“Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. 49:13)
Ayat di atas secara gamblang mendeskripsikan proses kejadian manusia. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari pasangan laki-laki dan perempuan. Kemudia dari pasangan tersebut lahir pasangan-pasangan lainnya.
Dengan demikian, pada hakekatnya, manusia itu adalah “satu keluarga”. Proses penciptaan yang “seragam” itu merupakan bukti bahwa pada dasarnya semua manusia adalah sama. Karena itu, manusia memiliki kedudukan yang sama.
Di dalam al-Qur’an ada sejumlah ayat yang juga menjelaskan persamaan antarmanusia, seperti surat al-Nisaa’/4:1, al-A’raf/7:189, al-Ztmar/39:6, Fathir/35:11, dan al-Mu’min/40:67.
Ayat-ayat itu, sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Husayn al-Thbathaba’I dalam tafsirnya al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an (Jilid VI, h. 134-135), pada pokoknya hendak menjelaskan bahwa dari segi hakikat penciptaan, antara manusia yang satu dan manusia lainnya tidak ada perbedaan. Mereka semua sama, dari asal kejadian yang sama, yaitu dari tanah, dari diri yang satu, yakni Adam yang diciptakan dari tanah. Karena itu, tidak ada kelebihan seorang individu atas individu lainnya. Karena asal-usul kejadian manusia seluruhnya adalah sama. Oleh karenanya tidak layak seseorang atau satu golongan menyombongkan diri terhadap yang lain atau menghina yang lain.
Prinsip persamaan antarmanusia ini juga dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam berbagai haditsnya, seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad dan juga sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Majah.
Lantas apakah yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya? Ayat di atas langsung menjawab bahwa yang membedakan antara orang satu dengan yang lainnya adalah taqwanya. Artinya Allah tidak membedakan berdasarkan nasab (keturunan), warna kulit, suku atau bangsa, maupun tampang yang dimiliki oleh seseorang.
Muncul pertanyaan, apakah prinsip persamaan yang dibawa Islam tersebut dengan paham persamaan (egalitarianisme) yang selalu didengungkan di Barat dewasa ini? Terhadap pertanyaan ini Muhammad Husein Haykal dengan tegas menyatakan bahwa paham persamaan yang dibawa Islam sangat berbeda dengan paham persamaan yang sering ditonjolkan dalam peradaban Barat.
Persamaan yang diajarkan Islam adalah persamaan dalam bentuk yang paling hakiki dan sempurna. Islam mengajarkan bahwa semua manusia dari segi harkat dan martabatnya adalah sama di hadapan Tuhan. Tidak ada perbedaan antara manusia yang satu dan lainnya kecuali dalam taqwanya kepada Tuhan. (Haikal, al-Faruq ‘Umar, h. 11-12. Juga Haikal, Hayah Muhammad, h. 416, lihat juga Musdah Mulia, Negara Islam, h. 96-97).
Adapun persamaan di Barat, tegas Haikal, hanya mengajarkan persamaan di hadapan hukum yang tidak lain adalah buatan manusia sendiri. Paham ini di Barat muncul sebagai akibat dari Revolusi Prancis (1789). Cita-cita kemanusiaan yang amat ditonjolkan dalam revolusi ini adalah kebebasan, persamaan, dan persaudaraan (liberte, egalite, fraternite). Aplikasi terpenting dari cita-cita tersebeut menurut Musdah adalah timbulnya system politik demokratis. [ ] Ahmad Nurcholish
Tinggalkan Balasan