Enam puluh tiga tahun sudah kita merdeka. Tetapi, rasa kebersamaan dalam berbangsa dan bertanah air justru makin kering. Masih adakah harapan untuk hidup bersama dalam kebhinekaan?
Pada awal kemerdekaan, sumber konflik sosial berdarah berakar pada masalah politik dan ideologi. Kini, bahkan sejak akhir abad ke-20 berganti wajah menjadi konflik agama dan identitas etnis. Perbedaan agama, atau kelompok etnis, saat ini telah berubah menjadi sumber bencana, bukan lagi menjadi sumber kekuatan bangsa. Kredo Bhineka Tunggal Ika pun terasa sudah mati suri.
Pasca keruntuhan Soeharto, situasi memang berubah. Partai politik dengan basis pemeluk Islam bangkit dan terus merangsek untuk mendapatkan pengikut. Mereka menggotong isu syari’at Islam. Langkah ini, seperti pernah dikatakan Ichsan Malik, disambut partai politik yang basisnya bukan identitas agama atau dengan basis agama non-Islam. Mereka terseok-seok dengan isu nasionalisme atau isu pembangunan.
Dalam waktu yang sama kekuatan ekstra parlementer pun bangkit. Bangkitnya kembali kekuatan massa jalanan yang agresif dan intimidatif untuk menjalankan misi masing-masing. Semua orang atau kelompok yang berbeda atau mengancam misi kelompoknya harus dienyahkan. Toleransi kepada pihak lain dianggap sebagai kelemahan dan bisa mengancam keberadaan kelompok (mayoritas).
Tragedi 1 Juni di Silang Monas dan ”terusirnya” mahasiswa STT Setia Jakarta adalah contoh mutakhir bagaimana kekuatan massa jalanan dengan balutan jubah agama mampu mengusir keberadaan kelompok tak berdosa itu. Batas siapa yang benar dan siapa yang salah pun ditentukan oleh siapa yang kuat dalam melakukan aksi di lapangan. Pemerintah, melalui aparatnya, seolah juga ”tunduk” pada aksi-aksi jalanan tersebut. Mereka yang jadi korban (Ahmadiyah, AKKBB, STT Setia, Lia Eden, dll) pun justru dipersalahkan karena tidak mau mengikuti ”kebenaran” yang dimiliki oleh kelompok mayoritas.
Inikah yang disebut merdeka? Inikah yang mesti kita banggakan dengan kebhinekaan kita, yang pada awal kemerdekaan menjadi kekuatan dahsyat untuk membangun bangsa?
Dalam ajaran Islam Allah Swt. menjelaskan bahwa sesungguhnya umat manusia di bumi ini diciptakan dengan beragam bangsa, etnis, bahasa, dan sebagainya, justru supaya saling mengenal dan menghargai.
”…Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku bangsa, agar kamu saling mengenal (bukan supaya saling membenci). (Q.S. Al-Hujarat/49:13).
Kata li-ta’arafu (agar kamu saling mengenal) dalam bahasa Arab merupakan kalimat aktif dan bukan pasif. Dengan demikian perintah untuk mengenal yang lain suku, bahkan lain bangsa merupakan suatu keharusan sebagai bentuk penghargaan atas kebhinekaan yang dianugerahkan Tuhan.
Kebhinekaan, kemajemukan atau pluralitas yang kemudian meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang melihat secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.
Dalam Al-Qur’an juga disebutkan bahwa perbedaan antara manusia dalam bahasa dan warna kulit harus diterima sebagai kenyataan yang positif, yang merupakan salah satu tanda-tanda kebesaran Allah (Q.S. 30:22).
Dalam soal agama, Allah Swt juga menegaskan bahwa semua pemeluk agama, baik Yahudi, Kristen, bahkan Sabian, asal mereka tetap beriman kepada Allah dan hari kiamat serta berbuat baik, mereka akan ”masuk surga” dan ”terbebas dari neraka”.
”Sesungguhnya mereka kaum yang beriman (kaum Muslim), kaum Yahudi, kaum Nasrani, kaum Sabian, siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian serta berbuat kebaikan, maka tidak ada rasa takut menimpa mereka dan mereka pun tidak perlu khawatir (Q.S. Al-Baqarah/2:62).
Atas ayat ini, A. Yusuf Ali menjelaskan bahwa ”Karena pesan Tuhan itu satu [sama], maka agama Islam mengakuikeimanan yang benar dalambentuk-bentuk lain, asalkan keimanan itu tulus, didukung oleh akal sehat, dan ditunjang oleh tingkah laku yang penuh kebaikan.”
Komentar Yusuf Ali ini sejalan dengan keterangan yang diberikan Muhammad Asad. Menurutnya, ayat 62 dalam al-Baqarah di atas diturunkan untuk menegaskan bahwa siapa pun dapat memeroleh ”keselamatan” (salvation), asalkan dia beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian dan berbuat baik, tanpa memandang apakah dia itu keturunan Nabi Ibrahim seperti Yahudi (dan kaum Quraisy di Makkah) atau bukan.
Kini, seolah kita lupa akan ajaran-ajaran mulia dari Kitab Suci itu. Kita juga lupa, atau mungkin tidak tahu dengan aopa yang pernah disampaikan oleh Imam Syafi’i: ”Pendapatku benar, tapi mungkin saja salah. Sebaliknya, pendapat orang lain salah, tapi bisa saja benar”.
Karenanya, jika kita merasa merdeka dan ingin orang lain merasakan kemerdekaan itu, jangan tunda lagi untuk menerima kemejemukan di antara kita dan menghargainya sebagai bentuk rasa syukur atas karunia yang diberikan-Nya. Jangan biarkan orang lain yang berbeda dengan kita merasa terancam atas keberadaan kita, karena kita punya hak yang sama di bumi pertiwi ini. [ ] Ahmad Nurcholish
This Response for KAMPUNG PULO who people origin stay.
Andai anda merasakan berada di kampung pulo
sejak umur 12 tahun. Pasti anda tidak bicara seperti itu.
Saya tidak tau apa agama anda, Tapi bagaimana perasaan Anda kalo Tmp Peribadatan Anda di Ludahi dan dikotori ? Rumah anda dipakai untuk berzinah ? Imam Anda disakiti ? Agama Anda di HINA ?
Terus terang biar BAJINGAN sekalipun pasti akan Marah, tapi tidak untuk Hewan.
Kenapa semua cuma bicara HAK, tapi jarang bicara KEWAJIBAN.
Merdeka apa yang anda maksud ??
Tidak bolehkah orang yang dijajah untuk merdeka ??
Anda tau antara Merdeka atau menjajahan ??
Anda tau antara Membuat dengan Merampas ??
( Think these matter with lower Ego )
Hati-Hati dengan bicara anda. Ada pepatah yang berkata : ” Mulut mu Bukan Setan Tapi Hati Mu yang Setan”.
Thank you,
By: King Nothing on Agustus 28, 2008
at 6:50 am
Melihat tulisan bung nurcholish terlihat kegelisahan seorang nasionalis sejati dan sekaligus mewakili kegelisaan kaum tertindas baik oleh kebijakan negara maupun sekelompok manusia yang sedang menggiring NKRI kearah yang tidak sesuai dengan Pancasila sebagai dasar negara, sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa.
Merespon kritik (King Nothing) atas tulisan Nurcholish terlihat King Nothing mewakili sedikit teman yang gelisah da pasti selalu gelisah dalam melihat kenyataan Indonesia. mungkin karena belum merdeka secara individu maka demikian yang terlihat.
namun dapat dipastikan kesimpulan akhir sdr Nucholish benar adanya: saya memahami bahwa kemajemukan adalah kemerdekaan Sang Pemberi (tentu milik Tuhan) dan hal ini tidak mungkin disadari atau diterima oleh (king Nothing) siapapun yang tidak mendasari pemahaman bahwa Kemajemukan adalah anugerah dan dasar kemerdekaan umat manusia.
By: frangky TAMPUBOLON on September 2, 2008
at 8:34 am