Oleh: ahmadnurcholish | Agustus 15, 2008

Melawan Kekejaman Israel dengan Jalan Cinta

Dengan strategi utama getting in the way (berdiri diantara dua pihak) aktivis CPT (Christian Peacemaker Teams) Arthur G. Gish menerapkan cara anti kekerasan.

 

 

“Saya sering berhadapan dengan tentara-tentara di daerah konflik. Jika saya ingin mencegah dan menghentikan mereka dengan tangan, atau kontak fisik, bisa dipastikan beberapa detik kemudian saya sudah tergeletak di tanah. Mereka sangat terlatih”.

 

Demikian diungkapkan Gish ketika menjadi pembicara utama dalam Diskusi Buku dan Workshop Non-Violence Peacemaking: Bersama Art Gish di Universitas Paramadina akhir (23/7) Juli lalu. Diskusi yang dipandu Safiq Basri Assegaff ini juga menghadirkan Anies Baswedan dan Makarim Wibisono.

 

“Karena itu yang saya pasang wajah tepat di depan muka jelek mereka. Itu sering kali membuat senjata mereka tidak lagi berguna. Mereka segan menembak,” lanjut Gish menuturkan pengalamannya di hadapan seratusan orang yang hadir pagi itu.

 

Acara dalam rangka peluncuran buku  Hebron Journal:  Catatan Seorang Aktivis Perdamaian dari Amerika di Palestina yang Melawan Kekejaman Israel dengan Jalan Cinta dan Anti-Kekerasan karya Arthur Gish ini sengaja menghadirkan penulisya untuk berbagi pengalaman ketika berada di kawasan Hebron di  Palestina. “Assalamu’alaikum, saya sangat senang bertemu dengan Anda,” sapanya kepada hadirin dengan Bahasa Indonesia terbata-bata mengawali tuturnya.

 

Sebelum melanjutkan paparannya, Gish sempat meminta maaf kepada umat islam atas kekejian orang-orang Kristen. “Sebelumnya saya meminta maaf kepada umat Muslim atas perbuatan orang-orang Kristen. Saya sangat malu dengan apa yang telah diperbuat orang-orang dari agama saya terhada Islam. Saya tidak mampu berbincang dengan Muslim, sebelum meminta maaf,” ungkapnya.

 

Aktivis tim perdamaian Kristen (Christian Peacemaker Teams/CPT) ini mencuat namanya ketika ia melakukan tindakan sangat berani, berdiri di tengah-tengah, antara kelompok warga Palestina dengan tentara Israel yang hendak menembak warga. Bahkan ketika sebuah tank melaju ke arahnya, Art Gish bergeming. Tank pun berhenti beberapa sentimeter di hadapan Art. Foto yang mengabadikan kejadian itu segera saja tersebar, sebuah tank dengan moncong senjata raksasa di depan lelaki bertopi merah yang merentangkan tangan. Foto ini pula yang terpampang di sampul buku versi Indonesia terbitan Mizan.

“Sebuah tank datang menderu di hadapanku. Moncong raksasanya mengarah kepadaku. Aku mengangkat kedua tanganku di udara, berdoa, dan berteriak, ‘Tembak, tembak! Baruch hashem Adonai! (Terpujilah nama Tuhan!’) Tank itu berhenti beberapa inci di hadapanku. Aku lantas berlutut di jalanan, berdoa dengan tangan terangkat di udara. Aku merasa sendiri, lemah, dan tak berdaya. Aku hanya bisa menjerit kepada Tuhan.” tulis Art dalam buku setebal 560 halaman itu.

Gish menyadari jika tindakannya bukan tanpa resiko. Terluka dan bahkan mati bisa saja  menimpanya sewaktu-waktu. Namun resiko itu tidak membuat lelaki asal Amerika Serikat ini mundur. “Saya mempelajari dari Injil, Sebagai umat Kristen saya harus mengakui kelemahan diri sendiri, lalu bergantung sepenuhnya hanya kepada Allah,” ungkapnya. Prinsip itulah yang membawa ia tetap setia dengan aktivitasnya mengkampanyekan perdamaian anti kekerasan di wilayah Palestina.

Dalam membela rakyat Palestina, Gish yang sejak muda terlibat dalam gerakan menentang keterlibatan AS dalam semua perang tak jarang harus menempuh bahaya, seperti menghadang tank dan buldoser yang akan meratakan rumah dan pasar, atau menghadapi todongan senapan tentara Israel. Gish juga berusaha menjembatani hubungan umat Muslim, Yahudi, dan Kristen di Palestina yang telah terpecah belah akibat politik Zionis.

Gish yang terbang dari Athens, Ohio, Amerika Serikat, ke Indonesia untuk menghadiri serangkaian acara ini juga mengatakan bahwa akar permasalahan terbesar di dunia ini adalah gagasan untuk mendominasi dan mengontrol. Ia juga mengkritik Presiden Amerika Serikat George W Bush yang alih-alih menciptakan perdamaian di Palestina, malah makin memperburuk keadaan.  

 

Paham Pasifis

Menurut Putut Widjanarko, salah seorang yang mengenal Art Gish ketika tinggal di Athens, Ohio, AS, Art tumbuh besar dalam lingkungan gereja yang menganut paham pasifis, atau paham mutlak anti-kekerasan. Paham ini menolak segala bentuk kekerasan. Dia telah aktif dalam kegiatan perdamaian selama 50 tahun, dan ikut terlibat dalam gerakan pembelaan hak-hak sipil serta bekerja bersama Martin Luther King, Jr.

”Art juga terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan anti Perang Vietnam. Setiap hari Senin, dia melakukan peace vigil selama satu jam di depan gedung walikota. Sering dia hanya sendirian, atau bersama istrinya, Peggy Gish, kalau yang bersangkutan juga sedang tidak keluar kota,” tutur Putut saat memberikan sambutan mewakili Mizan.

Sementara itu, Makarim Wibisono yang menjadi pembicara kedua  menyatakan sangat kagum dengan artikulasi yang digunakan Gish dalam bukunya. “Ia mampu mengangkat kejadian mikroskopik dalam wilayah Palestina yang justru menunjukkan kebenaran sesungguhnya di sana,” ujarnya.

Makarim mengatakan, buku karya Gish sangat menarik karena penuturan yang bersumber dari catatan harian serta kepribadian Gish yang kuat dan pemberani. Selain itu, menurutnya, buku tersebut sangat jelas mengungkapkan ekspresi pihak yang tertindas ataupun pihak yang menindas.  

 

Ia juga menjelaskan bahwa akar pertikaian antara Palestina dan Israel bukan karena isu agama, melainkan masalah hak permukiman dan penggunaan air. Jadi, lanjut Makarim, salah jika ada persepsi Palestina adalah Islam karena banyak juga pemeluk Kristen di sana.

Karenanya, bagi Anies Baswedan, upaya mewujudkan kemerdekaan Palestina akan sulit jika dilakukan dengan isu-isu keagamaan. ”Boleh saja rakyat Palestina mengunakan simbol-simbol Islam, tetapi, untuk propaganda internasional hal itu tak akan kondusif,” jelas rektor Uiversitas Paramadina ketika memberikan keynote speech di acara itu.

Anies mengatakan, masalah Palestina telah menjadi komoditas politik dan berlangsung selama 60 tahun. “Masalah Palestina telah bergeser dari soal nasionalisme ke arah arah perjuangan dengan membawa simbol-simbol agama,” katanya.

 

Menurut dia, Timor Leste sulit bisa memperoleh simpati dan dukungan masyarakat internasional, misalnya, jika dalam perjuangan untuk mencapai kemerdekaan membawa-bawa simbol Katolik karena bisa menimbulkan “counterproductive“.

 

Lantas apakah usaha-usaha yang dilakukan Gish dengan jalan cintanya mampu menciptakan perdamaian yang permanen bagi pihak-pihak yang bertikai di Palestina? Semoga! [ ] Ahmad Nurcholish

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Kategori

%d blogger menyukai ini: