Oleh: ahmadnurcholish | Agustus 25, 2008

Tragedi Monas dalam Media Kita (Bag. II)

Pembiaran media

Jika menelisik ke belakang,  sebelum tragedi 1 Juni terjadi sebetulnya  kita sudah bisa menduga akan terjadi sesuatu. Menurut Ade Armando, karena antara lain, waktu itu, konteksnya, permintaan terus menerus kepada pemerintah agar mengeluarkan SKB Tiga Menteri tentang pelarangan Ahmadiyah segera diwujudkan. Ketika itu juga, kata Ade, sudah ada pidato-pidato penuh kebencian yang disampaikan oleh Sobri Lubis Sekjen Front Pembela Islam. ”Kami ada rekamannya,” tuturnya.

 

Ceramah Sekjen FPI tersebut disampaikan  dalam Tabliq Akbar di Banjar, Jawa Barat pada 14 Februari 2008 yang bernada ancaman. Dalam ceramah itu, Sobri menyebut akan membunuh jemaat Ahmadiyah. “Bunuh pengikut Ahmadiyah. Hapuskan pengikut Ahmadiyah. Masa bodoh dengan HAM. Kalau ada apa-apa, saya yang bertanggung jawab. Bilang saya yang tanggung jawab,” kata Sobri dalam ceramahnya. Rekaman kamera itu pun pernah dipertunjukkan  oleh 3 Jemaat Ahmadiyah, yakni Humas Jemaat Ahmadiyah Indonesia Anwar Said, dan 2 orang lainnya di Kantor Komnas HAM, Jakarta, akhir Februari (26/2) lalu.

 

Selain Sobri Lubis ada lagi pernyataan Sekjen Forum Umat Islam Muhammad  Al-Khatath di forum yang sama, dengan cara yang lebih lunak, namun tidak kalah pedasnya. Dari situ, menurut Ade, sebenarnya kita sudah bisa menduga kalau akan terjadi sesuatu. ”Dan media tahu juga soal itu. Media sudah punya rekamannya. Tapi ketika itu, orang semua serba gamang,” papar Ade. Media pun, lanjut Ade enggan memberitakannya, dengan berbagai alasan dan pertimbangan.

 

Nah, kalau media tahu tentang hal itu, tetapi tidak memberitakan, berarti, kata Ade, dia membiarkan sesuatu yang terjadi tetapi tidak diberiatakan ke publik. ”Nah, ketika 1 Juni meledak, mayoritas penonton bingung. Sebenarnya ada apa sih. Kenapa FPI tiba-tiba nyerang? Jangan-jangan memang diprovokasi, jangan-jangan…..,” tutur Ade tidak melanjutkan kalimatnya.

 

Ada media, ada masyarakat. Proposisi masyarakat hanya tahu sesuatu jika diberitakan oleh media massa. Oleh karenanya media selalu dianggap sebagai institusi sangat penting dalam demokrasi. Karenanya pula, banyak orang yang bersedia mati untuk itu. Kita belum lupa kasus wartawan Bernas Udin yang harus mati untuk mempertahankan kepercayaan dia tentang kemerdekaan pers. ”Org semua memperjuangkan itu, karena org berharap media massa memberitakan secara benar, bukan secara sensasional, bukan pula untuk mengkompori,” tandas Ade.

 

Ketika media enggan, merasa takut, merasa tidak nyaman, dan tidak memberitakannya, maka yang  terjadi adalah akumulasi masalah. Yang terjadi kemudian meledak tanpa bisa dicegah seperti  di Bosnia, Jerman, Poso, Ambon, dll. Sesuatu dibiarkan terus, kebencian itu tumbuh terus, tidak ada yang mengatakan Anda salah, tidak ada yang mengingkatkan sesuatu sedang terjadi. ”Ketika itu benar-benar terjadi maka suatu saat meledak. Ketika meledak boleh jadi media massa baru sadar bahwa hal ini sesuatu yang serius,” papar Ade berteori .

 

Menurut Ade,  yang terjadi pada pemberitaan pra tragedi 1 Juni adalah media enggan, atau takut, entah karena alasan idiologis, bisnis, kemudian tidak memberitakannya. Atau memberitakannya tetapi dengan sangat minimal, sehingga orang tidak tahu apa sesungguhnya yang terjadi.

 

Soal kehati-hatian media massa dibenarkan oleh Muhammad Guntur Romli. Salah seorang yang menjadi korban tragedi Monas ini punya pengalaman sendiri. Ia pernah menulis di Bentara Kompas tentang sejarah Nabi Muhammad yang mengungkapkan ada keturunan Kristen pada diri Muhammad. Termasuk Khadijah sendiri, kata Guntur,  dalam beberapa literatur dikatan Kristen.

 

Setelah tulisan itu dimuat  ada reaksi dari sekelompok orang Islam yang protes.  Aktivis jaringan Islam Liberal (JIL) inipun diminta datang ke Kompas. ”Saya berbincang-bincang dengan awak redaksi Kompas termasuk dengan wapemrednya. Mereka bilang, setelah membaca tulisan saya, dari sisi isi tidak ada masalah. Argumentasinya kuat, literaturnya juga jelas. Yang jadi persoalan, identitas saya menggunakan JIL. Jadi ada ketakutan dengan identitas itu,” tutur Guntur.

 

Pernah juga, identitas dia sebagai aktivis JIL diganti dengan alumnus Univ. Al-Azhar, Kairo,  Mesir. ”Padahal saya kan belum lulus. Teman-teman saya di Mesir protes. “Kamu ini ngaku-ngaku alumni,” kata Guntur.

 

Kehati-hatian media massa ini tak dibantah oleh Andy Budiman. Ia justru mengingatkan bahwa media massa bukan lembaga berita semata. Ia jga merupakan institusi bisnis yang harus mendatangkan keuntungan finansial. Pada level inilah yang membuat media massa, dalam masalah tertentu, harus bersikap hati-hati, ”disamping soal ”perpecahan” diantara awak media sendiri tentang kasus-kasus yang terkait dengan masalah agama,” kata Andy.

 

Tetapi, uniknya lagi, imbuh Andy, sejumlah media massa Islam menempatkan Munarman dan Riziq Shihab sebagai pahlawan. Mereka, kata Andy, dianggap berjuang bagi Islam karena memerangi pembela Ahmadiyah. Salah satu situs Islam terkenal bahkan memuat artikel yang mengajak orang tua agar membawa anak-anaknya ke markas Polda Metro Jaya, untuk menjenguk Munarman dan Riziq Shihab. ”Tujuannya agar mereka makin mengenal dan mencintai pahlawan Islam, kata Andy.

 

Ironinya lagi, imbuh Andy, ada juga wartawan-wartawan Islam, ketika usai mewancara kedua tokoh tersebut, mereka berfoto bersama untuk diabadikan sebagai kenangan. ”Mereka merasa bangga bisa dekat dengan pahlawan Islam,” ujar Andy melihat polah tingkah rekan-rekannya sesama wartawan.

 

Kembali pada porsinya

Terkait dengan peran media massa, Ade mengingatkan, media massa memang perannya adalah sebagai lembaga yang seharusnya bersikap netral dan menyiarkan segalanya secara obyektif. Tidak berpihak, ”artinya hany berpihak pada kebenaran,” tandas Ade. Ada pihak yang berseteru, kata Ade, maka kewajiban media adalah menyampaikannya ke publik,  ada perseteruan, dan menjelaskan apa yang menjadi penyebabnya.

 

Jadi, menurut Ade Armando, media massa kita memang mempunyai persoalan besar di Indonesia saat ini, dalam konteks berperan atau tidaknya media massa dalam mencegah kemungkinan-kemungkinan konflik antar agama atau dalam agama yang sering terjadi.  ”Apa yang terjadi di kampus STT Setia, Kampung Pulau, Makassar, Jakarta Timur adalah salah satu kasus yang tak terekam baik oleh media,” Ade menyontohkan.

 

Stara institute misalnya, pada awal tahun 2008 ini  melaporkan bahwa dalam setahun terakhir, yakni 2007 ada 27 kasus penyerangan/ perusakan gereja atau tempat ibadah. Dan tidak banyak orang yang tahu soal itu. Kenapa? Karena media massa kita tak ada yang meliputnya. Mungkin meliputnya, tetapi karena alasan-alasan tertentu, memilih untuk tidak memberitakannya.

 

Sebelumnya, Kadiv Penum Mabes Polri Bambang Kuncoko meminta,  seharusnya media massa tidak langsung memberitakan atas satu kasus ke publik. ”Saya setuju sekali,” sambut Ade rmando. Menurut analis media ini, media massa perlu berhati-hati dalam meberitakan suatu kasus. ”Jangan sampai mengambil kesimpulan-kesimpulan  yang bikin panas suasana,” katanya.

 

Tetapi, imbuh Ade,  itu berbeda sekali dengan pernyataan kalau media massa sebaiknya tidak memberitakannya. ”Saya bertentangan degan pendapat itu. Dan saya yakin kepolisian juga tidak ingin seperti itu juga,” katanya lagi.  Bahwa harus berhati-hati,  tidak sensasional, menurut Ade, itu betul.

 

”Saya setuju. Tetapi konflik harus diberitakan secara benar, secara kontekstual. Karena kalau tidak diberitakan, percayalah, konflik akan terus menerus menumpuk  di negara ini, dan pada satu titik tertentu kita tidak lagi bisa mengendalikannya. Kali ini Ahmadiyah yang jadi korban, kali lain, bisa jadi kantor ini, atau kantor Anda,” tandas Ade mengingatkan.

 

Karenanya, harap Andy Budiman, kalangan atau aktivis keagamaan modrat perlu masuk di sejumlah media agar turut mewarnai media massa kita menjadi media massa yang bernas, proporsional, profesional sesuai kode etik jurnalistik dan harapan masyarakat pembacanya.

 

Pada akhirnya, kita menyaksikan sesuatu yang dinamis dan terus berubah dalam pemberitaan media mengenai tragedi Monas. Bagaimanapun, kata Andy Budiman, itu terjadi karena pertanrungan ideologis di dalam newsroom memang belum selesai (atau tak akan pernah selesai). Newsroom, kata dia, ibarat miniatur Indonesia: yang islamis harus hidup berdampingan dan berdebat dengan yang sekular. ”Dan kita masih akan menyaksikan perdebatan yang sama di masa depan,” pungkas Andy mengakhiri diskusi siang itu. [ ] Ahmad Nurcholish

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Kategori

%d blogger menyukai ini: