Meski dinilai meresahkan, pembubaran FPI bukan jalan keluar.
Sepak terjangnya dinilai tidak hanya meresahkan, tetapi juga merugikan banyak orang dan kelompok masyarakat, terutama bagi pengelola tempat hiburan malam dan pedagang miras. Namun, jika dibubarkan juga bujkan jalan keluar yang terbaik.
“Pembubaran tidak efektif, karena FPI memiliki basis dukungan internal dan massanya sangat fanatik,” kata Andri Rosadi, saat memaparkan buku karangannya di acara ‘Bedah Buku Hitam Putih FPI’, di gedung GATRA, Jakarta, medium (14/8) Agustus lalu. Buku itu sendiri merupakan adapdasi dari tesis S-2nya di Universitas Gajah Mada Yogyakarta tahun 2006 silam.
Seandainya FPI dibubarkan, kata alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir ini, hal itu juga tidak akan mengurangi radikalisme gerakan Islam garis keras. “FPI akan muncul kembali dengan memakai nama yang lain, tapi dengan pengurus dan anggota yang sama,” tuturnya.
Ketegasan aparat, menurut Andri, jauh lebih berpengaruh dalam hal ini. ”Terbukti, selama Rizieq dipenjara dalam kasus pelecehan institusi kepolisian, gerakan FPI jauh lebih ”sejuk” dengan orientasi yang lebih banyak ke bidang pengajian,” tulis Andri di bukunya.
Daripada berbicara mengenai pembubaran FPI, imbuh Andri, ”saya lebih tertarik untuk memahami bagaimana pola relasi, reproduksi nilai, dan relasi kuasaberlangsung di dalamnya. Dan pada saat yang sama, mengungkap sejauh mana identifikasi mereka dengan Islam,” tandasnya.
Di sisi lain, Andri menyatakan, langkah FPI kerap berbenturan dengan kelompok lain karena terjadi benturan hukum positif dan hukum fiqih yang diyakini FPI. Ormas itu, menurutnya, tidak pernah sepenuhnya memahami adanya keberatan dan keprihatinan dari kalangan Muslim lain terhadap aksi-aksi mereka yang selalu mengatasnamakan Islam. Hal inilah yang dinilainya sebagai cara lain Islamisme yang cenderung memonopoli makna dan kebenaran.
Dalam kesempatan yang sama, Yudhi Latif menilai lahirnya FPI (Front Pembela Islam) sebenarnya akibat dari pemerintahan yang tak memiliki otoritas. Hal inilah yang kemudian membuat FPI mengambilalih ketidaktegasan hukum lewat jalannya sendiri.
“Demokrasi tanpa otoritas melahirkan anarki. FPI harus dibaca dan dipandang simtomatik dan patologi masyarakat karena ketiadaan otoritas. Sehingga mengakibatkan demokrasi yang ambruk,” papar peneliti LIPI ini.
Posisi Habib Rizieq Shihab sebagai Ketua Umum FPI, menurutnya, cukup baik karena mampu membangun aliansi strategis. Sebab, FPI merupakan lembaga eksternal dan internal di dalam kekuasaan. Agar FPI bisa bertahan dalam gerakan, Yudi mengajukan dua syarat.
Pertama, dengan membangun resources mobilization (mobilisasi sumber), seperti jaringan pengajian, jaringan persaudaraan, dan jaringan ulama yang lebih mapan.
Kedua, perlu ada pendekatan personal biography. “Contohnya, pendekatan motivasi agar orang tertarik dengan FPI. Ada juga pendekatan kognitif, berupa ide fiqih dan tauhid. Sehingga FPI lahir dari individu yang merupakan sumber identitas diri,” tandasnya.
Mengenai sepak terjang FPI dinilai selalu melakukan tindakan kekerasan dalam setiap aksi-aksinya, pengamat politik ini menyatakan FPI harus merubah haluan gerakannya. Yudi menilai gerakan kekerasan yang dilakukan selama ini oleh FPI tidak akan bertahan lama. Apalagi, aksi kekerasan FPI memuncak ketika kerusuhan di Monas, yang berakibat sejumlah orang luka-luka dan menyeret Habib Rizieq dan Panglima Laskar Islam Munarman masuk bui.dalam analisis Yudhi, selama ini sejarah membuktikan ormas-ormas yang menanamkan pemaksaan kekerasan hanya bertahan satu generasi dan setelah itu lenyap. Yudhi menyarankan FPI harus melakukan pendekatan cultural, persuasi dan aksi simpatik.
Secara keseluruhan, buku setebal 237 halaman ini banyak memeberikan informasi dan data menarik tentang FPI. Andri, alumni pondok pesantren modern Gontor ini tidak hanya menyajikan profile gerakan FPI, bagaimana pola rekrutmen anggota laskar dan perluasan jaringan, tetapi juga menyingkap adanya friksi dan intrik di tubuh FPI.
Hanya saja, meski mengaku dua bulan ia mengikuti secara intensif pengajian Rizieq Shihab di markas FPI di Petamburan, Jakarta Barat, Andri tak pernah berhasil mewancarai pimpinan FPI tersebut. Hal inilah yang kemudian menuai kritik dari aktivis FPI dan pendukungnya.
Andri dinilai tidak menggunakan pendekatan ilmiah dalam menyusun karyaya itu. “Buku itu harus dibuang ke sampah” kata Habib Muhsin Alatas dengan nada tinggi. Ketua Dewan Syuro DPP FPI ini menilai, penulisan buku itu tidak memakai pendekatan ilmiah.
Selain itu, ia menilai sang penulis buku tidak menggunakan bahasa secara baik dan netral, sehingga hal tersebut berpotensi memunculkan sesuatu yang tidak bagus.
“Buku tersebut harus dicabut dari pasaran untuk diperbaiki dan bisa dipertanggungjawabkan secara publik,” tandasnya.
Menanggapi permintaan itu, Andri menyerahkannya kepada pembaca untuk menilai karya terbarunya itu. Sebagai penulis, kata dia, sudah berusaha seobyektif mungkin untuk menjelaskan apa dan bagaimana FPI secara berimbang. ”Saya juga banyak mengungkap sisi humanis dari FPI. Misalnya tetang pengiriman 1300 sukarelawan ke Aceh saat terjadi bencana tsunami. Hasilnya, lebih dari 30.000 mayat berhasil mereka evakuasi,” papar Andri. [ ] Ahmad Nurcholish
Wah jangan dibubarkan dong. kan itu namanya mematikan sumber pendapatan orang yang cari rejeki. paling tidak FPI sudah mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia. Ayo lihat sisi lain FPI mereka telah membantu pemerintah dalam pengentasan kemiskinan.
salam
By: fangky on Agustus 22, 2008
at 11:13 am