Bagi kita umat Islam angka 17 memiliki makna tersendiri. Bukan karena merupakan angka keramat, melainkan jumlah dalam angka tersebut mengingatkan kita pada 2 (dua) momentum bersejarah. Pertama adalah momentum 17 Agustus. Kedua, jumlah raka’at dalam shoalat lima waktu.
Pada momentum 17 Agustus, seluruh rakyat negeri ini sama-sama merayakan kemerdekaan. Dengan beragam cara, seluruh warga negara RI, baik yang di dalam negeri maupun yang tengah dalam perantauan di mancanegara merayakan dengan penuh khikmat.
17 Agustus memang bukan angka biasa. Karena 63 tahun lalu para pendiri bangsa ini, tepatnya tahun 1945, yakni Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini. Setelah selama + empat setengah abad lamanya dijajah, akhirnya kemerdekaan itu menjadi milik kita. Ini salah satu karunia besar yang diberikan oleh Allah Swt, yang kemudian ditegaskan dalam preambule UUD 45.
Momentum 17 berikutnya adalah jumlah raka’at dalam sholat lima waktu yang kita kerjakan dalam sehari semalam. Sebagaimana kita ketahui, shalat merupakan kewajiban ”berwaktu” atas kaum beriman (lihat QS. 4: 103). Yaitu, diwajibkan pada waktu-waktu tertentu, dimulai dari dini hari (shubh) 2 rakaat, diteruskan ke siang hari (zhuhr) 4 rakaat, kemudian sore hari (’ashr) 4 rakaat, lalu sesaat setelah terbenam matahari (maghrib) 3 rakaat, dan akhirnya di malam hari (’isya) 4 rakaat. Total lima waktu itu berjumlah 17 raka’at.
Hikmah di balik penentuan waktu itu ialah agar kita jangan sampai lengah dari ingat di waktu pagi, kemudian saat kita istirahat sejenak dari kerja (zhuhr) dan, lebih-lebih lagi, saat kita ”santai” sesudah bekerja (dari ’ashr sampai ’isya). Sebab, justru saat santai itulah biasanya dorongan dalam diri kita untuk mencari kebenaran menjadi lemah, mungkin kita malah tergelincir pada gelimang kesenangan dan kealpaan.
Karena itulah ada pesan Ilahi agar kita menegakkan semua shalat, terutama shalat tengah, yaitu ’ashr (QS. Al-Baqarah/2: 238), dan agar kita mengisi waktu luang untuk bekerja keras mendekati Tuhan (QS. 94: 7 – 8).
Sebagai kewajiban pada hampir setiap saat, shalat, menurut Cak Nur, juga mengisyaratkan bahwa usaha menemukan jalan hidup yang benar juga harus dilakukan setiap saat dan harus dipandang sebagai proses tanpa berhenti.
Oleh karena itu, memang digunakan metafor ”jalan” dan pengertian ”jalan” itu dengan sendirinya terkait erat dengan gerak dinamika. Maka dalam sistem ajaran agama, manusia didorong untuk selalu bergerak secara dinamis sedemikian rupa sehingga seseorang tidak diterima untuk menjadikan keadaannya tertindas di suatu negeri atau tempat.
Dari shalat yang harus dikerjakan sepanjang hayat itu, kita diajari untuk tidak berhenti mencari kebenaran dan tidak kalah oleh situasi yang kebetulan tidak mendukung. Begitu pulalah para pejuang kemerdekaan, mereka tak pernah berhenti berjuang hingga akhirnya pada 17 Agustus 1945 itu berhasil memproklamirkan kemerdekaan, terhindar dari penjajahan. [ ] Ahmad Nurcholish
Tinggalkan Balasan