Salah satu peristiwa penting dalam sejarah kenabian Muhammad Saw. adalah perjalanan Isra’ Mi’raj sebagaimana dinarasikan dalam QS. Al-Isra’: 1. Perjalanan tersebut menjadi saksi sejarah yang monumental dan spektakuler, sehingga tetap aktual hingga dewasa ini. Oleh karenanya tidak mengherankan jika umat Islam memberikan perhatian khusus dengan memeringatinya setiap tahun, yang tahun ini jatuh pada Rabu, 30 Juli 2008.
Peristiwa Isra’ Mi’raj menurut catatan sejarah terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun kesebelas dari masa kenabian beliau. Perjalanan malam (Isra’) tersebut dimulai dari Masjid al-Haram di Mekah ke Masjid al-Aqsha di Palestina, kemudian dilanjutkan dengan Mi’raj (naik) ke langit menuju Sidrat al-Muntaha dan kembali lagi ke Mekah menjelang terbitnya fajar pada malam (dini hari) itu juga.
Perjalanan yang luar biasa, dengan waktu yang relatif singkat menembus ruang dan waktu, menjadikan peristiwa tersebut sulit dijangkau oleh akal pikiran manusia. Bagaimana mungkin jarak dari Mekah ke Palestina yang masa itu (600-an Masehi), dengan mengendarai onta, memerlukan waktu 2 bulan, kemudian berlanjut dengan naik ke langit tertinggi dapat ditempuh hanya dalam 1 malam?
Oleh karenanya wajar jika peristiwa itu banyak diragukan orang-orang Quraisy pada masa Nabi Muhammad. Bahkan Ummu Hani’, putri paman Nabi, Abu Thalib, yang malam itu berada di rumah Nabi Muhammad langsung berkata, “Hai Nabiullah, sebaiknya peristiwa tadi malam itu jangan diberitahukan kepada orang-orang, sebab pasti mereka akan mendustakan dan menyakitimu”. Tetapi Rasulullah saw. yang dikenal berjiwa besar sekaligus bergelar al-Amin (jujur/terpercaya) itu menjawab, “Demi Allah hal itu pasti akan kusampaikan kepada mereka, apapun akibatnya”.
Keterkaitan Sejarah
Terlepas dari itu, perjalanan Nabi dengan kendaraan Buraq, didampingi oleh Malaikat Jibril dan Mikail ini (MA. Rathomy, 1983:53), menjadi simbol dari kesatuan risalah yang dibawa oleh para rasul sebelumnya. Masjid al-Haram yang di tengahnya berdiri Ka’bah (bayt al-Allah – rumah Tuhan) dibangun oleh Nabi Ibrahim bersama putranya Ismail. Sedang Masjid al-Aqsha yang dibangun semasa Nabi Sulaiman merekam sejarah gemilang masa lalu dari generasi Bani Israil yang banyak diangkat menjadi utusan Allah.
Keterkaitan historis dari kedua tempat suci tersebut menandakan terjalinnya risalah yang dibawa Nabi Muhammad Saw dengan risalah (ajaran) para nabi terdahulu. Ini sekaligus menunjukkan bahwa, pertama, ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Saw. bukanlah risalah yang baru sama sekali, melainkan keberlanjutan dari ajaran-ajaran yang disampaikan oleh nabi-nabi/ rasul-rasul sebelumnya. Ajaran Islam yang didakwahkan nabi Muhammad inilah yang kemudian diyakini oleh pemeluknya sebagai penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya.
Kedua, Mikraj Nabi Muhammad ke langit tertinggi (sidrat al-munthaha), dimaksudkan untuk mendapat pencerahan spiritual langsung dari Allah. Sebagaimana diketahui, melalui mikraj inilah beliau menerima perintah shalat lima waktu bagi pengikutnya dalam sehari semalam. Ini menunjukkan betapa pentingnya ibadah shalat bagi umat Islam. Sebab melalui shalat inilah manusia sebagai makhluq dapat berhubungan, berkomunikasi langsung dengan Tuhannya. Bacaan-bacaan serta ritual dalam shalat mengandung pesan moral yang teramat tinggi. Hal inilah yang akan dapat mempertajam aspek spiritual manusia sekaligus mengasah kecerdasan sosial juga emosional.
Persepektif Sufistik
Peristiwa Isra’ Mikraj oleh kalangan sufi dipahami sebagai pengalaman spiritual (mistik) Nabi Muhammad yang sangat tinggi, yang diisyaratkan dalam kata-kata “Masjid Aqsha” (masjid yang terjauh), “al-Ufuq al-A’la” (cakrawala tertingi) dan “Sidrat al-Muntaha” (Sidrah yang terakhir). Ketinggian pengalaman spiritual Nabi dibandingkan oleh Farid al-Din ‘Athar dalam Warisan Para Wali, seperti dikutip Mulyadi Kertanegara (2000:183), sebagai puncak pengalaman spiritual manusia, di mana sufi yang tertinggi hanya akan sampai pada tahap awal perjalannya. Pemerian Isra’ Mi’raj dalam arti yang sufistik, barangkali terbit dari hadits yang mengatakan bahwa shalat merupakan mi’rajnya kaum Muslimin, yang tentunya tidak dapat diartikan sebagai perjalanan badani.
Dalam persepektif sufistik, mi’raj tidak diartikan perjalanan Nabi ke luar angkasa (langit-langit), tetapi ke dalam lubuk hati yang paling dalam di mana ia menemukan dirinya berada dalam ‘kehadiran Tuhan’. Atau meminjam istilah Iqbal “tidak bersifat ekstensif, melainkan intensif”.
Sementara Jibril yang menemani Nabi dalam Isra’ Mi’raj oleh Jalal al-Din Rumi ditafsirkan sebagai symbol intelek yang dapat membimbing manusia dengan berbagai cara menuju gerbang kekasih (Tuhan), ia takut kalau-kalau cahaya Tuhan yang dapat melahap apa saja, membakar sayap-sayapnya. Dalam konteks inilah menurut Husayn Haikal, maka dalam peristiwa tersebut, dibukakanlah semua tabir rahasia langit dan bumi, melalui daya penglihatan batin (‘ayn/ vision), sehingga teranglah kepada Nabi awal kejadian dunia dan kesudahannya.
Persepektif Modernis
Isra’ Mi’raj, seperti ditulis Mulyadi Kertanegara, bukan hanya mengilhami pujangga terkenal Italia Dante untuk menulis The Divine Comedy, tetapi juga modernis Iqbal untuk menulis pengalaman batinnya dalam bukunya Javid-Nameh (buku keabadian). Di sini, dengan bimbingan Rumi (yang dalam hal ini bertindak sebagai Jibril atau Virgil dalam versi Dante), ia menceritakan perjalanan spiritualnya ke tempat yang mulia di mana ia berjumpa dengah arwah para pemikir besar dunia untuk membincangkan beragam persoalan politik, sosial dan keagamaan. Perjalanan spiritual ini melalui berbagai langit dan berakhir dengan berdirinya dia sendirian dalam hadirat Tuhan yang “terus tumbuh tanpa habis-habisnya”.
Sedangkan Fazlur Rahman, modernis terkemuka, keberatan dengan nama yang mengacu Masjid Aqsha yang ada di Palestina. Sebab nama itu baru diberikan kepadanya setelah masa ‘Umar Ibn Khaththab. Selain itu Siti ‘A’isah, istri termuda Nabi, menyebutkan bahwa pada saat itu Nabi tetap berada di tempatnya.
Adapun tiga ungkapan yaitu Masjid Aqsha, Ufuq al-A’la, dan Sidrat al-Muntaha merupakan symbol yang makna sebenarnya bisa ditafsirkan bermacam-macam.
Bagi Iqbal, peristiwa Isra’ Mi’raj justru membuktikan bahwa Tuhan bukanlah prima causa yang bisu dan jauh terpencil, seperti disangkakan para filosof, tetapi suatu kekuatan pribadi (personal) yang bisa diarahkan. Dengan itu ia membuktikan bahwa ada kemungkinan bagi suatu dialog personal yang membuahkan antara Khaliq dan Makhluq, yaitu dialog dalam shalat, dari mana kegiatan keagamaan yang besar dapat tumbuh. Dan di sinilah barangkali makna sebenarnya dari hadits Nabi yang menjelaskan bahwa shalat adalah mi’rajnya kaum Muslimin. [ ] Ahmad Nurcholish
Tinggalkan Balasan