Menyemai Nilai-nilai Toleransi dari Ruang Sekolah[1]
Pengantar
Topik di atas sengaja kita angkat karena, menurut hemat penulis, akan menemukan relevansinya di tengah masih massifnya ‘ketegangan-ketegangan’ antara umat Islam dan non Islam, khususnya Kristen dan Katholik. Begitu juga dengan kian maraknya Perda-Perda bernuansa agama, juga makin getolnya orang/kelompok dari umat Islam yang tengah memperjuangkan penerapan syari’at Islam menambah kerumitan tersendiri bagi pegiat kerukunan dan toleransi antar umat beragama.
Kerumitan tersebut kian bertambah berat setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan 11 fatwa pada Kamis, 28 Juli 2005 yang antara lain mengharamkan Sekulerisme, Liberalisme dan Pluralisme. Tidak hanya itu, MUI juga melengkapi fatwa-fatwa sebelumnya yang antara lain: mengharamkan umat Islam mengucapkan ‘Selamat natal’ kepada saudara mereka yang Nasrani dengan mengharamkan doa bersama antaragama, mengharamkan kawin beda agama dan warisan beda agama.
Sontak, pasca dikeluarkanya fatwa tersebut langsung memantik pro dan kontra tidak hanya di kalangan umat islam, tetapi juga memunculkan keprihatinan pada umat agama lain. Salah seorang intelektual Islam, Dawam Raharjo[2], menilai bahwa diantara fatwa yang cukup merisaukan adalah dilarangnya doa bersama, khususnya doa yang dipimpin oleh orang nonmuslim. Menurutnya, gejala itu sebenarnya sudah sangat lumrah: seorang pastor atau pendeta mengucapkan doa, padahal doa bersama yang diucapkan dalam bahasa Indonesia atau Jawa itu isinya sama saja dengan doa orang Islam, misalnya meminta keselamatan atau memohon agar para pemimpin bisa menghentikan pertengkaran di antara mereka.
Dalam pandangan Dawam, doa bersama itu bersifat universal, bisa diucapkan dan diamini oleh semua orang dari berbagai agama. Mengapa doa bersama itu, yang maksudnya jelas baik dan merupakan kebiasaan yang baik pula, yaitu memohon kepada Tuhan, Tuhan seluruh umat manusia, diharamkan oleh MUI? “Bukankah ini adalah pemberangusan terhadap kebebasan untuk menjalankan ibadah menurut keyakinan masing-masing?” tulisnya.
Fatwa MUI tersebut juga menolak asas pluralisme beragama, tapi bisa menerima pluralitas karena merupakan realitas. MUI agaknya membedakan pluralitas dan pluralisme, yang memang berbeda. Yang satu pemikiran dan yang lain adalah realitas yang tak bisa ditolak. Namun, keduanya berkaitan satu sama lain.
Asas pluralisme dianut karena berdasarkan realitas, yaitu realitas masyarakat yang majemuk. Dalam masyarakat yang majemuk itu, otoritas, yaitu negara atau MUI, tidak berhak menyatakan bahwa agama yang satu benar dan agama yang lain salah atau “sesat dan menyesatkan” seperti yang dituduhkan kepada Ahmadiyah. Artinya, semua agama harus dianggap benar, yaitu benar menurut keyakinan pemeluk agama masing-masing. Sebab, prinsip ini merupakan landasan bagi keadilan, persamaan hak, dan kerukunan antarumat beragama. Tanpa pandangan pluralis, kerukunan umat beragama mustahil dapat diwujudkan.
Demikian juga, tanpa pluralisme, di mana keyakinan masyarakat didominasi oleh keyakinan hegemonik seperti keyakinan para ulama MUI, kebebasan beragama akan terberangus dari bumi Indonesia. Padahal yang mendasari Pancasila itu adalah pluralisme yang tersimpul dalam istilah “bhinneka tunggal ika”. Pluralisme, lewat Pancasila, adalah infrastruktur budaya dari persatuan Indonesia, demokrasi kerakyatan, dan keadilan sosial yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Islam dan Pluralisme
Berbicara tentang nilai-nilai pluralisme dalam Islam, mengingatkan kita pada Prof. Fazlurrahman. Dalam bukunya Intepretation in the Qur’an, beliau memaparkan bahwa ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai pluralisme. Nilai-nilai tersebut yang apabila kita hayati maka diharapkan hubungan antar sesama kita, manusia dengan segala macam keaneka ragaman ideology, background sosial, etnik, dan sebagainya dapat terjembatani melalui nilai-nilai pluralisme Islam ini.
Dalam al-Qur’an, Allah menjelaskan akan pluralitas itu melalui surat al-Hujarat (49):13 yang artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujarat/49:13)
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah Swt telah menciptakan makhluknya, laki-laki dan perempuan, dan menciptakan manusia berbangsa-bangsa, untuk menjalin hubungan yang baik. Kata ta’arafu dalam bahasa Arab merupakan kalimat aktif dan bukan pasif, sehingga perintah untuk saling kenal-mengenal sangat ditekankan dalam Islam. Kata ta’arafu maksudnya bukan hanya berinteraksi tetapi berinteraksi positif[3]. Karena itu setiap hal yang baik dinamakan dengan ma’ruf. Jadi, dijadikannya makhluk dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah dengan harapan bahwa satu dengan yang lainnya dapat berinteraksi secara baik dan positif. Lalu dilanjutkan dengan ayat …inna akramakum ‘indallahi atqakum… Maksudnya, bahwa interaksi positif itu sangat diharapkan menjadi prasyarat kedamaian di bumi ini, namun yang dinilai terbaik di sisi Tuhan atau mereka yang termulia di sisi Tuhan adalah mereka yang betul-betul dekat dengan Allah. Jadi, jelas al-Qur’an memberikan kepada kita alasan rasional penciptaan manusia dengan beragam bangsa, bahasa, suku dan budaya.
Ayat lainnya adalah dalam al-Qur’an surat Hud/11:118 yang artinya:
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” (QS. Hud/11:118).
Dari ayat di atas jelas bahwa kalau Tuhan mau, dengan mudah sekali akan menciptakan manusia semua dalam satu macam, grup, golongan, monolitik, dan satu agama. Tetapi, Allah tidak menghendaki demikian. Dia justru menunjukkan kepada realita bahwa hakikatnya manusia itu berbeda-beda. Inilah kehendak Tuhan. dan atas dasar ini pulalah kita bicara pluralisme.
Lantas muncul pertanyaan, apakah orang-orang non muslim, yang biasa orang Islam menyebutnya “kafir” itu menerima pahala amal salehnya? Benar!, menurut al-Baqarah:62, yang diulang dengan redaksi yang agak berbeda pada al-Maidah:69 dan al-Hajj:17.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi’in[4], siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Sayyid Husseyn Fadhullah dalam tafsirnya, sebagaimana dikutip Jalaluddin Rakhmat menjelaskan:
Makna ayat ini sangat. Ayat ini menegaskan bahwa keselamatan bahwa keselamatan pada hari akhirat akan dicapai oleh semua kelompok agama ini yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir, dan amal saleh.[5]
Bahkan menurut Rasyid Ridha dalam tafsir Al-Manar, menegaskan bahwa orang yang merasa pasti akan selamat hanya karena dia Islam, Nasrani, atau Yahudi adalah orang yang terbuai atau tertipu (mughtarrin) dengan nama.[6]
Pertanyaan berikutnya, lantas mengapa harus ada berbagai agama? Kalau semua agama itu valid, kenapa Tuhan repot-repot membuat agama yang bermacam-macam? Kenapa Allah tidak menjadikan semua agama itu satu saja? Apa tujuan penciptaan berbagai agama itu? Al-Qur’an menjawabnya dengan sangat indah:
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang (syir’atan wa minhajan). Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (fastabiqu al-khairat). Hanya kepada Allah kembali kamu semuanya (ila Allahi marji’ukum jami’a). lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (QS. Al-Maidah/5:48).
Dari ayat ini kita dapat menyimpulkan beberapa hal:
- Agama itu berbeda-beda dari segi aturan (syari’at) dan pandangan hidupnya (aqidah). Karena itu, pluralisme sama sekali bukan untuk menyamakan semua agama, karena perbedaan itu adalah niscaya.
- Tuhan sama sekali tidak menghendaki kita semua menganut agama yang tunggal. Keragaman agama itu dimaksudkan untuk menguji kita semua. Ujiannya adalah seberapa banyak kita memberikan kontribusi kebaikan pada umat manusia. Setiap agama diperintahkan bersaing dengan agama lain dalam memberikan kontribusi kepada kemanusiaan (alkhayrat).
- semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Yahudi kembalinya kepada Allah. Adalah tugas dan wewenang Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan di antara berbagai agama. Kita tidak boleh mengambil alih Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apa pun, termasuk dengan fatwa[7].
Oleh karenanya bukan hanya kepada sesama umat seagama kita mesti berlaku toleran, bahkan dengan penganut agama lain pun seyogyanya berhubungan dengan baik terhadap mereka yang berbeda agama. Dalamhal ini al-Qur’an menjelaskan demikian:
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri.” (QS. Al-Ankabut/29:46).
Jadi jelas, bahwa yang dikehendaki Tuhan adalah pluralisme, interaksi positif, saling hormat-menghormati antar sesama manusia, meski berlainan warna kulit, suku, etnis, ideology, bahkan agama dengan kita.
[1] Tulisan ini pernah disampaikan dalam acara “Ngabuburit Jelang Buka Puasa Bersama”, di Sekolah Kuntum Cemerlang, Bukit Cipaku Indah, Bandung, 5 Oktober 2007.
[2] Koran Tempo, 1 Agustus 2005.
[3] Lihat Alwi Shihab, Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, pengantar dalam buku dengan judul yang sama (Bandung:Nuansa, 2005) h. 16
[4] Shabiin, berdasarkan kitab-kitab tafsir, bisa menunjuk pada berbagai agama selain Islam
[5] Lihat Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan (Jakarta: Serambi, 2006), h. 23
[6] Ibid. h. 29
[7] Ibid., h. 33-34
Tinggalkan Balasan