Peace in Diversity Program ICRP – CWS Indonesia
Oleh Ahmad Nurcholish
“No peace among the nation without peace the religions; No peace among religions without dialogue between the religions; No dialogue between religions investigating the foundation of the religions” [Hans Kung]
“Di empat penjuru lautan semua umat bersaudara” [Khongcu]
Lima puluhan remaja dan pemuda dari berbagai agama sejak 21 Juni hingga 02 Agustus 2008 mengikuti kegiatan melalui program ‘damai dalam kemajemukan’ yang diselenggarakan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) bekerjasama dengan Church World Service (CWS) Indonesia. Kegiatan dalam program ini meliputi kunjungan ke tujuh rumah ibadah, lomba menulis dan malam apresiasi.
Tujuh rumah ibadah tersebut adalah Gereja Katedral, Masjid Istiqlal, Gereja GKI Kwitang, ketiganya di Jakarta Pusat, Pura Aditya Jaya Rawamangun, Jakarta Timur, Temple/Gurdwara Sikh, Pasar Baru Jakarta Pusat, Lithang Khongcu Bio di Tangerang, dan Vihara Mahavira Graha Pusat, Ancol Jakarta Utara.
Selain bertujuan untuk memfasilitasi remaja dan pemuda lintas agama untuk saling berkunjung agar mengenal lebih dekat keunikan dan kekhasan rumah-rumah ibadah di Jakarta dan Tangerang, program ini juga untuk menjembatani peserta agar saling mengenal, berbagi pengetahuan tentang berbagai hal terkain dengan ajaran agama masing-masing peserta.
“Program ini juga untuk mendorong mereka untuk merajut tali persaudaraan sehingga terjalin kerukunan di antara mereka,” jelas Frangky saat membuka program ini di kantor ICRP di Jakarta.
Menurutnya, dari program ini diharapkan remaja dan pemuda dari berbagai agama ini terinspirasi untuk membentuk satu komunitas lintas agama yang memiliki visi keterbukaan, toleran dan senantiasa mengedepankan dialog untuk mewujudkan perdamaian.
Di hari pertama kunjungan ini, yakni 21 Juni, peserta diajak berkunjung ke Gereja Katedral yang berdiri menjulang tepat di depan masjid Istiqlal. Di gereja yang sudah diresmikan sejak 21 April 1901 ini peserta dipandu oleh Hendri dan Ika dari Mudika (muda-mudi Katolik) Katedral. Di gereja bergaya neo-gotik ini peserta dibagi menjadi 2 grup yang terdiri masing-masing 20 peserta.
Selain melihat-lihat bangunan fisik berikut berbagai ragam ornamennya, peserta juga diajak untuk melihat goa Maria yang berada di bagian dalam sebelah kanan bangunan utama dan museum Katedral yang berada di lantai dua. Di museum ini peserta mendapatkan penjelasan dari sang pemandu mengenai sejarah keberadaan gereja Katedral di Indonesia.
“Gereja ini dibangun dengan biaya 628.000 gulden,” terang Andri sang pemandu. Bangunan rancangan P.A Dijkmans ini masih nampak kuat meski sudah berusia 107 tahun. “Struktur gedung dan material yang digunakan merupakan bahan pilihan dan terbaik, “ imbuh Andri.
Usai menikmati berbagai keunikan dan kekhasan gereja Katedral, peserta menyebrang ke masjid Istiqlal selepas makan siang. Di masjid terbesar di Asia Tengara ini peserta dan panitia diterima bagian Humas yang dipimpin ustadz Jamaluddin. Sebelum melihat-lihat bangunan masjid yang diresmikan 22 Februari 1978 ini, rombongan diterima di ruang VIP lantai bawah masjid. Di ruangan ini ustadz Jamaluddin menjelaskan sejarah pembanguan msjid Istiqlal yang berarti ‘merdeka’ ini.
Seperti juga ketika di Katedral, usai mendengarkan penjelasan dari pemandu, para peserta tampak antusias melontarkan berbagai pertanyaan seputar bangunan masjid berbiaya tujuh milyar rupiah dan USD 12 juta pada waktu itu. “Biaya tersebut diambil dari APBN,” tutur Jamal.
Setelah berbincang-bincang dengan ustadz Jamal, peserta diajak ke lantai atas untuk melihat-lihat ruang ibadah utama yang terdiri dari 5 lantai yang mampu menampung jemaat sebanyak 77 ribu orang. “Lima lantai symbol dari lima waktu shalat dan Pancasila,” jelas Jamal.
Dia ruang shalat utama ini peserta dapat menyaksikan lengkungan kubah berdiameter 45 meter berhiaskan ayat-ayat kursi. Angka 45 menyimbolkan tahun 1945 di mana bangsa ini merdeka. Kubah itu sendiri didatangkan dari Jerman dengan kualitas terbaik pada zamannya. Di ruang utama ini juga terdapat 12 tiang penyangga yang merupakan symbol 12 Rabiul Awwal, di mana Nabi Muhammad lahir.
Selepas foto bareng bersama panitia dan pemandu dari masjid Istiqlal, rombongan di bawa keluar untuk melihat menara yang menjulang setinggi 30 meter dan 6666 cm. “30 meter merupakan symbol 30 juz, sedang 6666 cm symbol jumlah ayat dalam al-Qur’an,” terang sang pemandu.
Selepas shalat Ashar, peserta meluncur ke gereja Protestan GKI Kwitang. Di gereja yang sudah berusia 79 tahun ini rombongan diterima oleh Teddy Lubis (Ketua Bidang Pembinaan), Pnt. Eko Budiarto (Ketua Bidang Hubungan Kerjasama) dan Synthia Mumu (aktivis GKI Kwitang). Seperti di dua rumah ibadah sebelumnya, di gereja ini peserta juga mendapatkan penjelasan mengenai sejarah gereja yang bertengger di samping toko buku Gunung Agung ini.
Oleh tuan rumah, seluruh peserta diberikan sebuah buku berjudul Menjadi Mitra Allah: Kemarin, Kini dan Esok. Buku setebal 384 halaman ini khusus diterbitkan majelis GKI Kwitang ketika merayakan hari ulang tahun gereja ini yang ke 75. Selain berisi tentang sejarah GKI Kwitang, dalam buku ini juga terdapat sejumlah artikel tentang Gereja terkait dengan pluralisme dan keru7kunan umat beragama.
Kenakan kopiah dan kerudung
Di hari kedua, Sabtu 28 Juni peserta kembali melanjutkan kunjungan. Kali ini ke Pura Aditya Jaya Rawamangun Jakarta Timur. Di tempat persembahyangan umat Hindu ini peserta diterima Wayan Sujana di aula Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Indonesia yang berada di komplek Pura tersebut. Di ruangan itu Wayan, yang juga dosen seni rupa Universitas Negeri Jakarta ini menjelaskan bahwa Pura merupakan pusat tiga kegiatan bagi umat Hindu. Ketiganya adalah aktivitas keagamaan, budaya, dan kemasyarakatan.
“Tugas umat Hindu adalah membangun karma, yakni berbuat baik,” terang Wayan. Menurutnya, Pura, sebagai tempat sembahyang merupakan dunia lain di mana di sini kita bdapat merefleksikan siapa sejatinya kita. Di Puru Aditya itu sendiri hingga kini digunakan oleh tak kurang tujuh ribu hingga delapan ribu umat.
Saat hendak memasuki area yang digunakan untuk sembahyang, seluruh pengunjung diharuskan untuk mengenakan sabuk kain berwarna kuning dan putih yang sudah disediakan oleh pengelola Pura. Di area ini Wayan kembali menjelaskan berbagai hal tentang Pura, ajaran Hindu dan cara sembanhyang umat Hindu.
Siang harinya giliran Temple/ Gudwara Sikh yang disinggahi peserta program. Di temple yang berada di bilangan Pasar Baru Jakarta Pusat ini bentuknya mirip sebuah masjid, terutama jika melihat kubahnya. Lebih tepatnya seperti bangunan Tajmahal di India. Di Gudwara ini, rombongan diterima oleh Jagmeel Singh, seorang giai atau pemuka agama dan Nirma Singh.
Ada yang menarik di rumah ibadah ini. saat hendak memasuki ruang utama untuk sembahyang, seluruh peserta diharuskan untuk mengenakan penutup kepala. Dan penutup kepala yang sudah disediakan oleh pengelola Gudwara itu adalah sebuah kopiah warna putih untuk laki-laki dan selembar kerudung untuk peserta perempuan. Jadi layaknya memasuki sebuah masjid. Beberapa peserta nampak terasa aneh dan canggung. Tetapi mereka senang-senang saja.
Menurut Jagmeel, gudwara merupakan tempat ibadah terpenting bagi kaum Sikh. Hal ini karena Gudwara melepaskan, memasukkan, dan memulai dengan kekuatan dan tujuan yang baru dalam hidup bersama dan hidup perseorangan kaum Sikh. Di Gudwara ini pula “sadh sangat” atau jemaah Sikh menyelenggarakan Kirtan (bagian terpenting dalam ibadah).
Sore harinya, rombongan meluncur ke Tangerang menuju Lithang Khongcu Bio. Di Lithang yang berada di dekat kali Cisadane ini rombongan disambut dengan penampilan tarian Barongsai yang dibawakan oleh anak-anak yang aktif di Lithang ini. Pada sesi diskusi peserta dipandu oleh Haksu Buanajaya (rohamiwan Khonghucu) dan Wensi Peter Lesmana (Sekretaris umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia – Matakin). Sambil menikmati penganan yang disuguhkan tuan rumah, peserta terlibat aktif dalam bincang-bincang seputar keberadaan Lithang dan ajaran Khonghucu.
Setelah itu, peserta menuju lantai atas untuk melihat ruangan Lithang yang digunakan untuk sembahyang. Di ruangan itu terdapat altar yang di bagian atasnya terdapat patung Nabi Khongcu sang pembawa ajaran Khonghucu 551 sebelum masehi itu. Di penguhujung acara di Lithang peserta kembali disuguhi tarian penutup, yakni penampilan Liong atau tarian naga yang dimainkan sejumlah anak-anak dari Lithang tersebut. Tak terasa malam pun tiba. Peserta kembali pulang ke Jakarta.
Pada hari ketiga, 5 Juli merupakan pertemuan terakhir kunjungan. Kali ini ke Vihara Mahavira Graha Pusat yang bertengger megah di jalan Lodan Ancol. Di vihara yang berada tak jauh dari Taman Impian Jaya Ancol ini peserta diterima oleh Biksu Pratnavira Mahasthavira, dkk. Peserta diterima sangat akrab di lantai 3 bangunan megah tersebut. Di satu ruangan itu peserta memperioleh penjelasan mengenai sejarah masuknya agama Buddha di Indonesia dan sejarah keberadaan Vihara yang didirikan pada tahun 1990 itu.
Menurut Biksu Pratnavira, pada mulanya bangunan yang didirikan adalah semi permanen dengan fungsi sebagai Kuti (tempat tinggal Sangha) dan tempat pelatihan meditasi. Akhirnya tahun 1993 pemancangan tiang utama pendirian Buddhist Building Vihara Mahavira Graha Pusat dilaksanakan yang terus dilanjutkan pembangunan gedung hingga pengecoran atap bangunan.
Tahun 1995 diadakan Upacara Pemberkatan oleh Sangha se-dunia yang dihadiri ± 160 Bhiksu menerima Sangha Dana Internasional. Pada tahun 1996, pembangunan Buddhist Bulding Indonesia telah hampir memasuki tahap penyelesaian. Pada saat itu, vihara telah mengembangkan misinya menjadi wadah tempat ibadah serta kegiatan – kegiatan religius.
Vihara mahavira Graha Pusat yang dipimpin oleh anggota Sangha berusaha mewujudkan tanah suci para Buddha di abad modern dengan pembinaan umat untuk senantiasa menerapkan Buddha Dharma di dalam kehidupan sehari – hari serta mewujudkan pendidikan Buddha Dharma dalam kehidupan berkeluarga, sosial dan bermasyarakat.
Vihara Mahavira Graha Pusat mewujudkannya melalui kegiatan spiritual, pendidikan, seni budaya, kebajikan sosial masyarakat dan pelaksanaan toleransi antar lintas agama, konferensi, seminar di tingkat Nasional hingga Internasional.
Menambah wawasan tak dangkalkan iman
“Acara ini sangat menarik dan menimbulkan perasaan bahagia,” ujar Sartika Sitorus. Bagi peserta dari komunitas Parmalim ini, acara seperti ini membuatnya lebih mengenal suku, agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda. “Jarang hal ini bisa terjadi,” tandasnya.
Menurut dia, acara ini sangat bermanfaat baginya. Selain lebih memperkenalkan perbedaan agama, juga membuatnya lebih dalam mengenal tata cara ibadah umat agama lain, disamping rumah-rumah ibadahnya. “Betul, di antara kita memang banyak perbedaan, tetapi tujuannya sama yaitu menuju kehidupan satu memuji Tuhan Yang Maha Esa,” imbuhnya.
Senada dengan Sartika, Daniel, peserta dari SMA Tri Ratna merasakan hal yang sama, sangat senang dan bahagia. “Selain menambah pengetahuan dan teman, acara ini juga menambah pengalaman dalam hidup saya,” tutur penganut Buddha ini.
“Kami masih bisa bersatu walau kepercayaannya berbeda-beda,” ujar Tayyibah Ilyas. Mahasiswi UIN Jakarta yang juga pemuda Ahmadiyah ini. ia berharap acara semacam ini secara berkala terus diselenggarakan. “Kami dapat saling tukar pendapat antar peserta tentang banyak hal,” Imbuhnya sambil mengatakan bahwa ternyata masih banyak orang yang cinta akan kedamaian.
Mengamini Tayyibah, Juwita, peserta dari gereja Salib Suci Tanjung Priok menyimpulkan bahwa semua agama pada dasarnya sama. “Sama-sama mengajarkan cinta kasih, perdamaian, juga sikap saling menghargai sesama walaupun berbeda agama,” katanya menyakinkan. Ia berharap acara semacam ini dapat dikembangkan agar pandangan-pandangan negatif (setereotip) tentang (penganut) agama dapat ditepis. “Juga agar perbedaan yang ada dapat diterima sebagai keistimewaan,” imbuhnya.
“Setelah mengikuti acara ini akhirnya saya mendapatkan banyak pengetahuan. Apa yang sebelumnya tidak diketahui menjadi tahu, “ tutur Ratih peserta Katolik. Bahkan, kata dia, dalam agama dia sendiri, banyak hal yang tidak diketahui akhirnya menjadi tahu. “Saya juga senang karena acara ini bisa menjadi ajang untuk mempertemukan kaum muda. Sebelumnya kami tidak saling mengenal, tapi acara ini membuat kami saling mengenal,” imbuhnya kepada Kantor Berita 68H.
Tentang anggapan miring tentang acara ini, seperti mengganggu akidah, Ratih menepisnya. “Saya merasa tidak terganggu. Bahkan, saya bisa menambah pengetahuan baru. Banyak hal baru saya temukan. Bahkan dalam agama saya sendiri sekalipun, “ terangnya. “Menurut saya, kunjungan ini tidak mendangkalkan iman saya. Justru sebaliknya. Karena iman itu adalah hubungan pribadi seseorang dengan Tuhan,” pungkasnya meyakinkan.
Nampaknya apa yang dikatakan Hans Kung di atas benar adanya. Tanpa mengenal yang lain tak mungkin kita dapat menjalin persaudaraan. Apalagi kata Khongcu, semua umat di empat penjuru lautan adalah bersaudara. Jadi tak perlu menunda untuk merajut damai di tengah keperbedaan kita. [ ]
Tinggalkan Balasan