Oleh: ahmadnurcholish | September 3, 2008

Membangun Generasi Pluralis (bag. III)

Membangun Generasi Pluralis (bag. III)

 

 

Membangun Paradigma Keberagamaan Inklusif di Sekolah

            Dalam sub bahasan ini ada beberapa hal penting yang akan dikaji, seperti beberapa gambaran masalah yang menceritakan kejadian-kejadian yang berkaitan dengan problematika keberagamaan di sekolah. Akan dijelaskan pula peran sekolah dan guru dalam membangun sikap dan pemahaman siswa terhadap model keberagamaan yang inklusif dan moderat. Kedua pokok bahasan ini penting untuk dipahami karena dapat memberi gambaran pada kita tentang beberapa persoalan yang berkaitan dengan agama yang terjadi di sekolah[1].

 

Gambaran Masalah 1

Beberapa bulan setelah kasus pemboman dua buah kafe di kota A, seorang guru, setelah membaca sebuah media, berbicara tentang kasus tersebut di depan murid-muridnya. Dia bercerita bahwa apa yang telah dilakukan oleh  Si Fulan dkk. adalah  bagian dari Jihad. Dia menambahkan bahwa Si Fulan cs, menurut agama, tidak berdosa telah melakukan tindakan tersebut karena para korban adalah orang kafir yang beragama B yang sedang bersenang-senang di sebuah kafe.

 

            Penjelasan guru atau dosen yang seperti ini, tentunya, sangat menyesatkan bagi murid dan mahasiswa. Guru, dalam kisah ini, telah menanamkan sikap permusuhan terhadap pemeluk agama C, dan telah melegalkan tindakan kekerasan terhadap orang lain (umat beragama lain). Dalam hal ini, apakah guru seharusnya bersikap demikian? Bukankah seharusnya ia menjelaskan bahwa tindakan Si Fulan cs tidak bisa dibenarkan baik secara hukum maupun menurut agama? Bukankah akan lebih bijak bila ia  menjelaskan bahwa semua agama atau kepercayaan tidak pernah memerintahkan kepada pemeluknya untuk melakukan kekerasan terhadap siapa saja, termasuk kepada pemeluk agama lain?

 

Gambaran Masalah 2

Seorang murid SMA merasa bingung ketika mengikuti pelajaran agama. Dia merasa, selama ini hanya mempelajari dan menghafal “teks-teks” keagamaan dan tata cara melakukan kegiatan ritual keagamaan di sekolah. Dia merasa aneh, kenapa pak guru agama tidak pernah membahas atau mendiskusikan hubungan agama dengan kenyataan kehidupan yang ada.

 

            Pertanyaan-pertanyaan murid seperti ini, seperti diakui  Ainul Yaqin[2] sering kita temui, terutama sekali pada tingkat perguruan tinggi. Kajian agama yang lebih bersentuhan langsung pada persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat memang sangat dibutuhkan, seperti mempelajari bagaimana peran agama terhadap pengentasan kemiskinan, pembrantasan korupsi atau bagaimana hubungan agama dan negara.

            Selama ini, kajian-kajian yang baru saja disebut hanya ada pada tingkat perguruan tinggi. Itupun hanya terbatas pada program-program studi tertentu seperti studi agama, sosiologi, antropologi dan politik. Untuk mengatasi masalah ini, usul Ainul, harus ada beberapa perubahan pada orientasi pendidikan agama kita, kurikulum dan materi pelajaran yang digunakan. Orientasi pendidikan yang tidak hanya mengacu pada pembentukan pemahaman keagamaan secara tesktual dan ritual, tapi juga mengacu pada pemahaman yang kontekstual dan sosial. Kurikulum yang tidak hanya bertujuan membangun kemampuan siswa terhadap mata pelajaran keagamaan, tapi juga bagaimana membangun sikap siswa yang agamis, religius dan peduli sosial. Serta materi pelajaran yang tidak hanya mengacu pada teks-teks keagamaan (buku, kitab) yang bersumber pada satu aliran pemikiran atau madzhab tertentu, tapi juga berasal dari penulis, zaman, aliran dan madzhab yang bervariasi.

 

 

Peran Guru dan Sekolah

            Beranjak dari beberapa gambaran kejadian seperti di atas maka penting kiranya bagi seorang guru atau sekolah untuk menerapkan secara langsung beberapa aksi guna membangun pemahaman keberagamaan siswa yang inklusif dan moderat di sekolah.

            Guru merupakan (f)aktor penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif-pluralis dan moderat di sekolah. Guru memiliki posisi penting dalam pendidikan multicultural karena dia merupakan salah satu target dari strategi pendidikan ini. Apabila seorang guru mempunyai paradigma pemahaman keberagamaan yang inklusif-pluralis  dan moderat, maka dia juga akan mampu untuk mengajarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan tersebut terhadap siswa sekolah.

            Paling tidak ada dua peran guru untuk mendukung hal tersebut yang meliputi; pertama, seorang guru harus mampu untuk bersikap demokratis. Artinya dalam segala tingkah lakunya, baik sikap maupun perkataannya, tidak diskriminatif (bersikap tidak adil atau menyinggung) murid-murid yang menganut agama yang berbeda dengannya.

            Kedua, guru seharusnya mempunyai kepedulian terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Contohnya ketika terjadi pemboman terhadap sebuah kafe di Bali (2003), maka seorang guru yang berwawasan multicultural harus mampu menjelaskan keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut. Kemudian seorang guru sebaiknya mampu menjelaskan bahwa kejadian tersebut seharusnya jangan sampai terjadi. Bukankah di dalam semua agama baik Islam, Kristen, Hindu Buddha, Yahudi, Khonghucu dan kepercayaanya lainnya mengajarkan bahwa segala macam bentuk kekerasan dalam memecahkan masalah adalah dilarang. Sebab kekerasan hanya akan memunculkan masalah-masalah baru[3].

            Selain guru, peran sekolah juga sangat penting dalam membangun lingkungan pendidikan yang pluralis dan toleran terhadap semua pemeluk agama. Untuk itu, sekolah seyogyanya memperhatikan langkah-langkah berikut; pertama, sekolah sebaiknya membuat dan menerapkan undang-undang atau peraturan local, yaitu undang-undang atau peraturan sekolah yang diterapkan secara khusus di satu sekolah tertentu.

            Dalam undang-undang sekolah tersebut, tentunya, salah satu poin penting yang tercantum adalah adanya larangan terhadap bentuk diskriminasi agama di sekolah tersebut. Dengan diterapkannya UU ini diharapkan semua unsur yang ada seperti guru, kepala sekolah, pegawai administrasi, dan murid dapat belajar untuk selalu menghargai orang lain yang berbeda agama di lingkungan mereka.

            Kedua, untuk membangun rasa saling pengertian sejak dini antara siswa-siswi yang mempunyai keyakinan keagamaan yang berbeda maka sekolah harus berperan aktif menggalakkan dialog keagamaan atau dialog antariman yang tentunya tetap berada dalam bimbingan guru-guru dalam sekolah tersebut. Dialog antariman semacam ini merupakan salah satu upaya yang efektif agar siswa dapat membiasakan diri melakukan dialog dengan penganut agama yang berbeda.

            Beberapa sekolah di Jakarta dan Bogor bahkan sudah mentradisikan dialog semacam ini. Diantaranya adalah sekolah Sentral-Sevilla[4] di Jakarta dan sekolah Madania[5] di Bogor. Tidak hanya melalui dialog, siswa-siswa di sekolah-sekolah itu juga sudah terbiasa saling membantu untuk merayakan hari-hari besar keagamaan secara bersama-sama. Misalnya ketika Maulid Nabi atau Isra’ Mi’raj tiba maka siswa-siswa yang non-Muslim pun turut membantu teman-teman mereka yang Muslim untuk mengadakan perayaan/peringatan hari besar itu. Bahkan mereka yang non-Muslim pun turut berpartisipasi dalam mengisi acara, seperti menyanyi, menari atau membaca puisi. Sebaliknya, jika Natal datang siswa-siswi non-Kristen pun turut membantu rekan-rekan mereka yang Nsrani untuk mengadakan perayaan Natal.

            Ketiga, hal lain yang penting dalam penerapan pendidikan multicultural yaitu kurikulum dan biuku-buku pelajaran yang dipakai, dan diterapkan di sekolah. Kurikulum pendidikan yang multicultural merupakan persyaratan utama yang tidak bias ditolak dalam menerapkan strategi pendidikan ini. Pada intinya, kurikulum pendidikan multicultural adalah kurikulum yang memuat nilai-nilai pluralisme dan toleransi keberagamaan. Begitu pula buku-buku, terutama buku-buku agama yang dipakai di sekolah, sebaiknya adalah buku-buku yang dapat membangun wacana peserta didik tentang pemahaman keberagamaan yang inklusif-pluralis dan moderat[6]. Sayangnya, buku-buku seperti itu di pasaran masih merupakan barang langka yang sulit ditemukan.

Di tengah kelangkaan dan seabrek persoalan yang menghimpit sekolah-sekolah kita, penulis merasa harus memberikan apresiasi yang tinggi dan berharap banyak bahwa Sekolah Kuntum Cemerlang mampu tampil sebagai lembaga pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai pluralitas, toleransi dan perdamaian untuk “Bersama Membangun Masa Depan Anak” bangsa. Wallahu a’lam bi al-Shawaf. [ ] Ahmad Nurcholish

           

 

 

 

 

 


[1] Lihat Muhammad Ali, “Paradigm Shift; Pemahaman Agama”, Kompas 7 Oktober 2003. dikutip kembali oleh M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h.58.

[2] M. Ainul Yaqien, Pendidikan Multikultura, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 58-59.

[3] Ibid., h.62.

[4] Sekolah ini didirikan oleh Gede Natih (tokoh Hindu), Sudhamek AWS (pengusaha, tokoh Buddha) dan alm. Nurcholish Madjid (cendikiawan Muslim).

[5] Sekolah berbasis Islam ini didirikan antara lain oleh alm. Nurcholish Madjid. Meski sekolah Islam, sekolah ini juga menerima siswa-siswi non-Muslim. Bahkan pihak sekolah juga menyediakan guru-guru agama non Islam seperti Kristen, Hindu dan Buddha meski murid yang beragama non Islam itu hanya satu atau dua orang saja.

[6] M. Ainul Yaqien, Ibid., h. 63.


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Kategori

%d blogger menyukai ini: