan): ”Bukankah Aku Tuhanmu?” Mereka menjawab: ”Ya! Kami bersaksi!” (Demikianlah) supaya kamu tidak berkata pada hari kiamat: ”Ketika itu kami lalai.” (QS. 7:172).

 

Dalam ajaran Islam, kata Cak Nur, fitrah – dan bersama dengan fitrah ini, kekhanifan (hanifiyah): kecenderungan kepada kebenaran yang lapang – adalah fokus kesadaran kebenaran dan merupakan titik yang menuntut kesediaan masing-masing pribadi manusia untuk menerima agama penyerahan diri dan ketaatan hidup moral.

 

Fitrah dan kehanifan ini adalah design ciptaan Allah yang tidak akan berubah, sehingga tetap akan ada selama-lamanya dalam diri manusia, yang malah akan menjadi sumber potensi kearifan abadi (al-hikmah al-khalidah atau sophia perennis), inti dari nilai kemanusiaan.

 

Karenanya, Nabi menegaskan bahwa sebaik-baiknya agama ialah al-hanafiyatu al-samhah – semangat mencari kebenaran dan kebaikan secara wajar, alami, lapang, dan manusiawi.

 

Dengan demikian, dapat dikatakan  bahwa Idul Fitri adalah hari kemanusiaan universal yang suci. Manusia adalah suci, dan karenanya harus senantiasa berbuat suci kepada sesamanya. ”Orang yang sayang kepada sesamanya akan disayangi oleh Yang Maha Penyayang. Maka sayangilah sesama di bumi. Dia yang di langit akan menyanyangimu,” demikian sabda Nabi Saw.

 

Dalam potensi kemanusiaan universal inilah setiap Muslim wajib memanivestasikan keadaan ruhaninya – yang bersemanyam dalam hati nurani – dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan sosialnya. Untuk itu, manusia telah dibekali dengan akal pikiran, kemudian agama, dan berbagai kewajiban untuk terus menerus mencari dan memilih jalan hidup yang lurus, dan baik – yang harus dipertanggungjawabkannya baik di dunia kepada sesama manusia  maupun kepada Tuhan di akhirat kelak secara pribadi-pribadi.

 

Pandangan agama ini mengimplikasikan bahwa setiap individu manusia adalah berharga, seharga kemanusiaan sejagat. Barang siapa merugikan seorang pribadi, seperti membunuhnya tanpa alasan yang sah, maka ia bagaikan merugikan seluruh umat manusia. Begitupun sebaliknya.

 

”…. Bahwa barang siapa membunuh orang yang tidak membunuh orang lain atau berbuat kerusakan di bumi, maka ia seolah membunuh semua orang; dan barang siapa yang menyelamatkan orang, maka ia seolah menyelamatkan nyawa semua orang.” (QS. 5: 32).

 

Inilah implikasi dari kefitrahan manusia bahwa setiap pribadi manusia harus berbuat baik kepada sesamanya denganmemenuhi kewajiban diri pribadi terhadap pribadi yang lain, dalam suatu jalinan hubungan kemasyarakatan yang damai dan terbuka.  Ini juga arti salam, kedamaian di bumi yang menjadi tujuan dan tuntunan agama pada kehidupan sosial manusia.

 

Kefitrahan juga menjadikan manusia memunyai sikap-sikap terbuka, lapang dada, penuh pengertian, dan kesediaan untuk senantiasa memberi maaf secara wajar dan pada tempatnya. Gabungan antara hak pribadi dan ekwajiban sosial itu mencerminkan ajaran Islam tentang ”jalan tengah” (wasath), wajar dan fair (qisth) serta adil (’adl), sikap-sikap yang secara berulang ditekankan dalam al-Qur’an dan Kitab Suci lainnya. [ ] Ahmad Nurcholish

 

 


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Kategori

%d blogger menyukai ini: