Insiden tewasnya 21 orang pengantri zakat di Pasuruan, Jawa Timur merupakan cermin bahwa kemiskinan masih menjadi problem besar bagi bangsa ini.
Zakat mal atau zakat kekayaan, maupupun zakat fitrah pada dasarnya merupakan simbolisasi pemadatan nilai keimanan yang tidak kasat mata. Ide besar yang terkandung dalam keduanya adalah penyucian. Sedang sarana penyuciannya adalah dengan menunjukkan komitmen, kepedulian sosial.
Zakat yang sesungguhnya mengandung pesan-pesan kemanusiaan, juga harus dipahami semangat dan dinamikanya pada zaman sekarang, termasuk di dalamnya kelompok orang yang wajib mengeluarkan (muzakki). Hal itu karena, seperti kita ketahui, kitab-kitab fiqih yang mengatur masalah zakat merupakan hasil respon dan ijtihad para ulama pada zaman dahulu, yang hidup pada era agraris.
Untuk era industri sekarang ini, para ulama dituntut untuk kembalim memikirkan, mengupayakan, dan memperbaharui hukum-hukum fiqih yang ada, sehingga hukum-hukum fiqih tetap dinamis dan mampu memberikan solusi bagi masalah dan tantangan zaman seperti kemiskinan.
Zakat yang berarti penyucian terhadap harta kekayaan menegaskan bahwa harta dalam Islam tidak boleh diperoleh melalui penindasan terhadap hak orang lain. Konsep keharusan mendapatkan harta dalam Islam tidak boleh diperoleh dengan cara-cara yang tidak benar, bathil, atau bahkan dengan cara menindas hak orang lain. Konsep keharusan mendapatkan harta dengan cara yang benar dalam Islam maksudnya tidak setelah mendapatkan proses pembenaran atau legalisasi hukum dikatakan benar. Sebab dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa dalam praktik hukum bisa terjadi penyelewengan, atau kita menyebutnya dengan praktik mafia hukum.
Dengan menganjurkan umat Islam mengeluarkan zakat, baik mal (harta kekayaan) maupun zakat fitrah pada bulan puasa, berarti agama Islam menganjurkan orang beriman untuk giat bekerja dan berupaya menjadi orang kaya. Hal ini karena memberikan sebagian rezeki merupakan satu perwuudan dan pembuktian keimanan yang batiniah.
Hal senada juga dianjurkan Nabi Saw yang mengatakan, ”Tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah.” Hadits ini mengisyaratkan bahwa memberi lebih mulia, terhormat, daripada menerima. Sedang pada sisi lain secara bersamaan, juga memberikan pemahaman bahwa meminta-minta adalah pekerjaan yang tidak terhormat.
Oleh karenanya, implementasi pem,berian zakat mesti dikaji ulang agar pemanfaatan zakat lebih berdaya guna bagi penerimanya. Peristiwa tragis di Pasuruan tersebut hendaknya menjadi pelajaran bagi kita semua untuk merumuskan formula terbaik dalam penyaluran zakat di negeri yang ’melarat’ ini. Tidak sekadar memenuhi kebutuhan konsumtif sementara, tetapi juga menjawab problem kemiskinan yang sesungguhnya. Wallahaua’lam. [ ] Ahmad Nurcholish
Tinggalkan Balasan