Oleh: ahmadnurcholish | September 18, 2008

Survei AS Soal Dukungan Muslim Indonesia Pada Al-Qaeda Patut Dikritisi

Survei AS Soal Dukungan Muslim Indonesia Pada Al-Qaeda Patut Dikritisi

Brisbane (ANTARA News) – Hasil survei terbaru Pusat Riset Pew Amerika Serikat (AS) yang mengungkapkan adanya peningkatan sikap anti-Muslim di Eropa, serta masih relatif tingginya dukungan Muslim Indonesia pada Pemimpin Al-Qaeda, Usamah bin Ladin, harus dikritisi secara mendalam.

“Saya meragukan pemaknaan dari hasil survei ini. Saya percaya hasilnya, tapi bagaimana memaknainya. Hal ini yang bisa `misleading` (menyesatkan) kalau orang-orang kemudian tidak mengetahui konteks apa yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat Muslim Indonesia,” kata Akademisi Muslim, Akhmad Muzakki.

Kepada ANTARA di Brisbane, Kamis, dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya yang sedang mengambil program doktoral di Universitas Queensland (UQ) ini mengatakan, para personel Pew Research Centre (PRC) itu sangat mungkin tidak memahami perdebatan atau kompleksitas pemahaman masyarakat Islam di Indonesia.Dalam laporan hasil survei wawancaranya dengan 24.717 orang responden di 24 negara yang dipublikasi PRC 17 September 2008, terungkap bahwa perasaan anti-Islam di sejumlah negara utama Eropa menguat, terutama di Spanyol dan Jerman.

 

Hasil survei itu menyebutkan, perasaan anti-Islam di kalangan responden Spanyol mencapai 52 persen dan Jerman 50 persen. Pandangan negatif terhadap Islam tersebut juga diungkapkan 46 persen responden di Polandia, dan 38 persen responden di Perancis.Bagi para responden survei PRC yang berdomisili di Inggris dan AS, sentimen anti-Muslim relatif tidak sebesar mereka yang ada di sejumlah negara Eropa. Di Inggris, satu dari empat orang responden yang mengikuti survei yang dilakukan untuk Proyek Sikap Global Pew PRC ini memandang Islam secara negatif.

Dalam konteks Muslim Indonesia, hasil survei lembaga riset yang berbasis di Washington DC ini menunjukkan masih adanya 37 persen responden Muslim yang “mengungkapkan keyakinannya pada Usamah bin Ladin”, pemimpin kelompok Al-Qaeda yang dituduh bertanggung jawab atas serangan 11 September 2001 di AS.

Lebih rendah

Persentase para responden Islam Indonesia ini lebih rendah dari Muslim Nigeria (58 persen), namun lebih tinggi dari persentase responden Muslim Pakistan (37 persen).

Kantor berita internasional yang mempublikasi hasil survei PRC ini menyebutkan, walaupun terjadi penurunan “sikap positif” terhadap Usamah bin Ladin di sejumlah negara, pemimpin Al-Qaeda ini masih menikmati “dukungan tinggi” di Nigeria, Indonesia, dan Pakistan.

Dalam pandangan Akhmad Muzakki, laporan hasil riset PRC ini justru menjadi problematik saat dikaitkan dengan pemaknaan kualitatifnya, karena sebutan “sikap positif” terhadap Usamah yang menurun diikuti dengan masih adanya “dukungan tinggi” bagi pemimpin Al-Qaeda tersebut.

“Yang problematik adalah penggunaan istilah `attitude` (sikap) dan `support` (dukungan). `Attitude` tidak serta merta berarti orang melakukan aksi, sedangkan `support` adalah bagian dari lingkaran aksi. `Attitude` tidak mesti maknanya `support`,” katanya.

Karena itu, mereka yang membaca hasil survei ini sepatutnya “membacanya secara kritis”. Terlebih lagi bisa saja para pelaksanaan survei PRC ini “sudah mempunyai pengetahuan sebelumnya (prior knowledge) dan cara berpikir (mindset) tersendiri tentang masalah keberagaman masyarakat Islam di dunia.

Dengan kondisi demikian, meskipun angkanya sama-sama 100 misalnya, bisa saja pemahaman dirinya dan pemahaman mereka tentang Muslim Indonesia berbeda akibat pemahaman mereka yang lemah terhadap kompleksitas “konviksi keagamaan” di masyarakat Islam Indonesia.

“Muslim Indonesia itu sangat heterogen dan bagaimana mungkin Indonesia disamakan dengan Nigeria dan Pakistan yang relatif lebih homogen. Kita bicara soal homogen dan heterogen dalam masyarakat Islam tidak saja dalam konteks etnisitas, tetapi juga dalam konteks kelas sosial, pengetahuan keagamaan, atau kelas pendidikan,” katanya.

“Lalu masih ada varitas dalam keyakinan masyarakat Islam sendiri. Dalam soal Sunni sendiri, di Indonesia banyak ragam Sunni. Jadi penyamaan tiga negara ini sangat bias,” kata Akhmad Muzakki.

Ia mengatakan, sekalipun dari segi metodologi sudah dianggap benar, survei PRC ini tidak otomatis menghasilkan pemaknaan yang benar pula, kalau tidak mengetahui konteks sosiologis Islam Indonesia.

Akhmad Muzakki memperkuat argumentasinya dengan merujuk pada sebuah hasil survei di Jakarta tahun 2004 tentang sikap Muslim Indonesia tentang fenomena penerapan Syariah.

Hasil survei di Jakarta itu, katanya, mengungkapkan bahwa 70 persen respondennya setuju dengan penerapan Syariah Islam di Indonesia. Hanya kemudian timbul masalah, yakni “Syariat Islam macam apa yang diinginkan mereka untuk diterapkan di Indonesia.”

“Ini menjadi problem karena orang-orang yang tidak paham makna survei ini akan mengatakan bahwa kaum Muslimin Indonesia mengalami fundamentalisasi plus ektremisasi. Mengapa problem ini terjadi? Karena masyarakat di luar Muslim Indonesia cenderung sudah memiliki apa yang disebut dalam kajian budaya sebagai `prior knowledge`.”

Akhmad Muzakki mengatakan, dikhawatirkan orang-orang yang sudah punya “prior knowledge” dan “mindset” ini hanya melihat Syariat sebagai problem yang akan melahirkan radikalisasi. Mereka tidak memahami kompleksitas yang ada dalam konsep Syariah itu sendiri.

“Apa yang dipahami kemudian adalah persetujuan dari mayoritas. Tetapi Syariat yang bagaimana ini yang sering disalahpahami, karena ini masalah kompleks bagi mereka. Hal yang sama bisa saja terjadi dalam hasil survei Pew Research Centre di Washington DC itu,” katanya. (*) antara.co.id


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Kategori

%d blogger menyukai ini: