Peristiwa boleh sama. Tetapi berita dan opini boleh berbeda. Inilah yang terjadi atas tragedi 1 Juni di Silang Monas. Bercampurnya berita dengan opini jurnalisnya pun tak terhindarkan. Mengapa demikian?
Meski banyak orang mengatakan ”the camera never lies”, faktanya, peristiwa penyerbuan terhadap massa AKKBB oleh massa Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Pembela Islam (LKI) pada 1 Juni 2008 lalu merupakan peristiwa yang paling banyak menyedot perhatian media massa, terutama televisi.
Nyaris semua stasiun televisi ketika itu menyiarkan gambar yang sama berulang-ulang kurang lebih dalam waktu sepekan. Yang membedakan adalah framing berita, entah itu lewat labelisasi maupun kutipan dari para aktor yang berseberangan yakni Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) atau FPI/LKI beserta pendukung dan simpatisannya.
Begitu pula dengan media cetak. Judul dan penempatan berita juga tak setali tiga uang alias berbeda. Diantara media yang menempatkan di halaman depan (2/6) adalah ”Kebhinekaan Dicederai” (Kompas), “Tindak Kekerasan – Aksi FPI Dinilai Coreng Islam” (Media Indonesia), “Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban” (Republika), “Massa Ngamuk di Silang Monas” (Warta Kota), “Bubarkan FPI” (Koran Tempo), “Hard Liners ambush Monas rally” (The Jakarta Post), “Mobil Dirusak, 29 Korban Luka-Luka – Massa FPI Serang Demo AKKBB” (Pos Kota), “Tindak FPI, Menteri Maju Mundur” (Jawa Pos).
Dalam soal labelisasi misalnya, kelompok AKKBB direduksi sebagai pembela Ahmadiyah. Persepsi yang hendak dibangun lewat labelisasi ini bisa jadi adalah, AKKBB sebagai pembela aliran sesat. Padahal, AKKBB ”hanya” membela hak-hak mereka sebagai warga negara yang dilindungi konstitusi negara.
Bahkan pula, tragedi Monas dinilai sebagai salah satu isu paling sensitif di ruang redaksi. ”Tak ada yang bisa membuat ”ketegangan” tersendiri di ruang redaksi sebagaimana peristiwa Monas,” ujar wartawan SCTV Andi Budiman.
Menurut koordinator liputan Liputan6 SCTV ini, perbedaan pandangan dalam soal politik maupun ekonomi bisa diselesaikan dengan elatif rileks, ”tapi tidak untuk peristiwa Monas,” tuturnya saat menjadi pembicara dalam Diskusi Publik ”Tragedi Monas: Liputan Media Massa” di Pusat Studi Islam Paramadina Jakarta akhir (29/7) Juli lalu.
Ia mengaku, sebagai wartawan yang sudah malang melintang selama 12 tahun, merasa isu Monas merupakan salah satu isu paling sensitif ketika masuk sidang redaksi. Ketika mulai dibahas, kata dia, semua awak redaksi langsung mengambil posisi merentangkan kaki dan kelihatan dari gestur mereka, tegang!.
Produser Topik Minggu Ini SCTV ini juga menuturkan bahwa sikap masing-masing awak redaksi juga terbelah. Misalnya ada yang melihat bahwa tragedi Monas dipicu oleh FPI. Ada juga yang melihat, atau mencoba melihat dengan kacamata lain. ”Misalnya karena adanya provokasi dari AKKBB melalui iklan koran yang mereka muat beberapa hari sebelumnya,” kata Andy. ”Bahasanya persis seperti yang dibangun oleh kelompok FPI, dkk,” imbuhnya.
Selain itu, lanjut Andy, ada juga yang mengambil posisi tengah-tengah, sambil mengajak rekan-rekan jurnalis lainnya untuk harus melihat akar masalahnya. ”Akar masalah dari ini semua ini adalah Ahmadiyah,” tandas Andy menirukan salah seorang rekannya di ruang redaksi. Dan Ahmadiyah, kata Andy, dalam persepsi beberapa wartawan sebagai aliran sesat. Ini terjadi karena wartawan tersebut menggunakan preferensi ideologi tertentu dalam men-judgtment isu tersebut.
Bahasa media
Dalam analisis Andy Budiman, pada peristiwa Monas, bahasa juga menjadi arena pertarungan yang terekam lewat media massa. Sejumlah media, terutama yang agak berhaluan Islam, kata dia, menggunakan kata ”bentrok” bukan ”penyerbuan”. Lihat saja judul yang digunakan Republika, “Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban”. Media ’islamis’ ini sengaja (?) menggunakan kata ”bentrokan”.
”Buat saya itu persoalan serius,” timpal Ade Armando mengomentari judul tersebut. Pertama, kata Ade, itu bukan bentrokan, tetapi penyerangan. Menurut pengajar Komunikasi FISIP UI ini, bentrokan terjadi jika ada dua pihak sama-sama bergerak di titik yang sama, lalu saling menyerang. ”Bentrokan antara siapa?” tanya Ade kemudian.
Kalimat ”… Akibat Pemerintah Lamban” juga turut dipersoalkan pemimpin redaksi Madina ini. Menurutnya, dengan judul seperti itu, yang menyerang bebas dari judul itu. ”Yang salah SBY, kira-kira begitulah,” lanjut Ade Armando. Dari judul itu fakta tentang adanya sekelompok orang, dalam hal ini aktivis dan simpatisan AKKBB diserang tidak ada.
Judul yang digunakan Warta Kota: ”Massa Ngamuk di Silang Monas” juga dipersoalkan Ade. Massa? ”Massa itu kumpulan manusia yang nggak punya identitas jelas. Nah, di Monas itu bukan ngamuk, tetapi menyerang,” komentar Ade prihatin sekaligus heran.
Dalam kasus insiden Monas, tutur Andy Budiman lagi, sejumlah istilah juga dipertentangkan. Misalnya: ”Penyerbuan vs Mempertahankan aqidah”; ”Hukum vs Syari’ah”; ”Hak Asasi Manusia vs Hak Allah”; ”Sekulerisme vs Islamisme”; dan ”Pancasila dan Konstitusi vs Al-Qur’an”.
Akibatnya, kata Andy, perdebatan yang terekam lewat media massa seolah tragedi Menara Babel. ”Semua orang bicara dengan bahasa masing-masing, tapi satu sama lain tak pernah bisa saling mengerti,” ujarnya.
Tak hanya itu, ada sejumlah media yang nampak enggan memberitakan tragedi Monas 1 Juni itu. Kalau toh mereka berani, nampak mengunakan bahasa yang terkesan hati-hati. Lihat saja Kompas. Harian nasional beroplah besar ini menulis di headline-nya ”Kebhinekaan Dicederai”. ”Siapa yang paham bahwa ada sesuatu yang serius kalau judulnya seperti itu,” papar Ade Armando. Dari judul itu, imbuh Ade, juga tidak terdeteksi siapa pelakunya.
Selain itu, dalam kasus Monas, wartawan dinilai Andy Budiman telah terjebak, karena hanya menelan mentah-mentah apa yang dikatakan sumber berita. Dalam standar profesional seorang jurnaslis, kata Andy, seharusnya wartawan menggunakan acuan hidup bersama dalam masyarakat, yakni konstitusi dan hukum. ”Tapi, itu semua sengaja diabaikan. Saya menduga, preferensi ideologis menjadi alasan utama bagi mereka yang mengabaikan standar profesional tadi,” terang Andy.
Soal keterjebakan wartawan itu dikritik pula oleh Bambang Kuncoko. Menurut Kepala Divisi Penerangan Umum Mabes Polri ini, seharusnya wartawan tidak menelan mentah-mentah apa yang merekja saksikan. Begitu pula dengan komentar-komentar yang disampaikan oleh narasumber. ”Harus melakukan kroscek benar tidaknya,” pintanya.
Wartawan, pinta Bambang, seharusnya juga tidak hanya mengejar deadline dan rating yang kemudian mengabaikan ranah-ranah seperti menjaga praduga tak bersalah, menjaga keseimbangan, dll. ”Di sinilah antara polisi dan media massa kerap dihantam pada justifikasi privasi,” kata Komisaris Besar Polisi ini.
Misalnya dalam soal penyebutan nama, ketika polisi baru menyebutkan inisial,media sudah langsung menyebut nama lengkapnya. ”Sering hal seperti ini berdampak pada polisi, di mana yang bersangkutan memaki-maki polisi. Padahal yang menyebut nama lengkap kan jurnalisnya,” ujar Bambang.
Bambang juga berharap hendaknya media dan polisi bermitra utk mengungkap suatu fakta dan jangan melanggar kode etik serta norma-norma yang ada. Karena, menurut Bambang, polisi selalu bekerja pada rel hukum. Ia juga mengingatkan perlu adanya komunikasi dan sharing antara korban, masyarakat dan media. ”Karena kasus apapun jika diawali dengan komunikasi efektif dan selalu positive thingking insya Allah akan terungkap dengan baik,” pintanya.
Dalam bekerja, imbuh Bambang, polisi harus menjaga jarak dengan pers. Tidak semua hal bisa disampaikan lepada wartawan, ”karena saya dibatasi oleh KUHAP yang tidak boleh mengekspos hal-hal yang tidak perlu. Sering ini tidak dipahami oleh pers,” katanya prihatin. [ ] Ahmad Nurcholish
Bersambung…
Tinggalkan Balasan