Oleh: ahmadnurcholish | September 3, 2008

Membangun Generasi Pluralis (bag. II)

Membangun Generasi Pluralis (bag. II)

 

Fiqih Toleransi

            Sebagai konsekuensi logis dari pemaparan di atas yang juga disertai landasan-landasan telogisnya (melalui kajian teks, ayat), maka yang harus diimplementasikan adalah hadirnya fiqih (yuresprudensi hukum Islam) toleran yakni aturan hukum agama yang pluralis. Hal ini penting dilakukan dalam rangka menciptakan tatanan kehidupan agama yang damai dan sehat.

            Sebagaimana kita ketahui hubungan antaragama atau antara kelompok-kelompok yang berbeda agama tidak selalu harmonis dan bersahabat. Bahkan, kerap diwarnai dengan ketegangan, konflik, kebencian, permusuhan, kekerasan, bahkan pembunuhan. Bentuk-bentuk hubungan antaragama, baik harmoni maupun konflik, meskipun lebih sering ditimbulkan oleh factor social-politik, tidak pernah terlepas dari factor keagamaan. Karena itu, dalam membina dan memelihara hubungan harmonis antara komunitas-komunitas yang berbeda agama, factor keagamaan tidak bisa diabaikan.

 

            Oleh karena itu, barangkali akan menemukan relevansinya jika pada bagian ini kita akan membicarakan masalah-masalah keagamaan dalam hubungan antaragama dalam bidang ritual atau ibadah. Juga masalah-masalah keagamaan dalam hubungan antaragama dalam bidang muamalat. Masalah-masalah itu antara lain adalah: mengucapkan salam kepada non-Muslim, mengucapkan Selamat Natal dan selamat hari raya agama-agama lain, menghadiri perayaan hari-hari besar agama-agama lain, dan masalah penggunaan jilbab yang tak pernah hilang dari perbincangan publik.

 

Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim

            Pada umumnya para ulama berpendapat bahwa hokum mengucapkan salam kepada orang non-Muslim adalah haram, terlarang. Larangan ini didasarkan pada hadits-hadits Nabi Muhammad saw. Antara lain adalah:

 

“Jangan kamu memulai (mengucapkan) salam kepada orang-orang Yahudi dan Nsrani. Jika kamu menjumpai salah seorang dari mereka di jalan, doronglah dia ke pinggir.” (HR. Muslim melalui Abu Hurairah).[1]

 

            Hadits ini tidak hanya melarang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, tetapi juga menyuruh orang-orang Muslim untuk bersikap kasar terhadap mereka, yaitu dengan mendorong siapapun di antara mereka ke pinggir jalan. Hadits ini menampilkan Islam dengan wajah garang dan kasar. Paling tidak ada 9 hadits lain yang berbicara soal salam kepada non-Muslim.

            Hadits di atas oleh banyak ulama Islam sebenarnya diragukan ke-shahih-annya, karena, pertama, Abu Hurairah terlalu sering meriwayatkan apa yang sebenarnya tidak pasti diucapkan oleh Rasulullah Saw. Kedua, diduga keras ia juga seorang yang pelupa dan ia sendiri mengakui sifat ini[2]. Ketiga, terlalu banyak hadits yang diriwayatkannya dalam waktu singkat, yakni 5300 hadits dalam waktu tiga tahun[3]. Keempat, ia juga seorang pemalas. Ia pernah menolak pekerjaan yang ditawarkan oleh Umar ibn al-Khattab[4]. Kelima, banyak hadits-hadits yang diriwayatkannya bertentangan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan para sahabat yang terpercaya, termasuk juga Aisyah[5].

            Hadits di atas bertentangan dengan watak dasar Islam yang menekankan kedamaian, keramahan, dan kelembutan. Hadits itu juga bertentangan dengan hadits lain yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw. (mamulai) mengucapkan salam kepada Negus (Najasyi), Raja Etiopia, melalui suratnya.[6]

            Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim melalui Abdullah ibn Amru dapat dijadikan rujukan untuk mengetahui apakah mengucapkan salam kepada orang non-Muslim boleh atau dilarang. Hadits ini menceritakan bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang Islam yang mana yang terbaik. Nabi menjawab: “Memberikan makanan dan membaca salam kepada siapa saja yang engkau kenal dan siapa sahja yang tidak engkau kenal.”[7]

            Ketika menjelaskan makna umum hadits ini, Musa Syahin, seorang guru tafsir dan hadits di Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar, Kairo, mengatakan bahwa di antara cabang iman yang terpenting dan perangai yang paling menonjol adalah memberikan makanan dan menyebarkan salam. Dengan dua perangai ini persahabatan dan persaudaraan akan terwujud, umat Islam menjadi seperti tubuh yang satu yang saling mengokohkan.            Dengan dua perangai ini, kepercayaan dan keamanan akan sempurna, cinta dan harmoni akan terwujud, kebahagiaan dan kedamaian akan menjadi agung, dan fenomena-fenomena Islam dengan bentuk-bentuk ini semua akan menjadi tampak nyata[8]. Hadits ini menyatakan dengan tegas bahwa Islam  adalah agama solidaritas dan kedamaian.

            Mengucapkan salam adalah perbuatan menanam kasih-sayang dan cinta dalam kalbu. Kesedihan, perlawanan dan penolakan yang mungkin ada dalam kalbu orang-orang yang dicintai akan hilang lenyap dengan ucapan selamat. Buruk sangka dan saling curiga yang mungkin ada dalam kalbu musuh akan berbalik menjadi kepercayaan dengan ucapan selamat. Makna zahir ungkapan “siapa yang engkau kenal dan siapa yang tidak engkau kenal” (man ‘arafta wa man lam ta’rif) dalam hadits ini menujukkan keumuman pada seluruih manusia (kull al-nas), baik yang beriman maupun yang kafir.[9]

 

Mengucapkan “Selamat Natal”

            Seperti juga mengucapkan salam kepada non-Muslim, mengucapkan “Selamat Natal” kepada mereka yang Nasrani juga diharamkan atau dilarang oleh ‘ajaran’ Islam. Bahkan MUI pun memfatwakan hal itu. Di antara alasan larangan itu adalah bahwa mengucapkan “Selamat Natal” berarti membenarkan ajaran Kristen. Alasan lain: bid’ah dan menyerupai orang kafir.

            M. Quraish Shihab mengatakan bahwa ada ayat al-Qur’an yang mengabadikan ucapan Selamat Natal yang pernah diucapkan oleh Nabi Isa, tidak terlarang membacanya, dan tidak keliru pula mengucapkan “selamat” kepada siapa saja, dengan catatan memahami dan menghayati maksudnya menurut al-Qur’an, demi kemurnian aqidah.[10] Selamat Natal yang diucapkan Nabi Isa dan diabadikan oleh al-Qur’an: “Salam sejahtera untukku pada hari kelahiranku, wafatku dan kebangkitanku kelak” (QS. Maryam/19:33).

            Yang lebih utama adalah tujuan mengucapkan “Selamat Natal.” Bagi orang-orang Muslim, pada umumnya, tujuannya adalah untuk pergaulan, persaudaraan, dan persahabatan. Ketiga hal itu dalam Islam adalah kemaslahatan. Dengan dengan tujuan itu, dan tentu saja tanpa mengorbankan aqidah, mengucapkan “Selamat Natal” tentu saja dibolehkan.

 

Menghadiri Perayaan Hari-hari Besar Agama Lain

            Apa hukumnya seorang Muslim menghadiri perayaan hari-hari besar agama lain, seperti perayaan Natal misalnya? Untuk menjawab itu marilah kita lihat bagaimana tokoh-tokoh Islam baik yang ada di dalam negeri maupun mancanegara mengikuti perayaan hari-hari besar agama lain.

            Pada Jumat, 24 Desember 1999 Presiden Palestina Yasser Arafat, bersama istrinya Suha yang beragama Nasrani, menghadiri misa tengah malam di Gereja Saint Catherine di Bethlehem, dan menghadiri Perayaan Malam Natal di Gereja Kelahiran Kristus di kota yang sama, setelah menghadiri dan mengikuti  acara tarawih di masjid dekat gereja itu. Di gereja itu, Arafat berdo’a untuk perdamaian[11]. Dan kebiasaan itu dilakukannya setiap tahun.

            Pada malam yang sama di Banja Luka, Bosnia-Herzegovina, orang-orang Serbia dan orang-orang Muslim bergabung dengan 400-an orang Kroasia Katholik merayakan Misa Malam Natal. Suasana itu adalah cerminan kerukunan antara komunitas-komunitas dari agama yang berbeda di kota yang selama beberapa tahun sebelumnya dilanda konflik berdarah yang penuh dengan kekerasan[12].

            Ketua MPR RI (saat itu) Amien Rais menghadiri perayaan Natal di Gereja Sentrum Tondano, ibukota Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, pada Selasa 19 Desember 2000. mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu menemukan sebuah pengalaman menarik dan langka ketika menyaksikan kelompok Qasidah Kampung Jawa Tondano menyanyikan lagu Torang Samua Basaudara (Kita Semua Bersaudara) dalam perayaan Natal itu yang juga dihadiri para ulama Muslim. Amien tak kuasa menahan haru mhal itu. Dengan nada suara bergetar ketika menyampaikan pidatonya, Amien berujar: “Saya betul-betul terharu menyaksikan praktik kehidupan rukun dan damai masyarakat di tempat ini. Sungguh, ini menjadi pengalaman amat berharga bagi kita semua.[13]

            Begitu juga dengan Perayaan Natal Nasional tahun 2002 di Balai Sidang Senayan, Jakarta, pada Jumat, 27 Desember 2002 dihadiri oleh Presiden Megawati, Wapres Hamzah Haz, Ketua MPR Amien Rais, Ketua DPR Akbar Tanjung, para menteri, termasuk Menag Said Agil Husin al-Munawar, para duta besar negara-negara sahabat.[14]

            Perayaan Imlek yang diadakan oleh Vihara Mahavira Graha Pusat pada 31 Januari 2006 juga dihadiri tokoh-tokoh agama diluar Buddha, seperti Abdurrahman Wahid (mantan Presiden RI), Chandra Setiawan (pengurus Matakin, anggota Komnas HAM), Kwik Kian Gie, Alvin Lee (anggota DPR), dan Romo Benny Susetyo (Katholik).[15] Bahkan dalam Perayaan Imlek Nasional yang diadakan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) di JCC pada 4 Februari 2006, dan Sabtu, 24 Februari 2007, selain Presiden SBY, para menteri dan pejabat negara, juga hadir tokoh-tokoh dari berbagai agama. Gus Dur sendiri tak pernah absen menghadiri perayaan Imlek dari tahun ke tahun[16].

            Pada medium tahun ini, persisnya 1 Juni 2007 saat Majelis Budayana Indonesia (MBI) pimpinan Sudhamek AWS. menghelat perayaan Waisyak 2551 BE di Candi Muaro Jambi juga dihadiri tokoh-tokoh agama dan masyarakat dari berbagai agama. Hadir di antaranya Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Assiddiqie, Ketua Umum ICRP Musdah Mulia dan sejumlah pemuka agama dari agama-agama lain[17].

 

Jilbab: antara Doktrin Agama dan Tradisi

            Salah satu jenis pakaian perempuan yang sering diperdebatkan antara wajib dikenakan atau tidak adalah khimar (kerudung) dan jilbab. Biasanya, baik yang mewajibkan maupun yang tidak sama-sama berpijak pada ayat-ayat berikut:

 

“Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman: “Hendaklah mereka memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya (QS. An-Nur/24:31).

 

            Ayat berikutnya:

 

“Hai  Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenali, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Ahzab: 59).

            Mengomentari ayat pertama (an-Nur/24:31) di atas, Muhammad Salman Ghanim, seorang pemikir Islam asal Mesir, mengatakan bahwa term juyub dalam ayat ini adalah daerah sekitar wilayah dada dan bagian tengah perempuan. Di sini, menurutnya, tidak disebutkan masalah tutup kepala (rambut), sehingga seolah-olah Allah ingin memfirmankan bahwa menutup kepala dengan khimar (kerudung) tidak penting, tetapi yang terpending adalah menutup sekwilda (sekitar wilayah dada)[18].

            Kaum agamawan lebih memandang ayat di atas hanya dari segi perempuan-sentris, tanpa melihat kewajiban serupa pada laki-laki. Padahal, mula-mula Allah lebih mengisyaratkan perintah untuk memelihara kemaluan dan menundukkan pandangan lebih ditekankan kepada kaum laki-laki. Lihat saja ayat sebelumnya, surat an-Nur/24 ayat 30:

 

“Katakanlah kepada laki-laki mukminin: “Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluannya”.”

 

            Dalam buku Islam ka Badil (Islam sebagai Alternatif) Mourad Hoffman menyatakan, “Kita melihat bahwa bidang yang dimaksudkan dalam diksi illa ma dzahara minha adalah membolehkan menata pakaian perempuan menurut perubahan zaman dalam peran fungsional perempuan, karena perubahan tersebut sudah menjadi keharusan untuk mengikuti perkembangan komunitas manusia secara etis dan social.”[19]

            Hoffman meneruskan, “Signifikansi (maghza) ayat 31 dari surat an-Nur sebenarnya bias terealisasikan tanpa harus menutup rambut perempuan. Sebab rambut perempuan bukanlah sumber rangsangan nafsu seksual kamum laki-laki, sebagaimana kondisi perempuan di Eropa Utara dan Amerika Utara secara umum.”

            Begitu juga Salman Ghanim, menurutnya, rambut perempuan lebih kecil rangsangan seksualnya daripada wajah, sehingga boleh saja dibuka. Hanya saja Islam menuntut kaum perempuan untuk bersikap sopan dalam berpakaian. Maka, kata Ghanim, tidak apa-apa memakai khimar (kerudung), asal tidak menganggap dan menyakininya sebagai bagian dari doktrin agama, atau menganggap orang yang tidak menutup rambut lebih kecil keimanannya, bahkan kafir[20].

            Sedangkan dalam surat al-Ahzab/33:59 yang memerintahkan perempuan untuk memanjangkan jilbabnya, kemudian dijadikan justifikasi sebagai dalil pakaian Muslimah, asbab an-nuzul (sebab-sebab turunnya) ayat ini adalah bahwa kaum perempuan masa Nabi sering keluar ke padang pasir untuk buang air besar. Sehingga banyak kaum laki-laki yang menyakini mereka sebagai perempuan tuna susila atau budak perempuan, karena tidak adanya tanda-tanda khusus bagi perempuan merdeka dalam hal pakaian. Maka mereka pun mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Dari sini, turunlah ayat tersebut.

            Muhammad Said Asymawi mnengomentari ayat di atas demikian:

 

“Jika para ahli fiqih (fuqaha) menetapkan kaidah bahwa hukum terkait dengan illah secara wujud dan sebab. Maka hilangnya illah dalam hokum memanjangkan jilbab dalam ayat di atas, dengan maraknya WC/toilet di rumah-rumah serta tidak adanya diskriminasi perempuan karena urusan pakaian, menyebabkan tidak berlakunya lagi hukum tersebut. Jilbab merupakan hokum temporal yang terkait dengan kondisi tertentu (masa Nabi). Jika kondisi tersebut sudah hilang dan berubah, maka kewajiban memanjangkan jilbab ini juga sudah tidak berlaku.”[21]

 

 

Pendidikan Pluralis-Multikultural

            Di era multikulturalisme dan pluralisme, pendidikan agama sedang mendapat tentangan karena ketidakmampuannya dalam membebaskan peserta didik keluar dari eksklusifitas beragama. Dalam pendidikan agama Islam misalnya, wacana kafir-iman, muslim-nonmuslim, sorga-neraka seringkali menjadi bahan pelajaran di kelas yang selalu diindoktrinasi. Pelajaran teologi diajarkan sekadar untuk memperkuat keimanan dan pancapaiannya menuju sorga tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain.

            Di sekolah-sekolah Islam dari levelnya yang paling rendah (Madrasah Ibtidaiyah) sampai perguruan tinggi, fenomena ini tumbuh bak jamur di musim hujan. Paradigma pendidikan Islam yang eksklusif-doktrinal ini telah menciptakan kesadaran umatnya untuk memandang agama lain secara berbeda, bahkan bermusuhan. Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan Islam sangat ekseklusif dan tidak toleran. Padahal, di era pluralisme dewasa ini, pendidikan Islam dan juga pendidikan agama-agama

 lain mesti melakukan reorientasi filisofis-paradigmatik tentang bagaimana membentuk kesadaran peserta didik berwajah inklusif-pluralis dan toleran. Inilah tantangan serius dalam mengembangkan pendidikan agama di tanah air.

            Untuk menuju sebuah pendidikan agama yang menghargai pluralisme, sebenarnya selain aspek kurikulum (khususnya aqidah-akhlak dalam Islam) yang harus dirubah muatan-muatannya, juga aspek pendekatan dalam pengajarannya. Pola-pola lama dalam pendekatan atau pengajaran agama harus segera dirubah dengan model baru yang lebih mengalir dan komunikatif. Aspek perbedaan harus menjadi titik tekan dari setiap pendidik. Pendidik harus sadar betul bahwa masing-masing peserta didik merupakan “manusia yang unik” (human unique), karena itu tidak boleh ada penyeragaman-penyeragaman. Penyeragaman-penyeragaman bukan saja akan mamatikan kreativitas, namun juga akan membunuh daya cipta dan kemampuan yang telah ada sebelumnya. Karena itu, pendidikan harus dipahami untuk melakukan pembaruan (inovation) yang mengarah pada perbaikan-perbaikan[22].

            Oleh karena itu, pendidikan tidak bisa menjadi sesuatu yang sudah fixed, tetapi senantiasa berubah-ubah sesuai perkembangan yang terjadi. Dengan memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi, maka kurikulum pendidikan agama harus dipahami sebagai materi yang harus senantiasa memperhatikan perubahan tersebut, karena jika tidak akan menjadi “kerangkeng” atau penjara yang diperkuat di dalam kelas dengan kursi-kursi tempat duduk yang hanya pas untuk satu orang, jam pelajaran yang ketat, guru yang bekerja seperti “sipir penjara” dan beberapa “penjara” lainnya.

            Agar pendidikan agama tidak menjadi “penjara”, maka harus diupayakan agar tidak membosankan serta mengenai tujuan atau sasaran; yakni memberikan ruang pada anak-anak didik untuk menyampaikan ekspresi yang berbeda-beda dengan keunikan yang dimilikinya. Salah satu cara dengan memberikan kebebasan terhadap siswa adalah melalui berbagai pendekatan.

            Beberapa kemungkinan pendekatan yang bisa dikembangkan dalam rangka mengajarkan agama kepada peserta didik sehingga tidak menjadikan siswa sebagai manusia mekanis dan berpikir satu arah adalah:

            Pertama, pendekatan histories. Pendekatan ini mengandaikan bahwa materi pendidikan agama diajarkan kepada siswa dengan menengok kembali ke belakang; maksudnya adalah agar pendidik dan peserta didik mempunyai kerangka yang komplet sampai ke belakang untuk kemudian merefleksikan untuk masa sekarang dan mendatang.

            Kedua, pendekatan sosiologis. Pendekatan ini mengandaikan terjadinya proses “kontekstualisasi” atas apa yang pernah terjadi di masa sebelumnya, atau masa lampau. Kontekstualisasi ini dalam kerangka berpikir Islam bisa diindentikkan dengan ijtihad (inovasi/pembaruan) atas apa yang dulu pernah dipahami. Dengan pendekatan sosiologis ini akan membawa materi pelajaran agama pada umumnya menjadi lebih aktual.

            Ketiga, pendekatan cultural. Ini merupakan pendekatan yang menekankan pada aspek otentisitas dan tradisi yang berkembang. Dengan pendekatan ini, siswa akan memahami apa yang sebenarnya menjadi tradisi dan mana yang otentik, orisinil.

            Keempat, pendekatan psikologis. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang memperhatikan situasi psikologi orang perorang (siswa demi siswa) secara tersendiri dan mandiri. Artinya, masing-masing siswa dilihat sebagai manusia mandiri dan unique dengan karakter dan kemampuan yang dimilikinya.

            Dengan pendekatan psikologis akan memungkinkan siswa menjadi manusia “pembelajar” yang dengan segala informasi akan dapat secara progresif mengorganisasikan dan memperkaya apa-apa yang sudah diketahui, bukan malah mematikannya.

            Kelima, pendekatan estetik. Pendekatan ini menjadikan siswa memiliki sifat-sifat yang santun, damai, ramah dan mencintai keindahan. Mengapa? Karena dalam persepektif ini pelajaran agama tidak didekati secara doctrinal yang cenderung menekankan adanya “otoritas-otoritas” kebenaran agama tertentu, tetapi lebih apresiatif terhadap gejala-gejala yang terjadi di tengah masyarakat yang dilihat sebagai bagian dari dinamika hidup yang bernilai seni, estetik. Pendekatan inilah yang dulu digunakan oleh Wali Songo dalam mendakwahkan Islam di Tanah Jawa.

            Keenam, pendekatan berperspektif jender. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan dalam pengajaran agama yang tidak membedakan jenis kelamin karena memang soal jenis kelamin bukan penghalang bagi seseorang untuk mencapai kesuksesan dalam belajar. Di hadapan Tuhan juga jelas yang akan dinilai bukan karena jenis kelaminnya, tetapi nilai ketaqwaannya (kesalehannya)[23].


[1] Shahih Muslim: Kitab al-Salam, Bab al-Nahy ‘an Ibtida’ Ahl al-Kitab, No. 2167.

[2] Shahih Bukari, Vol. h. 34.

[3] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Al-Isabah fi Tamyiz al-Shabahah (Kairo: Maktabat al-Dirasah al-Islamiyah Dar al-Nahdhah, t.t.), vol.7,h.432.

[4] Al-‘Asqalani, Al-Isabah, vol.7,h.517.

[5] Fatima Mernisi, Women and Islam: A Historical and Theological Enquiry (Oxford: Basil Blacwell, 1991).

[6] Sirat al-Halabi, vol.3,h.279; Thabaqat al-Kubra, vol.1,h.259, sebagaimana dikutip oleh Ja’far Subhani, Al-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, terj. Muhammad Hasyim & Meth Kierana (Jakarta: Lentera, 1996), h.497.

[7] Musa Syahin Lasyin, Fath al-Mu’im: Syarh Shahih Muslim, Bagian Pertama (Kairo: Maktabat al-Jami’ah al-Azhariyyah, 1389/1970), h.233.

[8] Ibid, h.234.

[9] Ibid, h. 237.

[10] Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004), h.81-82.

[11] Kompas, 26 Desember 1999.

[12] Kompas, 26 Desember 1999.

[13] Kompas, 23 Desember 2000.

[14] Kompas, 28 Desember 2002.

[15] ICRP online, penulis hadir juga dalam acara ini.

[16] Ibid., penulis juga selalu hadir dalam perayaan itu.

[17] MaJEMUK, Juli-Agustus 2007. Penulis hadir juga di acara itu.

[18] Muhammad Salman Ghanin, Min Haqa’iq al-Qur’an [terj.], (Yogyakarta: LKiS, 2004), h.99

[19] Mourad Hoffman, Islam ka Badil, h.219.

[20] Muhammad Salman Ghanim, Ibid., h.101.

[21] Muhammad Said Asymawi, Ma’alim al-Islam, (1989), h.125.

[22] Lihat Zuly Qodir, Humanisasi Pendidikan Islam dalam Jurnal Tashwirul Afkar (Jakarta: Lakpesdam NU, 2001), Edisi No. 11, h. 36-37.

[23] Ibid., h.38-42.


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Kategori

%d blogger menyukai ini: