Selain pemuda sebagai inisiator sekaligus aktor, proses perdamaian
harus dimulai dari rumah ibadah.
Siapa sangka jika kasus “terusirnya” mahasiswa STT Setia Jakarta bermula dari corong speaker mesjid? Hari itu, salah seorang mahasiawa STT melihat tikus di jalanan. Dia iseng, menggunakan sandalnya lalu dilempar ke tikus itu. ’Celakanya’ sandal itu masuk ke pekarangan orang. Sesaat kemudian, sang mahasiawa mengambil sandalnya. Tetapi, tiba-tiba muncul orang dengan berteriak “maling-maling”.
Apa yang terjadi kemudian? Mahasiswa itu digebuki lalu dibawa ke kantor RW dan disandera ia di situ. Beberapa menit kemudian, dari corong mesjid, terdengar: “mari bersama-bersama berjihad mengusir mahasiswa Setia dari kampusnya”.
Cerita ini disampaikan M. Guntur Romli saat menjadi nara sumber Dialog Interaktif ”Pemuda sebagai Penggerak Perdamaian” yang dihelat ICRP bekerjasama dengan CWS Indonesia di kantor YLBHI, Menteng Jakarta, awal (2/8) Agustus lalu.
Cerita itu tak cukup sampai di situ. Fitnah pun disebar, dikabarkan bahwa akan ada penyerangan balik dari mahasiswa Setia terhadap mesjid yang letaknya tidak terlalu jauh dari kampus tersebut. Setelah itu kampus Setia dikepung dua hari, dua malam, dari malam Sabtu ke malam Minggu. Akhirnya mereka dievakuasi, yang mahasiswa tinggal di penampungan.
”Dari fakta itu kita melihat ada permusuhan dan kekerasan yang dimunculkan dari tempat-tempat ibadah. Karenanya, saya mengapresiasi kegiatan kunjungan ke rumah-rumah ibadah yang digelar ICRP dan CWS ini bisa berjalan dengan sangat baik,” ujar Guntur.
Menurut program manager Yayasan Jurnal Perempuan ini, proses perdamaian memang harus muncul dari rumah ibadah. Melalui rumah ibadah, umat dapat berinteraksi satu sama lain, mendengarkan ceramah keagamaan, juga membangun keberagamaan mereka. ”Di sinilah tempat yang sangat efektif, karena di dalam rumah ibadah ada dogma, ada dakwah, ada semacam legitimasi pada umat/ pengikutnya untuk menyakini apa saja,” imbuhnya.
Hanya saja, kata lajang yang pernah belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir ini, kita tidak bisa melihat rumah ibadah hanya dari tataran idealnya saja. Perlu ada semacam dialog, interaksi di antara kita, pengenalan rumah-rumah ibadah dengan berbagai aspeknya, kemudian ada dialog dengan pemuka agamanya. Hal ini dinilai Guntur sangat penting untuk dilakukan.
Pengalaman peserta program, Peace in Diversity menjadi bukti bahwa berkunjung ke rumah ibadah memiliki nilai tersendiri. Tidak hanya mengetahui seluk beluk bangunan fisiknya, filosofi serta sejarah keberadaannya juga mampu memberikan persepsi positif diantara peserta yang beragam agama itu.
Mukhlisin, salah seorang peserta mengemukakan bahwa masing-masing rumah ibadah memunyai ciri khas tersendiri antara satu dengan yang lainnya. Ciri itu meliputi bangunan fisik (arsitektur dan simbol-simbol di dalamnya), maupun kegiatan formal yang dilaksanakan.
Pertanyaan dia, mampukah rumah ibadah bermetamorfosis tidak sebatas indikasi bangsa yang multikultur dan memiliki toleransi yang tinggi, tidak sekedar tempat pulang pergi orang-orang yang ingin menentramkan hati dengan meratapi kesalahan. Ia berharap rumah ibadah mampu memberikan dorongan potensial terciptanya kesalehan sosial.
”Tidak sekedar sakral dengan orientasi vertikal, tetapi peka terhadap kehidupan sosial dengan orientasi horizontal. Dari sinilah kemudian lahir sebuah perdamaian,” tulis Mukhlisin dalam refleksinya.
Mengapa harus dari rumah ibadah?
Untuk memulai prakarsa perdamaian mengapa harus dari rumah ibadah? Menurut Mukhlisin ada dua lasan utama. Pertama, dalam ranah refleksi, tempat ibadah seringkali dijadikan media untuk memperdalam khazanah keilmuan keagamaan. Kedua, dalam ranah refleksi inilah penanaman nilai-nilai inklusif dan toleran dapat ditanamkan kepada umat.
”Selain memperdalam khasanah khusus ajaran agamanya, juga menanamkan agenda semua agama yang ada seperti memerangi kemiskinan, pelestarian lingkungan, pendidikan, dsg,” tuturnya.
Ketiga, dalam ranah aksi, komitmen rumah ibadah dalam merubah keadaan sosial menjadi lebih baik akan mendaopatkan apresiasi yang kemudian dilanjutkan oleh umat. Selain itu, juga akan menepis kecurigaan dan ketakutan di antara umat yang berbeda untuk bekerjasama jika dilakukan antar rumah ibadah.
Keempat, aktivitas yang dilakukan rumah ibadah dianggap mempunyai otoritas dan legalitas, karena masing-masing rumah ibadah dibimbing oleh pemuka agama yang memiliki pemahaman keagamaan yang tinggi, sehingga umat mudah untuk mengikuti langkah-langkah yang diterapkannya.
Dari kunjungan ke rumah ibadah itu ternyata juga mampu memberangus kecurigaan dan stereotipe yang lama terbangun di benak seseorang. Sosam misalnya, peserta asal STT Jakarta ini menganggap bahwa orang-orang beretnis Tionghoa merupakan masyarakat pendatang yang hanya mencari keuntungan untuk dirinya sendiri. Ia juga selalu curiga bahwa orang-orang Tionghoa pasti melakukan kecurangan dalam berbisnis.
Tetapi stereotipe seperti itu diakuinya hilang setelah berkunjung ke Lithang Khongcu Bio di Tangerang dan berdialog dengan para pemuka agama Khonghucu di sana. ”Selama diskusi berlangsung, saya merasa begitu terkesan sekaligus merasa ”tertampar” dengan pemaparan mengenai sejarah perjalanan agama Konghuchu di Indonesia yang disampaikan oleh Xs. Buanajaya,” akunya.
Ia pu menyimpulkan, meski agama Khonghucu sempat tidak diakui sebagai agama resmi di Indonesia selama beberapa puluh tahun, tetapi semangat persatuan untuk membangun bangsa ini tidak pernah hilang dari dalam diri penganut agama Khonghucu. “Meskipun pernah mengalami diskriminasi, tetapi mereka tetap mengaku sebagai bagian dari Bangsa Indonesia,” imbuh Sosam.
Pada saat kunjungan itu (28/7) memang dikatakan oleh Xs. Buanajayabahwa sejak zaman kemerdekaan sampai masa reformasi ini, tidak sedikit warga keturunan Tionghoa beragama Khonghucu yang ikut ambil bagian dalam pembangunan negeri ini. Mereka ikut ambil bagian dalam membangun negeri ini bukan sebagai orang asing, melainkan sebagai anak bangsa. ”Mereka tidak memandang perbedaan ras dan agama sebagai suatu penghalang untuk berkarya membangun bangsa ini,” tandas Xs Bing (pangguilan akrabnya) ketika itu.
Asfinawati sepakat dengan Guntur, Mukhlisin dan Sosam. Bahkan, ia setuju menggunakan kata “kontaminasi” ketika merespon kegiatan kunjungan ke rumah-rumah ibadah itu. “Saya pikir kalau hal itu upaya untuk mengkontaminasi rekan-rekan terhadap wacana pluralisme, kerukunan dan perdamaian menurut saya kata kontaminasi sudah tepat. Sebab ketika berkunjung pasti ada interaksi. Dan interaksi itu akan mengendap dan akan tumbuh sewaktu-waktu menjadi pengalaman tersendiri,” paparnya.
Bagi direktur LBH Jakarta ini, kalau mau mencapai kedamaian sejati, kita tidak bisa saling berdiam diri dan harus berinteraksi. Ia tidak setuju pada pandangan dan pendekatan supaya tidak konflik kita tidak usah berinteraksi. ”Saya pikir itu upaya yang palsu, yang sewaktu-waktu justru bisa menjadi potensi konflik,” katanya.
Menurutnya, perdamaian sejati hanya bisa dicapai lewat interaksi dan dialog. Mungkin pada awalnya bisa saja saling kontra, bahkan konflik. Tetapi, kata dia, itu konflik yang konstruktif. ”Sehingga ketika berantem/konflik kita bisa menemukan pemahaman bersama,” imbuhnya.
Selain itu, kata Asfin, kalau semua agama mengajarkan hal yang baik, seharusnya, semakin banyak agama tidak boleh merasa ada yang terancam. Faktanya, sekarang ada yang merasa terancam. Berarti kita harus jujur, berefleksi, ada apa dengan agama-agama kita. Apakah ada masalah dengan agamanya, atau pemuka agamanya, atau penganut agama, yang menyimpan benci di hati, takut berkompetisi, atau menganggap keberaman adalah kompetisi.
Dalam pandangan Asfin, inilah yang sedang terjadi di Indonesia, karena kemudian masing-masing agama merasa diancam kalau ada agama lainnya. Adanya peraturan bersama 2 menteri yang mengatur pendirian rumah ibadah mengindikasikan hal itu. ”Ini kan menunjukkan bahwa kita ketakutan ada orang yang bisa mendirikan rumah ibadah lebih banyak dari kita,” ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Asfin juga setuju jika prakarsa perdamaian ini dumulai dari generasi muda. Sebab, menurut dia, saat ini kaum muda tengah diragukan potensi dan perannya. Padahal, lanjutnya, para pendiori bangsa ini juga orang-orang muda. ”Soekarno dan Hatta ketika memproklamirkan bangsa ini usianya juga masih muda. Tetapi kenapa anak muda sekarang diremehkan?” tanya Asfin.
Apalagi, Asfin percaya bahwa jejak masa tua sangat ditentukan pada bagaimana jejak seseorang di masa mudanya. Nah, kalau sejak muda mereka sudah mengenal kebhinekaan, memahami pentingnya toleransi, pentingnya perdamaian, maka, di hari tuanya mereka akan menikmati hal itu. ”Inilah yang harus kita siapkan dari sekarang,” ajak Asfin sambil mengaku terkagum-kagum dengan program seperti (peace in diversity) ini, karena membidik hal-hal yang menurutnya sangat menjanjikan, baik dari pemilihan kegiatan maupun mereka yang melakukannya.
Mengelola perbedaan
Sementara itu Anik H. Thohari menguraikan tentang tipe-tipe mengelola perbedaan yang terjadi di masyarakat. Pertama, tipe upaya menjalin kerukunan antarumat beragama dengan mencari persamaan-persamaan. Bagi sebagian orang, menurut direktur pelaksana ICRP, ini menyimpan problem, ”kalau perbedaan-perbedaan diantara kita yang kita sembunyikan, pada saatnya muncul kita bisa pecah (konflik) lagi,” ujarnya.
Kedua, tipe yang mengelola perbedaan dengan menenggang perbedaan itu sendiri yang ujung-ujungnya adalah kita bisa berdebat panjang tentang agama kita masing-masing, tapi tetap sepakat untuk tidak sepakat.
Ketiga, tipe yang sebetulnya banyak kontroversialnya tetapi menurut Anick, bisa menjadi alternatif, yakni dengan merayakan perbedaan di antara kita. ”Misalnya, ketika Asfin merasa kurang sreg dengan ucapan Assalamu’alaikum, sebaliknya saya. Jika ada teman Kristen mengucapkan salam kepada saya, saya merasa bangga. Orang Kristen itu juga bangga bisa mengucapkan Assalamu’aiakum kepada saya yang Muslim. Menurut saya itulah merayakan perbedaan,” tandas Anick.
”Jadi,” imbuh Anick, ”kalau saya bisa mengucap Om swasti astu kepada rekan-rekan Hindu, dan Anda yang Hindu senang menerima itu, inilah merayakan perbedaan,” kata Anick. Baghkan, ia merasa tak harus terkurangi keimanannya dengan mengucapkan itu. Termasuk, kata dia, ketika ia datang pada acara Natal yang digelar umat Kristiani.
Yang terpenting adalah bagaimana komunitas peserta Peace in Diversity Program ini bisa menjadi satu gerakan yang dapat memengaruhi karakter kita di hari tua kelak. Bagaimana kita berpikir supaya inisiatif program semacam ini atau upaya mewujudkan perdamaian bisa meluas di kalangan orang muda. Paling tidak ini bisa menjadi salah satu step/fase perjalanan hidup kita berpartisipasi dalam mewujudkan perdamaian. [ ] Ahmad Nurcholish
Hey Mr. Achmad Nurcholish, kayaknya lo musti buat agama sendiri deh. Jangan lo acak-acak agama orang dong.
AWAS, didunia ini gak ada yang berani tanggung jawab. Kalo lo berani menghadapi akhirat, yah lo atur aja…..
WAH KACAU LO ….. !!
By: King Nothing on September 2, 2008
at 6:35 am
Agama yg mana maksudnya? Buat agama sendiri? Mungkin emang sudah saatnya Bung, setiap kita bikin agama sendiri untuk dirinya sendiri.
sebab, hemat saya, agama yg ada sekarang ini terlalu sedikit jumlahnya untuk seluruh umat manusia yg ada di dunia dgn segala persoalannya. Jadi saatnya buat agama sendiri. Gimana?
Salam
Nur
By: ahmadnurcholish on September 2, 2008
at 8:15 am
Wah sorry Mad, gua udh punya agama. Dan gua gak mau buat agama. Gua bukan tuhan, dan gua gak berani memanipulasi agama.
Kalo lo mau buat, buat aja sendiri. Lo pilih di mall mana yang pantes lo jadiin Tuhan lo. Aturannya, yah LO ATUR AJA MAD…..
Kalo butuh Design Grafis ane bisa, murah aja kalo buat lo.
Bener-bener Sorry, Ane gak segila Ente.
Tapi gua cuma ngingetin doang…….
Jangan Mad, inget kecilan lo dulu, waktu masih ngaji (kalo lo ngaji)
Salam,
Nothing
By: King Nothing on September 4, 2008
at 6:26 am
Emangnya yg bisa bikin agama cuman Tuhan ya. Setahu gue Tuhan gak pernah bikin agama. Dia cuman bikin ajaran-ajaran, aturan-aturan, atau petunjuk utk umat manusia melalui Rasul-rasulnya.
Setahu gue yg kemudian menjadikannya agama itu manusia atau nabi/Rasul. Maka muncullah nama Yahudi, Nasrani, Islam, dll.
Kalau mau paka jasa ente utk dsgn grafis berapa biayanya?
Salam
Nur
By: ahmadnurcholish on September 4, 2008
at 7:10 am
Hehehe….. Trus kalo lo mau buat agama TUHANnya ape/siape ? Udah dapet nyari inspirasinya di MALL ?? Trus ajarannya Siape yang mau ente buat, Ajaran Guru ente ?
O iya, Kalo lo buat agama, lo Mau disebut ape Mad ? Rasul, Nabi, atau Demang, atau Marsose ???
Jg lupa Mad, Agamanya lo kasih Expire Date, biar ikutin trend trus, jadi kagak statis, biar Dinamis & Gaol geto loh..!! Hehehe….
BTW untuk Dsgn Grafis & Programing, tergantung Projectnya.
Okay Mr. Ahmad pake “d”, Nice told to you.
Oya, jgn kencing di got ya Mad. BAU !!! Hehehe…
Jgn marah mad, ini kan kemerdekaan berbicara seperti yang lo kumandangkan dari dulu, iya toh ?! Toleransi, toleransi bro…. (HAHAHA..) !!!
Wasalam
Nothing
By: King Nothing on September 5, 2008
at 8:56 am
King Nothing… sebagai orang yang beragama, tidak terkesan seperti itu dari kata-kata anda..dari cara anda berbicara..
Mungkin anda perlu pelajari lagi apa yang diajarkan oleh agama anda. Setelah itu barulah bicara kepada orang lain, memberikan keteduhan dan kedamaian bagi umat manusia.
Kalau anda bisa seperti itu, saya yakin walaupun anda tidak dijadikan nabi oleh Tuhan.. semua umat manusia akan sepakat mengangkat anda sebagai nabi.. bahkan umat dari agama lain akan tunduk memberikan hormat kepada anda.. dan tidak mustahil, orang-orang akan mengikuti ajaran anda tanpa perlu disuruh.. tanpa perlu dipaksakan..
Salam damai…
wayan
By: Wayan on September 9, 2008
at 10:28 am
Terima kasih atas artikelnya,sangat bermanfaat. Bagi anda yg mau mengiklankan atau menjual rumah, tanah,mobil dll, atau mencari barang-barang kebutuhan rumah tangga baik baru maupun bekas bisa dilihat di http://www.infobarangbekas.com. Sebentar lagi akan muncul terobosan pasang iklan dapat penghasilan tambahan.tunggu saja ya…
By: deni setiawan on September 13, 2008
at 8:58 am
Hehehe….
Sometimes bicara itu harus lugas dan jelas. Saya mengunakan cara bicara dan jenis kata seperti itu, dengan maksud supaya yang saya ajak bicara(si Ahmad) mengerti.
Wah, kalo mas Wayan bicara tentang
” memberikan keteduhan dan kedamaian bagi umat manusia “. justru mas Wayan yang tidak memberikan kedamaian untuk saya dan Ahmad.
Karena mas Wayan itu menghalangi saya untuk membantu Ahmad mewujudkan impiannya Ahmad.
Mas Wayan, apa saya tidak boleh memberi masukan atau ide-ide untuk impiannya Ahmad ?
Liat semua obrolan kami, peacefully. Jadi tolong jangan nodai perdamaian ini dengan cara memprovokasi kami.
Tanpa perlu paksaan ??? Paksaan yang mana ????? TOLONG JANGAN dibuat-buat dong…. Aduh… !!!
Ada pepatah ” Lidah itu lebih tajam dari mata pisau ”
Thx, Just remaind you,
King Nothing
By: King Nothing on September 15, 2008
at 6:58 am
selamat hari lebaran. minal aidin wal faizin maaf lahir dan batin
By: myrazano on September 30, 2008
at 8:27 pm