Membebaskan Yang Tertindas (QS. Al-Nisa’/4:75)
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang semuanya berdo’a: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang dhalim penduduknya dan berilah kami perlindungan dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!”
Dalam Islam, sejak awal menekankan kepada pemeluknya untuk concern dan peduli kepada orang-orang yang tertindas, seperti orang-orang yang teraniaya, miskin, yatim, janda, perempuan, budak, dan orang-orang yang terhukum sekalipun.
Persoalan kemiskinan dan ketertindasan yang terjadi dalam dunia Islam memang masih perlu dipertanyakan, seberapa jauh efek teologis berpengaruh di dalamnya.
Orang-orang tertindas pada umumnya akibat dari suatu sistem sosial atau ulah politik para penguasa. Hal inilah yang diisyaratkan dan sekaligus diamanahkan untuk dicarikan solusinya sebagaimana termuat dalam ayat di atas.
Ayat tersebut menyerukan untuk melakukan tindakan oposisi terhadap suatu sistem yang melahirkan penindasan. Bahkan ayat ini menggunakan istilah al-qital, yang konotasinya pembelaan secara fisik, bukannya menggunakan istilah al-ijtihad, yang konotasinya perjuangan alternatif. Sang penindas dalam ayat ini adalah sebagian warga terhadap warga lainnya.
Dalam ayat lain, Tuhan mengisyaratkan golongan penindas itu datangnya dari penguasa. (QS. Al-Qashash/28:4).
Secara institusional, Islam sebenarnya juga memperkenalkan pranata-pranata sosial yang realistik dan pragmatis.
Dalam pengentasan kemiskinan, misalnya, dalam Islam dikenal beberapa lembaga-lembaga donasi, seperti zakat, shadaqah, infaq, waqaf, ghanimah, fae, jizyah, ‘usyr, khumus, hibah, washiyat, dan bait al-mal. Kesemua lembaga-lembaga ini, pernah efektif dalam lintasan sejarah dunia Islam.
Dengan demikian, agenda persoalan umat yang mendesak untuk diselesaikan ialah, mernghilangkan kontradiksi antara kesalehan individu dan kesalehan sosial, seraya menyeimbangkan antara kesemarakan beragama dan penghayatan makna dari agama itu sendiri.
Apalagi, sejak awal Islam telah mempromosikan sebagai agama ketuhanan sekaligus agama kemanusiaan dan kemasyarakatan (QS.Ali ‘Imran/3:112).
Bahkan, kualitas keberagamaan seseorang ditentukan oleh prestasi sosialnya. Kualitas kesalehan tidak hanya diperoleh melalui upaya pensucian diri (riyadlah nafsiyyah), melainkan juga kepedulian terhadap penderitaan orang lain (QS. Al-Ma’un/107:1-7). Wallahu a’lam. [ ] Ahmad Nurcholish
Tinggalkan Balasan