Dari insiden Monas itu menunjukkan ada upaya untuk melakukan pembiaran terhadap upaya-upaya premanisme yang ada di masyarakat ini.
Kesimpulan itu dituturkan Yenny Wahid sehari (2/6) setelah aksi damai di Monas dalam rangka memeringati Hari Pancasila oleh Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang kemudian diserbu Laskar Pembela Islam (LPI) pimpinan Munarman.
Menurut direktur The Wahid Institue (WI) ini, insiden Monas itu merupakan upaya sistematis, karena nampak bahwa tidak ada satupun langkah-langkah penegakan keamanan yang dilakukan oleh pemerintah.
“Untuk itu kami menuntut negara memberikan haknya kepada masyarakat, yakni hak untuk memeroleh rasa keamanan. Ini yang tidak diberikan oleh negara,” tandaskan dalam acara konferensi pers yang digelar di aula The Wahid Institute itu.
Dalam pantauan Yenny, premanisme semakin merajalela. Insiden berdarah pada peringatan Pancasila itu merupakan titik kulminasi dari sekian banyak aksi premanisme di masyarakat. “Oleh karenanya kita menuntut pemerintah untuk memberikan hak rasa aman dengan membasmi premanisme tersebut,” ulangnya menegaskan.
Sementara itu, Ahmad Suaedi melihat bahwa orang-orang atau laskar yang menyerang pesrta aksi damai AKKBB itu merupakan aksi atau kelompok yang membahayakan bagi kemanusiaan. Kalau dalam etika Islam, kata dia, berperang saja itu tidak boleh melukai wanita, anak-anak, orang tua, orang cacat dan tidak boleh memotong pohon. “Ini saya melihat dengan mata kepala sendiri, ada anak perempuan ditendang-tendang sampai berguling-guling,” paparnya.
Salah satu peserta aksi damai yang menjadi korban itu menilai bahwa Laskar Pembela Islam yang merupakan sayap organisasi dari Front Pembela Islam (FPI) itu menurutnya merupakan sebuah organisasi yang berbahaya untuk kemanusiaan, dan bukan hanya mereka anti pancasila.
Apalagi, imbuh direktur ekskutif WI ini, aksi kekerasan yang dilakukan LPI itu sangat luar biasa baginya, karena review penyerangan itu dilakukan di masjid Istiqlal. “Saya punya beberapa orang yang memang ada di sana, dan mereka tahu bahwa breafing penyerangan dan strategi aksi dilakukan di Istiqlal,” jelasnya.
Bagi dia ini sangat melukai Islam. Organisasi kriminal bersenjata yang mengatasnamakan agama diberangkatkan dari sebuah masjid agung Indonesia, lalu menyerang kemanusiaan. “Saya kira pemerintah harus membubarkan organisasi seperti ini,” pinta Suaedi yang siang itu terlihat luka di dagunya karena kena pentungan dari LPI.
Tragedi berdarah di hari Pancasila itu memang telah banyak memakan korban. Dalam catatan AKKBB, setidaknya 90 orang menjadi korban. 14 di antaranya harus dirawat di rumah sakit. Selain kerugian materiil seperti kerusakan peralatan aksi (mobil, sound sistem, gitar, dll.), penyerangan siang itu juga telah meninggalkan trauma berkepanjangan, terutama bagi perempuan dan anak-anak.
Karenanya, Gunawan Mohammad menuntut agar pemerintah SBY memulai proses peradilan ke arah penuntutan aksi kekerasan yang menelan banyak korban itu. Jurnalis senior Tempo ini berharap pemerintah menindak keras mereka yang terang-terangan menghina Pancasila, serta menghukum mereka yang kedapatan bersalah. “Presiden SBY harus menjalankan konsitusi. Kalau dia tidak mengerjakan sumpahnya, maka dia tidak layak menjadi presiden,” tandas peserta aksi ini.
Baginya, penyerangan terhadap peseerta aksi damai AKKBB itu bukan kekerasan sporadis, melainkan kekerasan sistematis untuk menghapuskan hak azasi dan konstitusi yang paling dasar dari Pancasila.
Pertahankan Pancasila
Oleh karenanya, Musdah Mulia mengajak seluruh rakyat untuk tetap mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Menurutnya, ada tujuh alasan mengapa kita harus mempertahankan Pancasila sebagai dasar dalam berbangsa dan bernegara.
Pertama, karena ia merupakan warisan luhur dan ideal para the founding fathers republik ini yang nota bene mereka adalah agamawan yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, prinsip demokrasi dan pluralisme.
Alasan kedua, menurut Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) ini, Pancasila mengajarkan agar pemerintah bersikap netral dan adil terhadap semua penganut agama dan kepercayaan. “Pemerintah tidak perlu mencampuri urusan subtansi ajaran setiap agama dan kepercayaan,” tandas Ketua Umum ICRP ini.
Ketiga, lanjut dia, Pancasila adalah pedoman dalam mengatur hubungan antara agama dan negara di Indonesia. “Pedoman ini menggariskan bahwa hak beragama dan berkepercayaan merupakan hak azasi manusia sekaligus hak sipil bagi setiap warga,” imbuh guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Keempat, katanya lagi, Pancasila juga merupakan pedoman negara menuju kemanusiaan yang adil dan beradab. Negara, menurut Musdah, harus memenuhi, menegaskan dan melindungi hak azasi manusia setiap warga berdasarkan prinsip keadilan dan keadaban.
Kelima, papar Musdah, Pancasilah juga menjadi pedoman negara dalam membangun persatuan Indonesia. NKRI baginya tidak boleh dibiarkan tercabik dan terluka oleh keinginan segelintir orang yang ingin mengubah Indonesia menjadi negara agama. “NKRI yang demokratis tidak boleh dinodai pikiran sektarian yang mengusung ideologi teokratis dan totalitarianisme,” tutur peneliti utama Litbang Depag ini.
Keenam, bagi Musdah, Pancasila adalah pedoman untuk mewujudkan solidaritas kemanusiaan dan kemaslahatan hidup bersama yang ditempuh melalui sikap kerendahhatian, solidaritas dan empati kemanusiaan.
Alasan ketujuh, paparnya lagi, Pancasila juga menjadi pedoman negara dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tugas utama negara seperti terbaca dalam preambule UUD 1945, kata dia, sangat jelas, yaitu mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dengan ungkapan lain, terang Musdah, tugas utama negara adalah mengeliminasi kemiskinan dan kebodohan. “Karena itu seluruh penganut agama harus bersatu padu melawan musuh agama yang paling nyata, yakni kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan,” pungkasnya. [ ] Ahmad Nurcholish
Tinggalkan Balasan