Ken Marijtje Prahari Setiawan, kandidat PhD Universitas Leiden, Belanda
“Tradisi Kekerasan Tak Hanya Ada di Islam,
Tapi Juga dalam Kristen”
“…saya kira umat Islam di Belanda sudah cukup pintar untuk ‘membiarkan’ saja itu berlalu. Justru, menurut saya, jika terjadi reaksi agresif dari umat Islam, malah akan membenarkan isi film itu sendiri…”
Siang itu (22/4) langit Jakarta tak seperti biasanya, terik membakar. Tetapi, mendung dari pagi menyelimutinya. Hujan rintik pun mulai turun. Sepoi angin dingin perlahan masuk melalui kisi-kisi jendela ruang perpustakaan ICRP, menambah kesejukan ruang berpendingin udara itu. Jarum jam menunjuk angka 11.33 Wib.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki menaiki anak tangga menuju ruang atas kantor ICRP. “Selamat siang,” sapanya akrab pada Ilma dan Ema yang siang itu nampak sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ilma mempersilahkan pada perempuan berwajah Indo itu untuk langsung menemui Nurcholish yang memang sudah janjian di hari sebelumnya.
Sesaat kemudian, setelah bertegur sapa dan saling kenal antara keduanya, langsung menuju ruang meeting untuk berbincang-bincang tentang masalah pernikahan beda agama di Indonesia. Sambil sesekali menyerutup segelas air meniral, keduanya terlibat perbincangan akrab dan hangat.
Perempuan itu adalah Ken Setiawan. Lahir dari keluarga berbeda agama, kultur dan bangsa. Ayahnya, Hersri Setiawan, yang asli orang Jawa lahir di Indonesia, menganut agama Islam, tepatnya Kejawen. Ibunya, Jitske Mulder, asli orang Belanda, beragama Kristen. Keduanya menikah pada tahun 1981 dan lahirlah seorang putri yang diberi nama Ken Marijtje Prahari Setiawan pada 9 Desember di tahun yang sama di Jakarta.
Hingga kelas satu SD, Ken, demikian biasa disapa, tinggal di Jakarta. Setelah kedua orangtuanya pindah ke Belanda pada tahun 1987, ia melanjutkan studinya di sana. Kini, ia tengah merampungkan jenjang S3-nya di Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda.
Sebagai asisten peneliti guru besar di Leiden University, ia pernah membuat penelitian tentang penerapan hukum syariat Islam di 12 negara Islam. Antara lain: Indonesia, Malaysia, Pakistan, Afrika, dan Arab Saudi. Dari penelitian itu ia menyimpulkan bahwa hukum Islam itu sangat beragam interpretasi.
Sejak medio April lalu hingga awal Juni ini ia tinggal di Indonesia guna melakukan penelitian tentang pernikahan beda agama untuk penyusunan disertasinya. Usai berbincang soal tersebut, Nurcholish yang juga awak redaksi MaJEMUK, tak mau kehilangan kesempatan. Ia, dengan santun mengajak Ken untuk berbincang tentang film Fitna yang beberapa waktu lalu memantik kemarahan umat Islam. Petikannya:
Sudah nonton fim tersebut?
Secara utuh tidak. Karena saya sangat jengkel dengan Geert Wilders. Tapi di Belanda beberapa waktu lalu selepas film itu dirilis, banyak dibahas di berbagai media. Saya sendiri menolak untuk men-download film itu.
Alasannya?
Karena walaupun saya bukan penganut muslim, bagi saya film itu menyakitkan saya. Saya menganggap itu penghinaan kepada pikiran saya sendiri. Pertama, karena di dalam film itu, Wilders menyamakan kekerasan, terutama kekerasan terorisme identik dengan orang Islam. Dia juga mengatakan beberapa kali di Belanda, kalau problem Muslim bisa diatasi di Belanda, 95% dari masalah di masyarakat Belanda akan dapat diselesaikan. Bagi saya itu tidak benar.
Kedua, Wilders sepertinya ingin memonopoli bahwa budaya Belanda itu apa. Saya menolak keras hal ini. Sebab, wakil rakyat siapapun tidak boleh mengatakan bahwa budaya Belanda harus begini atau begitu. Misalnya: di Belanda tidak boleh ada mesjid. Bagi saya, budaya merupakan sesuatu yang lentur dan fleksibel. Sifat atau karakter budaya juga berubah. Ada kelompok atau orang lain yang berbeda nmasuk, itu akan berpengaruh terhadap perubahan budaya.
Nampaknya ada misi Wilders untuk mengukuhkan itu (budaya tunggal Belanda)?
Betul. Analisis saya begitu.
Bukankah itu fenomena umum yang dihadapi Negara-negara modern di Eropa dan Amerika? Di Amerika misalnya, masyarakat di sana, kini, kesulitan/gamang mendefinisikan identitas dirinya. Pada kesimpulan akhir mereka mengatakan Amerika adalah kulit putih, Kristen dan berbahasa Inggris. Apakah di Belandajuga seperti itu?
Ya. Saya kira sama. Itu memang menjadi reaksi atas kelemahan pemerintah Belanda. Misalnya ketika dulu, kami sekeluarga, dari Indonesia masuk ke Belanda. Karena ayah saya tidak bisa berbahasa Belanda, setelah mendapat ijin tinggal, dengan kesadarannya belajar bahasa Belanda. Oleh pemerintah Belanda tidak ada kebijakan, misalnya mereka pendatang diberi fasilitas untuk kursus bahasa Belanda.
Intinya, Pemerintah Belanda sejak tahun 50-an, terutama ketika banyak pendatang dari Timur Tengah dan Asia tidak pernah diajak untuk berintegrasi dengan masyarakat Belanda itu sendiri, agar mengenal lingkungan yang baru mereka (para pendatang itu). Apa yang terjadi? Masyarakat menjadi tersekat-sekat. Masing-masing kelompok pendatang hidup secara terpisah-pisah. Ada kelompok Turki, ada pula yang dari Maroko. Termasuk juga orang-orang keturunan China.
Nah, belakangan muncul banyak masalah tentang integrasi. Sejarahnya tentu panjang, termasuk kekeliruan pemerintah Belanda dalam mengambil kebijakan di masa lalu. Baru lima tahun yang lalulah Belanda (pemerintah dan masyarakat) membuka pintu dialog antar etnis dan antar agama. Saya kira itu terlambat.
Integrasi itu sendiri dimaknai seperti apa di Belanda?
Ada yang mengatakan harus asimilasi total, seperti (gagasan) Wilders. Ada pula yang lebih moderat. Sayangnya, seperti di banyak Negara, suara moderat kurang didengar. (Bagi saya) integrasi itu (paling tidak) bisa berbahasa Belanda dan mengikuti hukum dan peraturan yang berlaku di sana. Tapi, tentu saja boleh memegang agama dan budaya sendiri yang merupakan bagian dari identitas mereka. Kalau itu hilang, orang-orang (pendatang) itu akan kehilangan akarnya.
Kembali ke Fitna. Apa sih kira-kira tujuan utama Wilders membuat film ini?
Saya kira, seperti yang dikatakan oleh Wilders sendiri, untuk memperlihatkan betapa buruknya Islam. Menurutnya, Islam itu kan sumber segala masalah.
Untuk di Belanda sendiri apakah tujuan itu tercapai?
Saya kira nggak. Tentu saja ada juga banyak orang yang setuju dengan film itu. Tapi, tidak sedikit pula yang menentang, termasuk ketika masih di Parlemen.
Reaksi masyarakat Belanda sendiri seperti apa?
Seperti dikhawatirkan banyak orang sebelumnya, akan terjadi protes besar, terutama dari kalangan Muslim di sana. Tapi, itu tidak terjadi. Jadi, saya kira umat Islam di Belanda sudah cukup pintar untuk ‘membiarkan’ saja itu berlalu. Justru, menurut saya, jika terjadi reaksi agresif dari umat Islam, malah akan membenarkan isi film itu sendiri.
Reaksi besar itu yang terjadi di Indonesia. Malah ada kelompok yang akan membuat film tandingan segala. Komentar Anda?
Itu juga ada di Belanda. Ada salah satu badan televisi dan radio yang berlatar belakang Kristen, akan membuat film serupa untuk mengcounter film Wilders tersebut. Tetapi, bukan bersumber dari al-Qur’an, melainkan dari Al-Kitab. Kelompok ini ingin menunjukkan pada khalayak bahwa di Al-Kitab juga ada ayat-ayat kekerasan juga. Jadi, tradisi kekerasan itu bukan hanya dimiliki oleh sejarah Islam, tapi juga Kristen.
Sejauh mana relevansinya cara seperti itu dapat mengcounter Fitna tersebut?
Menariknya, film Ayat-Ayat Cinta beberapa waktu lalu juga pas masuk ke media Belanda. Dan ini memberikan persepektif tersendiri betapa Islam syarat dengan keagungan cinta dan toleransi. Jadi, saya kira ada gunanya (membuat film tandingan). Tetapi, tinggal bagaimana film itu nanti dikemas dan disajikan. Masalahnya kan Fitna itu sendiri hanya berdurasi sepuluh menitan. Jadi, tidak mungkin mampu menjelaskan ayat-ayat dalam Qur’an berikut tafsir dan konteks turunnya ayat-ayat tersebut. Saya kira ini yang harus kita hindari, untuk meminimalisir reduksi.
Kalau melihat secara umum reaksi kelompok-kelomok agama (Islam) di Indonesia beberapa waktu lalu yang cenderung anarkhis, menurut Anda bagaimana?
Saya kira sangat tidak kondusif. Apalagi kalau aksi-aksi itu begitu agresif, sampai membakar bendera, membentangkan spanduk bertuliskan “Bunuh Wilders”, dsbgnya. Sebaiknya itu jangan dilakukan. Karena, justru itu semakin membenarkan tesis yang dikukuhkan Wilders melalui film itu.
Memang ada dua ketegangan menyangkut hak azasi. Hak untuk bersuara, tapi juga hak untuk beragama dan menghormati agama orang lain. Saya kira yang menarik dari kasus Fitna itu agar masyarakat Belanda sendiri mulai diskusi, sejauh mana hak bersuara kami itu ada.
Pemerintah Belanda sendiri menyikapi kasus Fitna itu seperti apa?
Cukup bagus. Begitu Fitna keluar, langsung Perdana Menteri menggelar konferensi pers, di mana ada statemen dari Kabinet Belanda, yang mengatakan tidak setuju dengan isi dari film itu. Karena bagi mereka, Islam sesungguhnya tidak seperti itu.
Sebelumnya, semingu setelah keluar, juga dibahas di perlemen. Menariknya, hampir seluruh partai politik menolak isi film tersebut. Sebenarnya kalau perdebatan dan penolakan di perlemen ini dirilis di televisi atau internet akan sangat menarik.
Bahkan ada partai politik Kristen yang kerap mengkritik umat Islam juga tidak setuju dengan interpretasi Wilders lewat Fitna itu. Mereka juga melarang untuk diedarkan
Apa alasan mereka tidak setuju?
Alasan kemanusiaan dan kebebasan beragama. Sudut pandang yang digunakan juga dinilai sangat terbatas. Hubungan kausal antara umat Islam dengan kekerasan, terutama kekerasan teroris itu nggak begitu, kata mereka. Mereka sepakat melawan terorisme, tetapi terorisme tidak harus Islam. Ia bisa datang dari mana saja, termasuk Kristen.
Wilders sendiri bagi saya orang aneh. Ia, waktu di parlemen itu mengatakan, tidak mempermasalahkan orang Islam, tapi, yang dipermasalahkan adalah orang yang setuju dengan ideologi Islam. Nah, yang menganut ideologi Islam kan namanya orang Muslim.
Mungkin maksud Wilders, ia setuju Islam sebagai agama atau keyakinan. Tetapi tidak setuju kalau Islam dijadikan sumber hukum positif yang berlaku umum?
Mungkin juga begitu.
Pemerintah Belanda tidak setuju dengan isinya, tetapi tidak melarang untuk beredar?
Betul. Karena memang aturan di Belanda tidak mungkin melarang, karena itu merupakan kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dilindungi undang-undang. Masalahnya, di adegan yerakhir pada film itu ada sebuah Al-Qur’an yang terbuka, lalu layer menjadi hitam dan terdengan suara kertas disobek. Nah, perkiraan kami, dia sedang menyobek Al-Qur’an. Kalau itu yang terjadi menurut hukum Belanda juga melarangnya alias tidak boleh.
Hanya, di film itu kan juga ada display tulisan: “suara yang Anda baru dengar bukan Al-Qur’an yang disobek, melainkan salah satu lembar dari buku telpon”. Wilders juga memberikan alasan, “Bukan hak saya untuk menyobek Al-Qur’an”. Saya kira ini yang aneh. Orang tak mudah percaya begitu saja.
Sejauh ini apakah ada upaya untuk mengajukan Wilders di Pengadilan agar dituntut bersalah?
Ya. Kemarin ada satu kelompok Islam Maroko di Belanda yang mau membawa Wilders ke pengadilan, dengan alasan menghina agama. Tetapi (tuntutan itu) tidak diterima oleh pengadilan. Karena menurut ketua pengadilan, film tersebut masih dalam wilayah hak kebebasan seseorang untuk berekspresi.
Dari kasus Fitna ini apa kira-kira pelajaran yang dapat dipetik?
Saya kira pelajaran yang berharga, bukan hanya umat Islam saja yang marah, tetapi, seperti saya sendiri yang Kristen misalnya, bisa mengerti kalau umat Islam bisa tersinggung. Saya kira semua orang harus bersatu, untuk menentang itu dengan cara cerdas dan sopan. Boleh saja kita mengatakan tidak setuju dengan sebuah film, tetapi tidak akan bertindak agresif. Akan lebih baik jika ditanggapi dengan dialog yang moderat untuk mengembangkan dialog antaragama.
Kemarin, setelah film itu dikeluarkan, apa yang terjadi di mesjid-mesjid di Belanda? Hari berikutnya, mereka menggelar Open Day, supaya masyarakat Belanda bisa datang ke mesjid, bisa melihat langsung mesjidnya, bisa tanya-tanya tentang Islam pada Imam dan pada orang-orang Islam yang dating ke mesjid, bagaimana sebenarnya agama Islam itu. Saya kira ini bagus.
Bagaimana respon masyarakat Belanda atas inisiasi itu?
Banyak sekali masyarakat Belanda yang memanfaatkan itu. Jadi, akhirnya, mereka ingin tahu sendiri bagaimana sesungguhnya Islam itu. Mereka juga sadar bahwa konsepsi Islam tidak boleh dimonopoli sendiri oleh Wilders. Yang menarik, justru ada juga orang-orang Belanda yang mencari kebenaran Islam dengan caranya sendiri, bahkan atas interpretasi dari orang lain.
Hampir mirip seperti fenomena orang-orang Amerika pasca peristiwa WTC 11 September, yang tertarik mempelahjari Al-Qur’an dan akhirnya masuk Islam?
Saya kira kalau itu yang terjadi, menurut saya bagus. Tapi kami juga harus berhati-hati, karena sekarang seranganya kan kepada umat Islam di Eropa. Kalau itu sudah selesai, bukan tidak mungkin, umat yang mana lagi berikutnya? Jadi hampir mirip nasib Ahmadiyah di Indonesia. Setelah berhasil membubarkan Ahmadiyah, boleh jadi kelompok lain jadi sasaran berikutnya. Jadi kita mesti waspada dan melakukan tindakan preventif untuk pencegahan aksi-aksi berikutnya.
Sejauh ini sampai di mana pemerintah Belanda melakukan tindakan preventif itu. Misalnya, agar di masa mendatang tidak lagi muncul film-film seperti Fitna?
Masih sangat minim. Memang sudah ada statemen dari perdana menteri dan pemerintah juga sangat mendukung program-program masyarakat, khususnya kalangan interfaith yang didukung dengan dana. Tetapi, saya kira masih ada juga banyak kelompok di Belanda yang tidak berani untuk memasuki wilayah kebebasan beragama. Sebab, Negara dan agama, di Belanda itu sangat terpisah. Dan itu dianggap suatu pencapaian yang luar biasa. Jadi, agama menjadi urusan private, bukan urusan Negara.
Saya juga melihat pemerintah Belanda agak takut, atau mungkin hati-hati. Kenapa misalnya, Wilders itu mendapat banyak dukungan, karena dia mengatakan bahwa dirinya wakil orang-orang kecil, kelompok minoritas.
Ada yang mengatakan bahwa sebenarnya ia bukan Kristen, tapi Yahudi. Benarkah?
Saya sendiri kurang tahu. Yang jelas, ia orang Belanda asli, lahir di sana, dan berasal dari Selatan. Jadi, barangkali aslinya Katolik. Karena kebanyakan orang Belanda dari Selatan beragama Katolik. Yang jelas dia sedang membela warisan Kristiani Yahudi Eropa dan Belanda. Katanya begitu. Tetapi, wacanannya tidak seperti partai-partai Kristen kanan yang berbeda sekali.
Jadi, partai Wilders merupakan partai kecil?
Nggak juga sebenarnya. Sebab ia punya sembilan kursi di parlemen. Ini lebih banyak daripada partai Kristen kanan yang hanya dua kursi. Ada lagi koalisi partai Kristen kanan yang memiliki enam kursi. Jadi masih lebih banyak kursi partai Wilders. Ini pula yang menghawatirkan. Bahasa mereka memang agresif, taopi banyak juga orang Belanda yang menyukainya.
Selain kelompok Islam “ekstrim” yang cenderung agresif, ada juga kelompok Islam dan pemukanya yang moderat yang menyikapi kasus Fitna ini dengan cara yang lebih santun dan elegan. Anda melihatnya seperti apa?
Saya kira itu sangat bijak. Karena, kalau film semacam Fitna dilawan dengan agresif, dengan kekerasan, itu nggak ada gunanya. Justru akan membuat keadaan yang lebih buruk. Pemerintah Belanda sendiri sempat bertanya dan mengingatkan kepada Wilders bahwa kalau filmnya keluar mungkin orang Belanda yang tengah bertugas di luar negeri, mereka bisa terancam, dan bisa meninggal gara-gara film ini.
Apa komentar Wilders?
Komentar dia, kalau itu yang terjadi, itu memperlihatkan betapa bodohnya umat Islam.
Nampaknya memang, dengan film itu Wilders memancing untuk itu?
Betul. Para aktivis juga memakainya untuk propaganda partainya sendiri.
Kalau itu propaganda, apakah itu berhasil?
Saya kira sangat-sangat terbatas. Orang yang sudah setuju dengan Wilders mungkin tetap mendukungnya. Tetapi, yang dari awal tidak setuju, justru akan makin menjauh. Apalagi Wilders sendiri memang tidak setuju dengan konsep multikulturalitas. Dia hanya menginginkan satu kultur, yakni Belanda. Sayangnya, apa itu budaya Belanda? Orang Belanda sendiri tidak dapat mendefinisikannya sendiri.
Saya kira memang Belanda sedang mengalami krisis identitas. Lagi mencari jalan apa itu orang Belanda di tengah beragamnya kaum pendatang di sana. Saya kira ini jauh lebih menarik jika didiskusikan. Tetapi jangan sampai wacana seperti ini menjadi wacana inklusifitas-eksklusifitas. [ ] Ahmad Nurcholish
Tinggalkan Balasan