Kehadiran jurnaslisme warga (citizen journalism) banyak positifnya. Tapi perlu pembinaan agar membuahkan karya pers yang bermutu dan bertanggungjawab.
Sejumlah praktisi media menyambut baik aktifnya warga yang berpartisipasi menyampaikan beragam informasi melalui media, baik cetak maupun elektronik. Kehadiran mereka, dapat menjadi pemicu bagi jurnalis profesional untuk memroduksi informasi yang berkualitas.
Karenanya, beberapa media, lokal maupun nasional, cetak maupun elektronik (terutama yang berbasis internet) telah membuka ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan informasi. Sebut saja: KOMPAS.com dan inilah.com (cityzen journalism), Metro TV (Suara Anda), dan detik.com (Info Anda) adalah beberapa media yang membuka ruang untuk warga mengirim berita.Perkembangan teknologi informasilah yang diyakini menjadi salah satu pemicu munculnya partisipasi warga dalam dunia jurnalistik tersebut. Hingga, muncullah istilah Citizen Journalism (Jurnalisme Warga). Kemunculannya, dinilai sebagai bentuk gugatan atas ketidakpuasan terhadap informasi yang dihadirkan media konvensional.
“Teknologi membuat dunia ini menjadi semakin kecil. Apalagi masyarakat kita sekarang adalah masyarakat yang sangat dinamis. Kita memang seharusnya merespon maraknya jurnalisme warga, karena terkadang apa yang disampaikan warga tidak tertangkap oleh jurnalis profesional,” papar Corporate Advisor Media Group, Suryopratomo saat menjadi pembicara dalam Seminar Etika Jurnalisme Warga, medium (12/8) Agustus lalu di Jakarta Media Centre.
Menurut Tommy, demikian ia biasa disapa, berapapun banyaknya jumlah jurnalis, tidak akan mampu menjangkau seluruh pelosok tanah air. Oleh sebab itu turut serta warga dalam memberikan informasi melalui media-media yang sudah ada memberikan nilai positif tersendiri.
Dalam kesempatan yang sama anggota Dewan Pers Bambang Harymurti mengatakan, jurnalisme warga lebih kepada freedom of expression (kebebasan berekspresi). “Tapi kehadiran jurnalisme warga ini memberikan pilihan yang lebih banyak pada warga, juga menumbuhkan demand (permintaan) atas karya jurnalistik yang lebih berkualitas dari jurnalis profesional,” ujar Bambang.
Jika diibaratkan, menurut CEO Tempo Group ini, jurnalisme warga layaknya pengobatan alternatif. ”Banyak orang memanfaatkan jasanya, tetapi jika terjadi malapraktik, pasien tidak bisa menuntut secara hukum,” katanya. Ini, imbuh Bambang, berbeda dengan jurnaslime konvensional yang bekerja secara profesional bak dokter yang memiliki ijin praktik dan melalui sumpah jabatan ketika awal dilantik.Namun, seperti diungkapkan Bambang, perdebatan masih terus berlangsung, mempertanyakan apakah penyampaian informasi oleh warga dapat dikategorikan sebagai karya jurnalistik layaknya kerja jurnalis profesional? Mengingat tak ada jaminan kualitas dan kebenaran informasi yang datang dari warga.
Menurut Ketua PWI Pusat Bidang Multimedia, Priyambodo RH, berkembangnya multimedia yang diikuti dengan peran aktif warga menyumbang informasi -baik melalui media mainstream maupun blog-harus berpegang pada beberapa panduan. Salah satunya, untuk menjamin akurasi informasi.
Panduan tersebut diantaranya dilarang menjadi plagiat, cek dan ricek fakta dan data, jangan menggunakan sumber anonim, perhatikan dan peduli kaidah/nasihat hukum, mengutarakan rahasia secara selektif, hati-hati dengan pendapat narasumber, pelajari batas daya ingat, hindari konflik kepentingan, dilarang melakukan pelecehan dan mempertimbangkan setiap pendapat.
“Proses kroscek memang ampuh dilakukan bertahun-tahun oleh radio yang melibatkan warga karena mereka bisa telepon ulang untuk memastikan benar tidaknya. Tapi harus kerja ekstra keras bagi media online, untuk menghindari mempublikasi tulisan yang punya hak cipta karena diplagiat,” kata Priyambodo.
Radio yang dicontohkan pengajar Cyberjournalism LPDS – Dewan Pers ini adalah radio Suara Surabaya dan kemudian disusul radio Elshinta di Jakarta. ”Orang Jawa Timur bahkan lebih percaya pada radio ini ketimbang pada polisi. Begitu seorang warga lapor kehilangan motor, tak lama kemudian, setelah melaporkan kejadian itu ke radion Suara Surabaya, motor dapat diketemukan,” paparnya.
Segi positif inilah yang kadang berbeda jika warga yang kehilangan itu lapor ke polisi. ”Hilang kambing, lapor ke polisi malah kehilangan sapi,” ujar Priyambodo menggambarkan bagaimana efektifitas dan kinerja sebuah radio dan polisi.
Perkembangan jurnaisme warga imbuh Suryopratomo juga bergantung pada seberapa besar manfaat yang bisa diberikan. ”Pengalaman bencana tsunami 2004 di Aceh memberikan pelajaran berharga bahwa cityzen journalism memberi manfaat optimal,” tuturnya.
Saat peristiwa tsunami itu, kata Tommy, Metro TV mendapat gambar dari warga Aceh (Putri) yang luar biasa lengkap. Ia mengambil gambar tersebut menggunakan handycame dari lantai dua rumahnya. Seperti yang kita ketahui, bencana tsunami telah menelan 200 ribu orang meninggal.
Untuk mendukung keberadaan jurnalisme warga agarberperan secara maksimal dan bertanggungjawab, tugas media konvensionallah untuk memberikan edukasi tentang jurnalistik yang benar. Pertanyannya: apakah media onvensional telah melakukan tugas tersebut? [ ] Ahmad Nurcholish
Tinggalkan Balasan