Puasa Melatih untuk Berbaik Sangka (QS. 49:12)
“Hai orang-orang yang beriman! Jauhilah prasangka sebanyak mungkin; karena sebagian prasangka adalah dosa. Dan janganlah saling memata-matai (mencari-cari kesalahan orang lain), jangan saling menggunjing. Adakah di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tidak, kamu akan merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah. Allah selalu menerima taubat, dan Maha Pengasih.” (QS. 49:12).
Ide dasar ibadah puasa adalah sebagai pelatihan pengendalian diri dari hal-hal yang bersifat lahiriah seperti makan, minum, dan seks yang dapat membatalkan puasa sesuai fiqih formal.
Namun, yang tak kalah pentingnya adalah pengendalian diri dari hal-hal yang bersifat ruhaniah. Hal yang demikian memiliki korelasi positif dengan ibadah puasa, yakni takwa. Dan takwa hanya dapat direfleksikan dalam bentuk sikap-sikap terpuji, seperti mampu mengendalikan diri dari munculnya prasangka buruk terhadap orang lain, dengki, perkataan sis-sia, dan sikap-sikap lain yang merugikan sesama manusia.
Oleh karenanya, melalui ayat di atas, Allah Swt memberikan anjuran agar orang beriman menjauhkan diri dari sikap berprasangka buruk terhadap orang lain. Karena hal itu berpotensi mengarah kepada penghukuman pribadi atau melakukan personal judgement.
Jika kita renungkan, dari pelaksanaan ibadah puasa juga diharapkan akan tumbuh sikap mendahulukan prasangka baik (husnuzhzhann) – dapat disejajarkan dengan prinsip benefit of doupt – sebagai kebalikan dari sikap prasangka buruk (su’uzhzh-ann) yang terlarang.
Sikap mendahulukan prasangka baik terhadap orang lain, pada prinsipnya, merupakan dimensi yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran berpuasa, yang dibuktikan dan diperkuat dengan adanya anjuran Rasulullah Saw berkenaan dengan ibadah puasa.
Dikatakannya, bahwa barang siapa berpuasa tapi tidak dapat mengendalikan diri dari sikap-sikap buruk, yakni dengki atau perkataan kotor (qawl zur), maka tidak ada manfaat baginya untuk menjalankan ibadah puasa.
Dengan demikian, ibadah puasa tidak saja menyangkut masalah pribadi atau personal, tetapi memiliki dimensi social yang tidak bias dipisahkan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Umar ibn Khaththab ra.:
“Banyak orang berpuasa, tetapi dari puasanya ia tidak mendapatkan sesuatu, kecuali rasa lapar dan dahaga.”
Oleh karenanya sepanjang Ramadhan ini seyogyanya kita dapat memanfaatkan secara optimal dengan amalan-amalan ibadah yang tidak hanya memberikan dampak personal, melainkan juga social.
Dengan begitu, ibadah puasa akan menampakkan fungsi maslahah-nya ketika umat Islam yang beriman menjalankan puasa dengan sebenar-benar puasa. Puasa yang tidak hanya bersifat lahiri (menahan lapar dan dahaga), tetapi juga memiliki aspek ruhani/ bathini yang termanifestasikan dalam perilaku social yang positif. Wallahua’lam. [] Ahmad Nurcholish
Tinggalkan Balasan