Shalat adalah mikrajnya orang beriman. Demikian hadits Nabi Saw. mengatakan. Sejenis dengan sidratu al-muntaha yang menjadi mikrajnya Nabi Muhammad saw. Sidratu al-muntaha adalah lambang kearifan (wisdom) tertinggi. Umat Islam sebagai umat para Nabi, diberi kesempatan bermikraj melalui shalat. Kita bertemu dengan Allah Swt. melalui bacaan-bacaan shalat. Ketika kita membaca al-Fatihah misalnya, kita memohon dengan tulus agar ditunjukkan jalan yang benar.
Dalam khasanah kaum sufi, dikatakan bahwa shalat adalah mati dalam hidup. Ketika shalat, sepettinya kita mati. Shalat berdimensi vertikal. Tidak ada lagi dimensi horizontal sesama manusia; yang ada ialah dimensi vertikal antara kita dengan Sang Khaliq. Kesadaran ini biasanya kita kondisikan dengan membaca do’a iftitah (pembukaan), yaitu, ”inni wajjahtu wajhiya lilladzi fathara al-samawati wa al-ardli (sesungguhnya aku sedang menghadap wajahku kepada Dia yang telah menciptakan langit dan bumi).”
Seluruh bacaan dan tindakan dalam shalat, menurut Nurcholish Madjid (2006:3018) dirancang untuk menegaskan kesadaran lebih tinggi bahwa kita dalam situasi menghadap Tuhan. Maka, dengan sendirinya, shalat itu harus penuh konsentrasi (khusyuk). Dari segi tasawuf, shalat yang tidak khusyuk akan muspra (sia-sia) atau hambar karena shalat tidak ada artinya kalau tidak terjadi kontak intim (qarib dan taqarrub) dengan Allah Swt.
Orang yang sedang melakukan shalat hendaknya menyadari sedalam-dalamnya akan posisinya sebagai makhluk yang menghadap Khaliqnya dengan penuh keharuan, kesyahduan, dan kekhusyukan. Sedapat mungkin ia menghayati kehadirannya di hadapan Sang Maha Pencipta itu sedemikian rupa sehingga ia ”melihat Khaliknya”: dan kalaupun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus menginsyafi sedalam-dalamnya bahwa ”Khaliknya melihat dia”, sesuai dengan makna ihsan seperti dijelaskan Nabi dalam haditsnya.
Shalat kemudian diakhiri dengan salam. Salam adalah lambang pembukaan kembali dimensi horizontal hidup kita. Ucapan salam itu kita pertegas dengan menengok ke kanan dan ke kiri. Ini merupakan simbolisasi yang kira-kira tafsirannya ialah bahwa kalau ita memang mengaku pernah berhubungan baik dengan Allah Swt dalam shalat, maka kita diminta untuk membuktikan hubunganbaik itu dengan sesama manusia.
Selesai shalat seolah-olah Allah mengingatkan, ”Baiklah kamu sudah selesai shalat menghadap Aku. Sekarang pergi kamu bekerja. Tapi ucapkan salam. Perlihatkan bahwa kamu punya perhatian kepada sesama manusia. Jangan hidup sendirian. Di sebelah kanan dan kirimu ada orang yang perlu perlindungan.” jadi hablun minallah dan hablun min al-nas tidak bisa dipisahkan.
Agama akan menjadi kosong apabila kita hanya menempuh kesalehan formal, yakni kesalehan yang tidak terhayati dan tidak terwujud dalam hidup nyata. Karenanya sudah saatnya kita tidak hanya shalat formal sebagai ritual agama semata, tetapi juga shalat sosial yang berdimensi horizontal untuk sesama manusia [ ] Ahmad Nurcholish
Tulisan mas Nur ini teramat sangat “menyentil” kuping saya.
Saya terharu dan menangis bacanya (untung kantor lg sepi, mewek gpp lahh…)
Terima kasih atas tulisannya mas Nur.
Saya berharap hubungan saya denganNya akan lebih terjalin lagi.Semoga shalat saya tidak bolong2 lagi.
Kalau ditanya kenapa shalat saya bolong, di hati kecil saya ada rasa kecewa.Melihat kondisi ortu yg tiap saat shalat, ikut pengajian, dll tetapi tiap hari tidak pernah akur, Ibu selalu mencaci ayah & ayah hanya diam..sedih sekali rasanya.Belum lagi banyaknya masalah yg saya hadapi saat awal pernikahan (suami terkena stroke saat tahun ke-3 pernikahan saya), belum lagi lingkungan yg selalu mengejek karena kebelum hadiran seorang bayi ditengah keluarga saya.Tidak terasa kekecewaan itu menumpuk..
Saya sangat berdosa, melampiaskan kekecewaan pada Allah SWT, melupakan shalat dan saya mengetahui itu.Dan tulisan mas Nur ini teramat sangat menyentuh saya.Semoga Allah mengampuni dosa2 saya.
Terima kasih mas Nur..
(maaf kalau sedikit curhat)
Wassalam,
Ria-Solo
By: Ria on Agustus 20, 2010
at 3:53 am