Oleh: ahmadnurcholish | September 10, 2008

Pemimpin Yang Amanah

Pemimpin Yang Amanah

 

Dari Abu Hurairah ra. Nabi saw bersabda: “Apabila amanat telah disia-siakan maka tunggulah saatnya.” Ditanya orang: “Bagaimana sia-sianya, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Apabila suatu urusan telah diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat [kehancurannya].” (HR. Bukhari).

 

Alkisah, Abdullah bin Umar terkenal sangat tekun dalam beribadah. Kekhusu’annya diakui oleh sahabat-sahabat serupa benar dengan shalatnya Rasulullah saw.

 

Tetapi ketika amirul mu’min Umar bin Khathab menderita sakit, dan membentuk satu komisi yang diketahui oleh Abdurrahman bin Auf untuk mencari Khalifah pengganti beliau, Abdullah bin Umar justru hanya diizinkan untuk menjadi pendengar saja saat komisi bersidang.

 

Seseorang mengusulkan agar anaknya itu turut dicalonkan pula untuk menggatikan Umar. Tetapi Umar menolak dengan keras. Bagi Umar, meski Abdullah, anaknya, tekun dan khusu’ dalam beribadah, belum tentu ia akan sanggup memegang amanat pemerintahan.

 

Bahkan, Umar malah memanggil dan menasehati anaknya, Abdullah, agar selama hidupnya dia jangan menuntut amanah yang tidak bisa dipikulnya itu.

 

Abdullah bin Umar pun tahu diri, sehingga bertahun-tahun kemudian, setelah terjadi perang saudara di antara Ali dengan Mu’awiyah, karena Mu’awiyah hendak merebut hak kepemimpinan itu, Umar tak memihak salah satu pihak.

 

Nampaknya, Umar sangat memahami betul hadits di atas. Hadits yang terdapat dalam Shahih Imam Bukhari ini menjadi petunjuk bagaimana seorang muslim harus memberikan jabatan, kedudukan  kepada mereka yang betul-betul memiliki keahlihan tentang itu, juga dapat dipertanggungjawabkan keamanahannya.

 

Ibnu Taimiyah pun dalam kitabnya As-Siatusy-Syariyah mengatakan bahwa wajiblah atas penguasa menyerahkan suatu tugas dari tugas-tugas kaum muslimin kepada orang yang cukup untuk melaksanakan pekerjaan itu.

 

Dengan dasar itu, Hamka (1983:123 – 124) menekankan bahwa menjadi tanggungjawab bagi Imam kaum Muslimin meletakkan suatu amanat pada ahlinya, yang sesuai dengan kesanggupan dan bakatnya.

 

Bahkan, merujuk pada hadits di atas, Hamka juga melarang seorang pemimpin hanya mementingkan keluarga atau golongan, sedang mereka itu tidak ahli dibidangnya. Sebab itu adalah khianat kepada Allah dan Rasul serta orang yang beriman.

 

Bagi Hamka, menyia-nyiakan amanat adalah khianat. Mengkhianati amanat adalah salah satu karakter orang munafik. Menerima satu amanat untuk menghianatinya adalah satu penipuan.

 

Kata-kata amanat satu rumpun dengan kata aman. Kalau tiap orang memegang amanatnya dengan benar akan amanlah negeri dan bangsa ini.

 

Kata amanat juga bersaudara dengan iman. Iman kita pahami sebagai kepercayaan dan amanat ialah bagaimana melancarkan iman itu. Dan simpulan amanat ialah amanat Allah kepada insane manusia, agar mengikuti kebenaran yang dibawa oleh para Rasul.

 

Dalam konteks manusia sebagai khalifah (wakil/deputy) Allah, mulanya amanat itu pernah ditawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Namun semuanya menolak karena merasa berat memikulnya.

 

Maka tampillah kata Insan (manusia) ini ke muka untuk memikul amanat itu. Sayangnya, manusia selalu abai, khianat, tidak bertanggungjawab dan tidak berterimakasih (QS. Al-Ahzab/33:72).

 

Oleh sebab itu, karena setiap kita adalah pemimpin (paling tidak pemimpin bagi keluarga, organisasi atau diri sendiri), maka merefleksikan kembali hadits di atas merupakan langkah awal untuk merealisasikan keamanahan kita sebagai pemimpin. Wallahua’lam.[ ] Ahmad Nurcholish

 


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Kategori

%d blogger menyukai ini: