Setidaknya ada tiga masalah pokok pelaksanaan kebebasan beragama di Indonesia yang menjadi sorotan utama selama 10 tahun perjalanan reformasi. Ketiganya adalah aksi radikalisme dan terorisme, penerapan Perda ’syari’ah’, dan penanganan aliran sempalan dan tafsir agama.
Hal itu disampaikan Nazaruddin Umar ketika menjadi pembicara dalam diskusi terfokus Lokakarya Nasional HAM VII yang diselenggarakan Komnas HAM di Jakarta, awal Juli (10/7) lalu.
Menurut Dirjen Bimbigan Masyarakat Islam Depag ini, sejak reformasi bergulir, kehidupan keberagamaan di Indonesia mengalami peningkatan eskalasi, khususnya penampakan wajah-wajah asli aliran dan paham keagamaan yang selama Orde Baru mengalami tekanan.
Sayangnya, imbuh Nazar, eksistensi kelompok-kelompok, khususnya garis keras, selalu mewarnai aksi-aksinya dengan retorika-retorika agama dan teriakan ’Allahu Akbar’, bahkan cara-cara kekerasan, ketika misalnya melakukan swepping tempat maksiat, demonstrasi anti Amerika dan Israel, tuntutan jihad dan lain-lain. Termasuk, dengan alasan agama, mereka melalukan aksi-aksi terorisme.
”Aksi-aksi teror tersebut sangat mengancam bagi pelaksanaan kebebasan beragama dan merusak citra Islam,” ujar Nazaruddin. Selain penebaran teror dan ketakutan, imbuhnya, bagi pihak yang berkeyakinan dan beragama lain (non muslim) akan sangat terancam dari aksi-aksi semacam itu. ”Seperti bom Natal tahun 2000, sangat mengganggu kerukunan umat beragama,” katanya.
Soal perda ’syari’ah, bagi Nazaruddin, keberadaannya merupakan wujud dari penyimpangan atas dasar negara yang berdasar bukan pada agama tertentu, tetapi atas dasar Pancasila yang meng-cover seluruih jenis agama. ”Karena Perda-perda tersebut telah diintrepretasikan secara literal yang dapat mengancam terjadinya pelanggaran hak-hak sipil, warga negara dan perusakan terhadap budaya Bhineka Tungal Ika,” tandasnya.
Munculnya gerakan Perda-perda ’Syari’ah’ menurut Nazaruddin Umar sangat mengancam bagi pelaksanaan kebebasan beragama, khususnya mengenai tafsir paham keagamaan yang di Indonesia sangat dilindungi UUD 1945.
”Kasus tersebut perlu dicermati bersama agar gerakan syari’ahisasi hukum Islam tidak hanya ditempatkan pada lokus formil yang justru dapat menciderai hak-hak sipil dan kebebasan tafsir agama,” terang dirjen kelahiran Bone ini.
Mengenai penyikapan atas munculnya aliran ’sempalan’ dan tafsir agama, menurut Nazar, setidaknya ada dua model pelanggaran yang dilakukan pemerintah. Pertama, negara melakukan pelanggaran secara tidak langsung dengan cara melakukan pembiaran atas berbagai kasus yang terjadi sehingga menimbulkan aksi kekerasan.
”Kedua, negara melakukan pelanggaran secara langsung melalui pembuatan kebijakan yang membatasi kebebasan beragama dan berkeyakinan,” jelas Nazar.
3 Ranah, 8 Komponen
Sementara itu Musdah Mulia yang berbicara pada forum yang sama mengatakan bahwa terdapat tiga ranah masalah yang muncul dalam problem rumit isu kebebasan beragama. Pertama, ranah negara dengan berbagai aparaturnya (pemerintah, polisi, pengadilan, dll).
Kedua, ranah hukum. Terkait isu kebebasan beragama isu-isu hukum yang muncul diantaranya tentang penyiaran agama, bantuan asing, pendirian rumah ibadah, pendidikan keagamaan, dan perda-perda bernuansa syariat Islam.
Ketiga, ranah masyarakat sipil. Di level ini tantangan paling serius adalah menguatnya arus gerakan Islamisme, tidak hanya di pusat tapi juga didaerah. “Selain itu, patut juga dipertimbangkan peran media dan ormas-ormas dalam membangun karakter masyarakat yang lebih toleran,” ujar Ketua Umum ICRP ini.
Dosen pasca sarjana UIN Syarif Hidayuatullah Jakarta ini juga menjelaskan bahwa dalam persepektif HAM hak kebebasan beragama atau berkeyakinan ini dapat disarikan ke dalam delapan komponen.
Pertama, kebebasan Internal, di mana setiap orang memunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama.
Kedua, kebebasan eksternal, di mana setiap orang memiliki kebebasan, secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran, pengalamannya dan peribadahannya.
Ketiga, kebebasan tidak ada paksaan. Tidak seorang pun dapat menjadi subyek pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan yang menjadi pilihannya.
Keempat, tidak diskriminatif. Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaan tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, asal-usul.
Kelima, hak dari Orang Tua dan Wali. Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah (jika ada) untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya sendiri.
Keenam, kebebasan Lembaga dan Status Legal. Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi omunitas keagamaan untuk berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas.
Ketujuh, pembatasan yang diijinkan pada Kebebasan Eksternal. Kebebasan untuk memanifestasikan keagamaan atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban public, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak dasar orang lain.
Kedelapan, Non–Derogability. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apa pun.
Tiga Arti Empat Solusi
Menanggapi soal kebebasan beragama itu, Hamid Fahmi Zarkasyi menjelaskan bahwa kebebasan yang diberikan Islam mengandung tiga arti. Pertama, bahwa Islam memberikan kebebasan kepada umat beragama untuk memeluk agamnya masing-masing tanpa ada ancaman dan tekanan. “Tidak ada paksaan bagi orang non Muslim untuk memeluk agama Islam,” terang direktur INSITS ini.
Kedua, apabila seseorang telah menjdi Muslim maka ia tidak sebebasnya menganti agamanya, baik agamanya itu dipeluk sejak lahir maupun karena konversi. Ketiga, Islam memberi kebebasan kepada pemeluknya menjalankan ajaran agamanya sepanjang tidak keluar dari garis-garis syariah dan aqidah.
Dalam konteks keislaman dan keindonesiaan, imbuh Hamid, hak dan kebebasan beragama telah dapat ditafsirkan dan diberi batasan sesuai dengan kondisi intern umat islam dan bangsa Indonesia, sebagaimana negara-negara Barat memberi batasan-batasan pada makna kebebasan beragama.
“Secara prinsipil tidak ada masalah antara Islam dan DUHAM, kecuali pasal 16 dan 18, namun pada tingkat praktis makna kebebasan itu perlu dibatasi agar terhindar dari onflik sosial,” ujarnya.
Melihat potret pelaksanaan kebebasan beragama yang belum berjalan dengan baik di era reformasi, ada beberapa langkah diberikan Nazaruddin Umar, yang dapat dilakukan.
Pertama, pentingnya melakukan upaya dalam membentuk nalar publik atas ajaran-ajaran agama, sehingga masing-masing pemeluk agama memahami, menghayati dan menerapkan dalam bentuk praksis agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai universalisme, “seperti keadilan, toleransi, penghargaan atas keyakinan orang lain dan sebagainya,” tutur Nazar.
Kedua, mendorong upaya penegakan atas prinsip kebebasan beragama kepada semua pihak, baik dari aspek kebijakan, sikap dan kearifan publik dari tokoh agama dan masyarakat.
Ketiga, mendorong upaya penghargaan atas hak-hak sipil keagamaan yang tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun yang dijamin oleh UUD 45. Keempat, mendorong atas terbangunnya prinsip-prinsip toleransi dan paham keragaman (pluralisme) dalam kehidupan beragama, “sehingga akan terjalin keseiringan dan keseimbangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa ada perbedaan pahamkeagamaan,” pungkas Nazar. [ ] Ahmad Nurcholish
Tinggalkan Balasan